Cari Blog Ini

Selasa, 02 Februari 2010

Hukum Pertanahan Menurut syari'at islam

PENDAHULUAN
Tanah merupakan salah satu faktor penting dalam kehidupan manusia. Baik sebagai sumber hidup maupun sebagai wadah secara pembangunan fisik untuk digunakan bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat. Lebih-lebih di Indonesia yang sebagian besar penduduknya bermata pencaharian di sekitarpertanian. Fungsi tanah begitu penting dan mempunyai arti sendiri, sebab tanah merupakan modal bagi kehidupan suatu keluarga. Selain itu, tanah juga selalu digunakan untuk berbagai kegiatan manusia, seperti tempat tinggal, mendirikan bangunan, bahkan sampai manusia meninggal dunia membutuhkan tanah.
Adanya hubungan yang erat antara manusia dengan tanah, karena tanah merupakan tempat berpijak dan melakukan kelangsungan hidup sehari-hari. Maka manusia berlomba-lomba untuk menguasai dan memiliki bidang tanah yang diinginkan karena tanah mempunyai nilai ekonomis bagi segala aspek kehidupan manusia. Untuk menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat seperti yang diinginkan bangsa Indonesia, maka permasalahan yang berkaitan dengan penggunaan, pemilikan penguasaaan dan peralihan hak atas tanah memerlukan perhatian yang khusus dalam peraturan perundangan.
Menyadari semakin meluasnya aktivitas masyarakat dalam berbagai bidang dan semakin bertambahnya penduduk dan kebutuhan manusia akan tanah menyebabkan kedudukan tanah yang sangat penting terutama dalam penguasaan, penggunaannya dan kepemilikannya. Khususnya hal ini semakin majunya aktivitas ekonomi, maka banyak tanah yang tersangkut di dalamnya, meluasnya aktivitas itu yang umumnya berupa bertambah banyaknya jual beli, sewa menyewa, pewarisan, pemberian kredit bahkan juga timbulnya hubungan hukum dengan orang atau badan hukum asing.



HUKUM PERTANAHAN MENURUT SYARIAH ISLAM
Hukum pertanahan dalam Islam dapat didefinisikan sebagai hukum-hukum Islam mengenai tanah dalam kaitannya dengan hak kepemilikan (milkiyah), pengelolaan (tasharruf), dan pendistribusian (tauzi') tanah.
Dalam studi hukum Islam, hukum pertanahan dikenal dengan istilah Ahkam Al-Aradhi. (Al-Nabhani, An-Nizham Al-Iqtishadi fi Al-Islam, hal. 128). Pada umumnya para fuqaha (ahli hukum Islam) membahas hukum pertanahan ini dalam studi mereka mengenai pengelolaan harta benda (al-amwal) oleh negara. Para fuqaha itu misalnya Imam Abu Yusuf (w. 193 H) dengan kitabnya Al-Kharaj, Imam Yahya bin Adam (w. 203 H) dengan kitabnya Al-Kharaj, dan Imam Abu Ubaid (w. 224 H) dengan kitabnya Al-Amwal. Sebagian ulama seperti Imam Al-Mawardi (w. 450 H) membahas pertanahan dalam kitabnya Al-Ahkam Al-Sulthaniyah yang membahas hukum tata negara menurut Islam. Demikian pula Imam Abu Ya'la.
Pada masa modern kini pun tak sedikit ulama yang membahas hukum pertanahan dalam perpektif Islam. Misalnya Abdul Qadim Zalum (w. 2003) dalam kitabnya Al-Amwal fi Daulah al-Khilafah, Athif Abu Zaid Sulaiman Ali dalam kitabnya Ihya` Al-Aradhi al-Mawat fi al-Islam (1416 H), dan Amin Syauman dalam kitabnya Bahtsun fi Aqsam Al-Aradhiin fi Asy-Syariah Al-Islamiyah wa Ahkamuhaa (t.t.).
Tulisan ini akan menjelaskan secara ringkas hukum pertanahan dalam Syariah Islam, khususnya yang terkait dengan kepemilikan, pemanfaatan, dan pendistribusian tanah.
2. Filosofi Kepemilikan Tanah
Dalam pandangan Islam, segala sesuatu yang ada di langit dan bumi --termasuk tanah-- hakikatnya adalah milik Allah SWT semata. Firman Allah SWT (artinya),"Dan kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan kepada Allah-lah kembali (semua makhluk)." (QS An-Nuur [24] : 42). