Cari Blog Ini

Rabu, 10 Maret 2010

HIDUP MULIA DENGAN MANDIRI

Siapa yang tidak ingin hidup mulia ? saya kira semua orang menghendaki kemuliaan dan tidak menghendaki kehinaan.saya yakin andapun demikian.Tidak ada yang salah dengan kemuliaan.
Yang menjadi masalah berikutnya adalah dengan apa kita membangun kemuliaan.Ada sementara orang yang merasa akan hidupnya mulia apabila memiliki harta.Ada yang merasa hidupnya akan mulia dengan pangkat dan jabatan dan ada yang merasa mulia dengan ilmu.Masih ada sederet lagi yang menjadikan seseorang merasa kemuliaanya terdongkrak misalnya,gelar kebangsaan,gelar akademik,ijazah pendidikan tinggi,relasi dengan orang-orang penting,ketenarran,relasi dengan orang-orang tenar dan sebagainya.Anda dapat saja membangun kemuliaan dari salah satu atau beberapa darinya.
Ada kemudian yang tahan lama,ada pula yang mudah luntur.Kemudian yang mudah luntur adalah kemuliaan yang bersipat duniawi,kemudian yang awet dan tahan lama adalah kemulyaan yang bersifat ukhrawi,berorientasi akhirat,berorientasi dengan kerangka waktu yang tak tehingga.
Sehubungan dengan kemuliaan ini ada sebuah cerita rakyat terkenal yang bisa menjadi pelajaran.Midast seorang raja,gila kemudian dan menginginkan apapun yang dipegangnya akan berubah menjadi emas.singkat cerita ia meminta kepada para dewa yang dianggap berkuasa untuk menjadikan dirinya cukup kesaktian agar apaun yang dipegagnya berubah menjadi emas.Ia menganggap bahwa emas adalah simbol kekayaan dan dengan demikian adalah kemuliaan bagi ummat manusia.Singkat cerita akhirnya ia memperoleh apa yang dia inginkan.Betapa senagnya akhirnya ia bisa memiliki emas yang melimpah ruah karena apapun yang dipegangnya berubah sekketika menjadi emas.Masalah baru disadarinya ketika perutnya terasa lapar,ia tidak bisa memakan apaun,karena setiap memegang makanan sekatika apa yang dipegangnya berubah menjadi emas,sehingga dia kelaparan dan akhirnya mati.
Midast adalah sebuah gambaran tentang orang yang salah memilih sumber kemuliaan,bahkan tidak berhenti sampai disitu.Kesalahan ini bahkan kemudian berakibat kesalahan berikutnya yaitu tergesa-gesa untuk mencapai sesuatu yang dikiranya sebagai kemulyaan.Ujung-ujungnya adalah justru kesengsaraan dan bahkan kehilangan segalanya,termasuk hidup sendiri.
Bila kita memikirnya secara filosofis,kemulyaan sesungguhnya adalah sesuatu yang relatif,sebagai contoh kongkrit,kalau ditanyakan kepada seorang prajurit tentara apakah pangkat kolonel itu mulia atau tidak,maka akan diperoleh jawaban yang beragam,Seorang yang berpangkat kopral akan berkata bahwa kolonel adalah pangkat yang mulia dan bergengsi.Sebaliknya kalau pertanyaan serupa kita ajukan kepada seorang jendral bintang empat,ia akan cendrung mengatakan bahwa pangkat kolonel adalah biasa-biasa saja,artinya jawaban akan kemulyaan pangkat kolonel baru akan tepat dan mudah dicerna bila kita membandingkanya dengan pangkat yang lain.Dengan kata lain,bila kita menanyakan mana yang lebih mulia dan bergengsi,pangkat kolonel apa pangkat kopral maka jawabanya akan serempak,pangkat kolonel lebih mulia dibanding pangkat kopral.
Analogi pangkat dalam ketentaraan juga bisa kita ketahui dalam finansial.Kalau ditanya apakah memiliki harta Rp 2 Milyar itu mulia atau tidak,orang akan sulit menjawabnya.Pertanyaan akan mudah dijawab bila diubah menjadi ,”lebih mulia yang mana memiliki uang Rp 2 Milyar atau Rp 5 Milyar?”
Artinya,diatas lagit masih ada langit.Diatas kemulyaan masih ada kemuliaan,lalu siapa ynag paling mulia? Tentu tidak ada yang lain kecualai yang maha mulia,sang pencipata ALLAH AWT.
Lalu siapa yang paling mulia setelah yang paling mulia?,memahami kemuliaan akan makin mudah kalau kita terlebih dahulu memahami kehinaan .Ada sebuah hadist yang ditulis dalam shahih Muslim dari Hamzah bin Abdullah.Intinya,seorang didunia meminta-minta,nanti diakhirat tidak akan menghadap tuhanya kecuali dengan wajah tanpa sekerat dagingpun,wajah tengkorak,wajah hina dian.
Inilah kehinaan yang dikontraskan dengan kemuliaan dari sang maha mulia.Mari kita bangun kemuliaan dengan kemandirian,mari kita bangun kemuliaan dengan mmemangkas beraneka ketergantungan,mari kita pangkas ketergantungan seorang anak yang sudah baligh dari orang tuanya,mari kita pangkas ketergantungan negri ini atas berbagai produk dari negri asing.
Tulisan ini saya kutip dari sebuah buku yang berjudul Financial Spritual Quotient (FSQ) karangan Imam Supriyono,diterbibitkan oleh Lutfansah Mediatama 2006
Jakarta 6 maret 2010

Senin, 08 Maret 2010

PENCETUS PERTAMA ISTILAH WAHHABI*

PENCETUS PERTAMA ISTILAH WAHHABI*
Oleh :
Al-Ustadz Jalâl Abŭ Alrŭb**
بسم الله الرحمن الرحيم
Dengan Nama Allah yang Maha Pengasih Lagi Maha Pemurah

Suatu hal yang jelas bahwa Inggris merupakan negara barat pertama yang cukup interest menggelari dakwah ini dengan “Wahhabisme”, alasannya karena dakwah ini mencapai wilayah koloni Inggris yang paling berharga, yaitu India. Banyak ‘ulamâ` di India yang memeluk dan menyokong dakwah Imâm Ibn ‘Abdil Wahhâb. Juga, Inggris menyaksikan bahwa dakwah ini tumbuh subur berkembang dimana para pengikutnya telah mencakup sekelompok ‘ulamâ` ternama di penjuru dunia Islâm. Selama masa itu, Inggris juga mengasuh sekte Qâdhiyânî dalam rangka untuk mengganti mainstream ideologi Islam.1. Mereka berhasrat untuk memperluas wilayah kekuasaan mereka di India dengan mengandalkan sebuah sekte ciptaan mereka sendiri, Qâdhiyânî, yaitu sekte yang diciptakan, diasuh dan dilindungi oleh Inggris. Sekte yang tidak menyeru jihad untuk mengusir kolonial Inggris yang berdiam di India. Oleh karena itulah, ketika dakwah Imâm Ibn ‘Abdil Wahhâb mulai menyebar di India, dan dengannya datanglah slogan jihad melawan penjajah asing, Inggris menjadi semakin resah. Mereka pun menggelari dakwah ini dan para pengikutnya sebagai ‘Wahhâbi’ dalam rangka untuk mengecilkan hati kaum muslimin di India yang ingin turut bergabung dengannya, dengan harapan perlawanan terhadap penjajah Inggris tidak akan menguat kembali.2 Banyak ‘Ulamâ` yang mendukung dakwah ini ditindas, beberapa dibunuh dan lainnya dipenjara.3
Suatu hal yang perlu dicatat, di dalam surat-surat dan laporan-laporan yang dikirimkan kepada ayah tirinya dan pemerintahan ‘Utsmâniyyah (Ottomans), Ibrâhîm Basyâ (Pasha), anak angkat Muhammad ‘Alî Basyâ (Pasha), juga menggunakan istilah ‘Wahhâbi, Khowârij dan Bid’ah (Heretics)’ untuk menggambarkan dakwah Muhammad Ibn ‘Abdul Wahhâb dan Negara Saudî4. Hal ini, tentu saja, terjadi sebelum Ibrâhîm Basyâ memberontak dan menyerang khilâfah ‘Utsmâniyyah dan hampir saja menghancurkannya di dalam proses pemberontakannya. Dr. Nâshir Tuwaim mengatakan :
“Kaum Orientalis terdahulu, menggunakan istilah ‘Wahhâbiyyah, Wahhâbî, Wahhâbis’ di dalam artikel-artikel dan buku-buku mereka untuk menyandarkan (menisbatkan) istilah ini kepada gerakan dan pengikut Syaikh Muhammad Ibn ‘Abdul Wahhâb. Beberapa diantara mereka bahkan memperluasnya dengan memasukkan istilah ini sebagai judul buku mereka, semisal Burckhardt, Brydges dan Cooper, atau sebagai judul artikel mereka, seperti Wilfred Blunt, Margoliouth, Samuel Zwemer, Thomas Patrick Hughes, Samalley dan George Rentz. Mereka melakukan hal ini walaupun sebagian dari mereka mengakui bahwa musuh-musuh dakwah ini menggunakan istilah ini untuk menggambarkannya, padahal para pengikut Syaikh Muhammad Ibn ‘Abdul Wahhâb tidak menyandarkan diri mereka kepada istilah ini.
- Margoliouth5 sebagai contohnya, ia mengaku bahwa istilah ‘Wahhâbiyyah” digunakan oleh musuh-musuh dakwah selama masa hidup ‘pendiri’-nya, kemudian digunakan secara bebas oleh orang-orang Eropa. Walau demikian, ia menyatakan bahwa istilah ini tidak digunakan oleh para pengikut dakwah ini di Jazîrah ‘Arab. Bahkan, mereka menyebut diri mereka sendiri sebagai “Muwahhidŭn”.
- Thomas Patrick Hughes6 menggambarkan “Wahhâbiyyah” sebagai gerakan reformis Islâm yang didirikan oleh Muhammad Ibn ‘Abdul Wahhâb, yang menyatakan bahwa musuh-musuh mereka tidak mau menyebut mereka sebagai “Muhammadiyyah” (Muhammadans), malahan, mereka menyebutnya sebagai ‘Wahhâbî’, sebuah nama setelah namanya ayahnya Syaikh….
- George Rentz7 mengatakan bahwa istilah ‘Wahhâbî’ digunakan untuk mengambarkan para pengikut Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhâb oleh musuh-musuh mereka sebagai ejekan bahwa Syaikh mendirikan sebuah sekte baru yang harus dihentikan dan aqidahnya ditentang. Mereka yang disebut dengan sebutan ‘Wahhâbî’ ini beranggapan bahwa Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhâb hanyalah seorang pengikut Sunnah, oleh karena itulah mereka menolak istilah ini dan bahkan menuntut agar dakwah beliau disebut dengan ‘ad-Da’wah ila’t Tauhîd’, dimana istilah yang tepat untuk menggambarkan para pengikutnya adalah ‘Muwahhidŭn’…. Rentz juga mengatakan bahwa, para penulis barat ketika menggunakan istilah ‘Wahhâbî’ adalah dengan maksud ejekan, ia juga menyatakan bahwa ia menggunakan istilah itu sebagai klarifikasi.8
Biar bagaimanapun, siapa saja yang menggunakan istilah ini , baik dari masa lalu sampai saat ini, telah melakukan beberapa kesalahan, diantaranya :
- Mereka menyebut dakwah Muhammad bin ‘Abdul Wahhâb sebagai ‘Wahhâbiyyah’, walaupun dakwah ini tidak dimulai oleh ‘Abdul Wahhâb, namun oleh puteranya Muhammad.
- Pada awalnya, ‘Abdul Wahhâb tidak menyetujui dakwah puteranya dan menyanggah beberapa ajaran puteranya. Walau demikian, tampak pada akhir kehidupannya bahwa beliau akhirnya menyetujui dakwah puteranya. Semoga Alloh merahmatinya.
Musuh-musuh dakwah, tidak menyebut dakwah ini dengan sebutan Muhammadiyyah –terutama semenjak Muhammad, bukan ayahnya, ‘Abdul Wahhâb, memulai dakwah ini- karena dengan menyebutkan kata ini, Muhammad, mereka bisa mendapatkan simpati dan dukungan dakwah, ketimbang permusuhan dan penolakan.
Istilah “Wahhâbi”, dimaksudkan sebagai ejekan dan untuk meyakinkan kaum muslimin supaya tidak mengambil ilmu atau menerima dakwah Muhammad ibn ‘Abdul Wahhâb, yang telah digelari oleh mereka sebagai mubtadi’ (ahli bid’ah) yang tidak mencintai Rasulullâh Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam. Walaupun demikian, penggunaan istilah ini telah menjadi sinonim dengan seruan (dakwah) untuk berpegang al-Qur`ân dan as-Sunnah dan suatu indikasi memiliki penghormatan yang luar biasa terhadap salaf, yang berdakwah untuk mentauhîdkan Allôh semata serta memerintahkan untuk mentaati semua perintah Rasulullâh Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam. Hal ini adalah kebalikan dari apa yang dikehendaki oleh musuh-musuh dakwah.9 Pada belakang hari, banyak musuh-musuh dakwah Imam Muhammad Ibn ‘Abdul Wahhâb akhirnya menjadi kagum terhadap dakwah dan memahami esensi dakwahnya yang sebenarnya, melalui membaca buku-buku dan karya-karyanya. Mereka mempelajari bahwa dakwah ini adalah dakwah Islam yang murni dan terang, yang Alloh mengutus semua Nabi-Nya ‘alaihim`us Salâm untuknya (untuk dakwah tauhîd ini).
Menggunakan istilah ‘Wahhâbiyyah’ ini, tidak akan menghentikan penyebaran dakwah ini ke seluruh penjuru dunia. Bahkan pada kenyataannya, walaupun berada di tengah-tengah dunia barat, banyak kaum muslimin yang mempraktekkan Islam murni ini, yang mana Imâm Muhammad Ibn ‘Abdul Wahhâb secara antusias mendakwahkannya dan menjadikannya sebagai misi dakwah beliau. Semua ini disebabkan karena tidak ada seorangpun yang dapat mengalahkan al-Qur`ân dan as-Sunnah, tidak peduli sekuat apapun seseorang itu.
Perlu dicatat pula, bahwa diantara karakteristik mereka yang berdakwah kepada tauhîd adalah, adanya penghormatan yang sangat besar terhadap al-Qur`ân dan sunnah Nabi. Mereka dikenal sebagai kaum yang mendakwahkan untuk berpegang kuat dengan hukum Islam, memurnikan (tashfiyah) dan mendidik (tarbiyah) bahwa peribadatan hanya milik Allôh semata serta memberikan respek terhadap para sahabat nabî dan para ‘ulamâ` Islâm. Mereka adalah kaum yang dikenal sebagai orang yang lebih berilmu di dalam masalah ilmu Islam secara mendetail daripada kebanyakan orang selain mereka. Telah menjadi suatu pengetahuan umum bahwa dimana saja ada seorang salafî bermukim, kelas-kelas yang mengajarkan ilmu sunnah tumbuh subur. Sekiranya istilah “Wahhâbî” ini digunakan untuk para pengikut dakwah, bahkan sekalipun dimaksudkan untuk mengecilkan hati ummat agar tidak mau menerima dakwah mereka, tetaplah salah baik dulu maupun sekarang, menyebut dakwah ini dengan sebutan “Wahhâbiyyah”.
Imâm Muhammad ibn ‘Abdul Wahhâb berdakwah menyeru kepada jalan Rasulullâh Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam dan para sahabat nabi, beliau tidak berdakwah menyeru kaum muslimin supaya menjadi pengikutnya. Dakwah beliau bukanlah sebuah aliran/sekte baru, namun dakwah beliau adalah kesinambungan warisan dakwah yang dimulai dari generasi pertama Islam dan mereka yang mengikuti jalan mereka dengan lebih baik.



CATATAN KAKI :
* Dari Jalâl Abŭ Alrub dan Alâ Mencke (ed.), Biography and Mission of Muhammad Ibn ‘Abdul Wahhâb (Orlando, Florida: Madinah Publisher, 1424/2003), hal. 677-81. Dengan tambahan ekstra catatan oleh Tim Salafimanhaj. Catatan dari Salafi Manhaj diberi tanda “Catatan Editor”.
Catatan Penterjemah : Artikel ini dialihbahasakan dari “Who First Used The Term “Wahhabi”? “(http://www.salafimanhaj.com/pdf/SalafiManhaj_TermWahhabi.pdf)
** Catatan Penterjemah : Jalâl Abŭ Alrub adalah seorang penulis Islam salafî yang mumpuni. Beliau memiliki website bermanfaat, yaitu http://islamlife.com. Beliau aktif menulis counter dan tanggapan/bantahan terhadap syubuhat dan penyesatan opini para jurnalis Barat. Beliau pernah terlibat debat beberapa kali dengan para jurnalis dan penulis ’Neo-Con’. Terakhir kali, beliau menantang debat Robert Spencer (seorang Katolik pro Neo-Con, yang mengangkat dirinya sebagai ’Islam Specialist’ dan banyak menulis tentang Islam secara ngawur dan tendensius. Ia adalah orang dibalik website jihadwatch dan dhimmiwatch.) Namun, Robert Spencer sepertinya tidak punya ’guts’ (nyali), sehingga ia tidak pernah mau berhadapan langsung dengan Jalâl Abŭ Alrub.
1 Lihat : Dr. Muhammâd ibn Sa’d asy-Syuwai’ir, Tashhîh Khathâ’ Târîkhî Haula`l Wahhâbiyyah, Riyâdh : Dârul Habîb : 2000; hal. 55
2 Catatan Editor : W.W. Hunter dalam bukunya yang berjudul “The Indian Musalmans” mencatat bahwa selama pemberontakan orang India tahun 1867, Inggris paling menakuti kebangkitan muslim ‘Wahhâbi’ yang tengah bangkit menentang Inggris. Hunter menyatakan di dalam bukunya bahwa :
“There is no fear to the British in India except from the Wahhabis, for they are causing disturbances againts them, and agitating the people under the name of jihaad to throw away the yoke of disobedience to the British and their authority.”
“Tidak ada ketakutan bagi Inggris di India melainkan terhadap kaum Wahhâbi, karena merekalah yang menyebabkan kerusuhan dalam rangka menentang Inggris dan mengagitasi (membangkitkan semangat) umat dengan atas nama jihâd untuk memusnahkan penindasan akibat dari ketidaktundukan kepada Inggris dan kekuasaan mereka.”
Lihat: W.W. Hunter, “The Indian Musalmans”, cet.1 di London: Trűbner and Co., 1871; Calcuta: Comrade Publishers, 1945, 2nd edn.; New Delhi: Rupa & Co., 2002 Reprint
3 Catatan Ediotr : Di Bengal selama masa ini, banyak kaum muslimin termasuk tua, muda dan para wanita, semuanya disebut dengan “Wahhâbi” dan dianggap sebagai “pemberontak” yang melawan Inggris kemudian digantung pada tahun 1863-1864. Mereka yang dipenjarakan di Pulau Andaman dan disiksa adalah para ulama dari komunitas Salafî-Ahlul Hadîts, seperti Syaikh Ja’far Tsanisârî, Syaikh Yahyâ ‘Alî (1828-1868), Syaikh Ahmad ‘Abdullâh (1808-1881), Syaikh Nadzîr Husain ad-Dihlawî dan masih banyak lagi lainnya. Untuk bacaan lebih lanjut, silakan lihat :
 Mu’înud-dîn Ahmad Khân, A History if The Fara’idi Movement in Bengal (Karachi: Pakistan Historical Society, 1965).
 Barbara Daly Metrcalf, Islamic Revival in British India: Deoband, 1860-1900 (Princeton, New Jersey: Princeton University Press, 1982), hal. 26-77.
 Qiyâmud-dîn Ahmad (Professor Sejarah di Universitas Patna), The Wahhabi Movement in India (Ner Delhi: Manohar, 1994, 2nd edition). Terutama pada bab tujuh “The British Campaigns Againts the Wahhabis on the North-Western Frontier” dan bab kedelapan “State Trials of Wahhabi Leaders, 183-65.”
Muhammad Ja’far, Târikhul ‘Ajîb dan Târikhul ‘Ajîb – History of Port Blair (Nawalkshore Press, 1892, 2nd edition).
4 Lihat: ibid, hal. 70
5 D.S. Margoliouth, Wahabiya, hal. 618, 108.
Catatan Editor : Artikel karya Margoliouth yang berjudul ‘Wahhabis’ ini juga dapat ditemukan di dalam The First Encyclopaedia of Islam, 1913-1936 (New York: E.J. Brill, 1987 Reprint) vol.8 , hal.1087 karya M.T. Houtsma, T.W. Arnold, R. Basset, R. Hartman, A.J. Wensinck, H.A.R. Gibb, W. Heffening dan E. Lêvi-Provençal (ed) dan The Shorter Encyclopaedia of Islam (Leiden and London: E.J. Brill and Luzac & Co., 1960), hal. 619 karya H.A.R Gibb, J.H. Kramers dan E. Lêvi-Provençal (ed). Artikel ini juga dicetak ulang dalam :
 Reading, UK: Ithaca Press, 1974
 Leiden: Brill, 1997
 Dan cetakan pertama, Leiden and London: E.J. Bril and Luzac & Co., dan New York: Cornel University Press, 1953.
6 Thomas Patrick Huges, Dictionary of Islam, hal. 59
7 George Rentz dan AS.J. Arberry, The Wahhabis in Religion in The Middle East: Three Religion in Concord and Conflict, Vol.2 (Cambridge: Cambridge University Press, 1969), hal. 270
8 Lihat: Nâshir ibn Ibrâhîm ibn ‘Abdullâh Tuwaim, Asy-Syaikh Muhammad ibn ‘Abd`ul Wahhâb: Hayâtuhu wa Da’watuhu fi`r Ru`yâ al-Istisyrâqiyya: Dirôsah Naqdîyyah (Riyadh: Kementerian Urusan Keislaman, Pusat Penelitian dan Studi Islam, 1423/2003) hal. 86-7.
Catatan Editor : Buku ini juga dapat dilihat secara online di http://islamport.com/d/3/amm/1/100/2213.html
9 Lihat: Qodhî Ahmad ibn Hajar Alu Abŭthâmi (al-Bŭthâmi), Syaikh Muhammad Ibn ‘Abdul Wahhâb : His Salafî Creed and Reformist Movement, hal. 66

WAHHABISME : DALAM PANDANGAN MUSLIM RUSIA Sebuah Koreksi dan Klarifikasi Tentang Label Wahhabi

WAHHABISME : DALAM PANDANGAN MUSLIM RUSIA
Sebuah Koreksi dan Klarifikasi Tentang Label Wahhabi

Ibuku yang tinggal di Rusia pernah berkata kepadaku : “Aku harap engkau bukanlah seorang Wahhabi.” Saya berkata kepada beliau, “Ibu, apakah anda tahu apa arti kata tersebut?”, beliau menjawab : “tidak”. Saya sebenarnya tahu bahwa beliau tidak mengetahui sedikitpun tentang kata tersebut. Namun, hanya karena kata ini dulunya dan sampai saat ini masih digunakan oleh media Rusia (mungkin boleh saya tambahkan juga media dunia) digambarkan sebagai sesuatu yang “jahat, buruk dan monster haus darah dengan jenggot yang tebal yang menyebut diri mereka sebagai muslim” serta label negatif lainnya yang seseorang dapat dikaitkan dengan kata ini, beliau pun turut berkonklusi bahwa segala hal yang dikatakan kepada beliau adalah benar. Selain itu, harian utama Republik Uni Soviet terdahulu yang disebut Pravda, yang bermakna kebenaran, masih eksis [dan sering menggunakan kata wahhabi untuk mendiskreditkannya, pent].
Hal ini menunjukkan bagaimana orang-orang dikondisikan untuk tidak berfikir, menganalisa dan kritis, namun hanya menerima secara buta apa yang diutarakan kepada mereka tanpa bukti ataupun justifikasi sedikitpun atau dengan beberapa bukti yang patut dipertanyakan (hal inilah penyebab mengapa anda tidak pernah mempertanyakannya!). Seakan-akan seperti seekor domba, bukan seperti manusia yang dianugerahi kekuatan dan kemampuan besar yang dimilikinya berupa keintelektualitasannya.
Agama kita tidaklah menerima bentuk pengkondisian dan pemutarbalikkan realita semacam itu. Kita hanya diharuskan untuk mengikuti fakta dan bukti saja, bukannya praduga, hasrat ataupun hawa nafsu kita, walaupun kebaikan yang mereka lihat pada kita [maksudnya : walaupun pandangan mereka baik, namun karena berangkat dari dugaan dan hawa nafsu, ini tetap suatu hal yang salah, pent.]. Kita juga tidak diizinkan untuk menyalahkan orang lain dengan berkata tentang mereka sesuatu hal yang tidak benar atau bahkan tidak akurat.
Jadi, apa yang berada di belakang label ini, yaitu ”wahhabi”, pasalnya kata ini telah menjadi sebuah label, sebuah gelar yang digunakan untuk menggelari orang lain yang berada di luar batas, yang tidak sepakat, yang bahkan tidak berani untuk mengkritisi ataupun meminta bukti! Kata ini sendiri sebenarnya berasal dari nama seorang ulama Islam, Muhammad bin ’Abdul Wahhab at-Tamimi, yang hidup dan berdakwah di suatu daerah yang dikenal sebagai Najd yang pada hari ini dikenal sebagai Arab Saudi, semenjak tahun 1115 H, bertepatan dengan tahun 1703 sampai sekitar tahun 1206 H atau tahun 1792 menurut kalender Gregorian.
Beliau senantisa menyeru masyarakat daerahnya kepada tauhid dan sunnah dan mengingkari praktek kesyirikan (yaitu menjadikan sekutu bagi Alloh di dalam peribadatan) yang telah menjadi suatu hal yang lazim di wilayah itu pada pada zaman beliau, serta mengingkari bid’ah-bid’ah di dalam agama. Anda mungkin akan bertanya, ”hanya itu saja?”, singkatnya iya, memang demikian. Lantas, bagaimana dengan semua bentuk percekcokan mengenai orang ini dan namanya? (nama ini sebenarnya merupakan nama ayah beliau, namun lupakanlah! Orang-orang yang bersikeras di dalam mencaci maki seseorang dan menodai kehormatan nama beliau tidaklah akan mempedulikan detail ”kecil” semacam ini.)
Jawaban pertanyaan di atas sebenarnya sederhana saja, yaitu pada zaman beliau berdakwah dan menyeru, sama seperti sekarang dan masa lalu ketika nabi kita Muhammad (Shallallahu ’alaihi wa Salam) berdakwah, banyak orang yang sama sekali tidak terpengaruh dengan apa yang dilakukan oleh syaikh. Bahkan dalam kenyataannya, mereka merendahkan syaikh dan dakwah beliau. Kenapa? Banyak alasannya, namun tidak ada satupun alasannya yang agamis. Apabila orang-orang dapat meninggalkan tuhan-tuhan palsu yang mereka diajak untuk menyembahnya kemudian menyembah hanya kepada pencipta mereka saja serta berkomunikasi dengan-Nya secara langsung (tanpa perantara-perantara, pent.), kritikan-kritikan tersebut akan menyebabkan kehilangan para pengikut, termasuk, uang, kedudukan yang berpengaruh dan segala bentuk keinginan yang datang bagai percikan ketika anda adalah seorang pemimpin pencuci otak masyarakat.
Untuk apa seseorang menyebut dirinya sebagai muslim, namun begitu semangatnya memusuhi seorang yang berdakwah dengan apa yang didakwahkan oleh Nabi Muhammad Shallallahu ’alaihi wa Salam, yang mengarahkan semua bentuk peribadatan hanya kepada Alloh dan hanya mengikuti jalan Nabi Alloh Shallallahu ’alaihi wa Salam? Hanya seorang munafik, ahli bid’ah atau seseorang yang tidak mau kehilangan bagian dunia atau kedudukannya, belum lagi harta yang dimilikinya, yang akan berkeberatan dengan dakwah tersebut.
Jika anda tidak mempercayai saya, silakan periksa biografi syaikh yang sebenarnya, semoga Alloh merahmati beliau, dan bandingkanlah dakwah beliau dan apa yang beliau tulis di dalam buku-buku beliau dengan al-Qur`an dan as-Sunnah. Janganlah anda mendengarkan orang-orang yang hidup di masyarakat muslim yang mengatakan : ”Kamu tidak akan dapat membaca dan memahami al-Qur`an dan hadits dengan diri anda sendiri, karena anda bukanlah orang pada tingkatan tersebut. Anda harus punya imam untuk melakukan hal itu. Anda harus menerima segala hal yang dikatakan imam karena anda tidak mengetahui ilmunya.”
Memang benar bahwa seseorang memerlukan seorang guru untuk membimbingnya di dalam proses belajar. Tujuan utamanya adalah untuk mengetahui dan mengikuti nash (teks) Islam kemudian mengaplikasikannya ke dalam hidup kita, tidak hanya berhenti sampai mengetahui apa yang dikatakan oleh fulan dan fulan. Tujuan kita adalah meneladani Nabi Shallallahu ’alaihi wa Salam di dalam segala perkara yang beliau sampaikan kepada kita, bukannya malah mengikuti orang selain beliau di dalam segala hal yang ia katakan kepada kita.
Dari sini kita dapat menarik kesimpulan bahwa label ”wahhabi” itu pertama kali diciptakan oleh musuh-musuh dakwah tauhid dan sunnah, yang kemudian diwariskan kepada generasi setelahnya para pembenci sunnah di zaman kita ini. Sebagaimana para pencinta sunnah mewarisi kecintaan dan respek mereka terhadap sunnah dari orang-orang sebelum mereka yang mengikuti dan mendakwahkan sunnah, demikian pula dengan musuh-musuh dan pembenci sunnah yang mewarisi kebencian dan kedengkian mereka dari orang-orang sebelum mereka yang dulunya memusuhi dan membenci sunnah dan ahlus sunnah.
Saya benar-benar muak dan lelah... terhadap orang-orang yang mengaku sebagai ”pakar”/”ahli”, baik dari kalangan muslim ataupun non muslim, yang muncul di TV dan radio, serta menulis di media massa lalu menggunakan label ”wahhabi” ini seenak hati mereka. Terlebih-lebih apabila ada seorang teroris yang menyerang suatu tempat di suatu wilayah di dunia, dengan serta merta seseorang dari mereka (orang-orang sok ”ahli” ini, pent.) dengan menampakkan tampang yang sok pintar di wajahnya sekonyong-konyong akan mengatakan, ”Ohya, hal ini persis seperti apa yang diyakini dan didorong oleh wahhabi...”, atau ”wahhabi, salah satu cabang dalam Islam mengatakan...”, atau bahkan ada yang mengatakan, ”al-Qaida sebagian besar dianggotai dan didukung oleh wahhabi...”! Jangan membuatku mulai berbicara tentang al-Qaida, atau CIAeda, sebagaimana sebagian orang menyebutnya.
Saya menantang anda untuk membawa ke hadapanku, seorang muslim saja, yang mengetahui tentang organisasi yang disebut dengan al-Qaida ini sebelum peristiwa 9/11 terjadi, satu saja! Hal ini merupakan bentuk pengkondisian yang sama, dimana kita disodorkan dengan kata-kata tertentu yang kita dianggap berhubungan dengan ide atau gagasan tertentu, sedangkan kita tidak mempertanyakannya ataupun menantangnya, kita hanya menerimanya saja. Kenapa? Karena kita diberitahu bahwa hal itu adalah kebenaran.
Kebenarannya adalah, selama berabad-abad lamanya, ada orang-orang tertentu yang selalu mencoba dan seringkali mereka berhasil, memanipulasi opini publik dengan suatu cara atau lainnya, terutama pada masa konflik dan perang. Bukan karena mereka peduli dengan apa yang dipikirkan oleh masyarakat umum, bukan! namun mereka melakukannya untuk menutup mulut kritikan dari rekan, keluarga dan teman sendiri, dan berupaya meraih sebanyak mungkin kandidat sebagai ’serdadu-serdadu umpan meriam’ dari populasi mereka sendiri.
Cukup cerdas bukan? Tidak juga. Karena akan senantiasa ada orang-orang yang tetap memelihara kemampuan untuk berfikir dan menganalisa, berkemampuan untuk mengayak kebenaran dari kebatilan dan menunjukkannya kepada orang lain, seperti yang berkaitan dengan agama Islam pada umumnya dan dengan isu wahhabisme pada khususnya. Mereka mungkin saja tidak dalam jumlah besar, mereka juga tidak kaya dan memiliki kekuatan, namun mereka akan senantiasa ada sampai hari kiamat datang.
Sekiranya jumlah (kuantitas) itu berarti bahwa semakin besar jumlah orang maka mereka semakin benar dan berada di atas kebenaran, niscaya Cina akan berkemungkinan besar muncul sebagai kandidat hal tersebut. Dan saya tidak berfikir bahwa seseorang akan berpendapat demikian. Di sisi lain, sekiranya harta dan kekuatan menentukan kedekatan seseorang dengan kebenaran dan petunjuk, maka orang seperti Bill Gates, Warren Buffet dan George Bush akan dipertimbangkan sebagai orang yang berada di atas kebenaran dan petunjuk di dalam segala hal yang mereka lakukan. Padahal mereka jauh dari hal tersebut sebagaimana anda juga akan setuju.
Jadi, kriteria petunjuk dan kesesatan bukanlah dari hal-hal tersebut di atas. Kriterianya adalah mengetahui kebenaran dan mengikuti kebenaran tersebut, yaitu al-Qur`an dan as-Sunnah berdasarkan pemahaman as-Salaf ash-Shalih. Wal hasil, sebagai kesimpulan, kata “wahabisme” sebagaimana kata “terorisme” atau kata-kata “sumpah” lainnya, merupakan suatu label yang dapat dikaitkan kepada seseorang yang tidak dikehendaki atau tidak disukai di dalam suatu lingkungan atau masyarakat tertentu. Saya tidak menerima kata ini. Tidak ada seorangpun yang saya tahu menerima kata ini. Namun, kata ini tetap digunakan sepanjang waktu, sebagaimana kata sumpah. Namun, tidak seperti kata sumpah, kata ini (wahhabi) memiliki makna yang tidak jelas dan tidak tampak, namun (anehnya) kata ini diperbolehkan digunakan di BBC. Akan jadi apa dunia ini...?!

Sumber : “Wahhabism”: What Is Behind the Label? By Abu Imraan Abdur-Rahmaan Al-Sharkhasi. Al-Burhaan Islamic Educational Newsletter Issue 4. From http://www.calltoislam.com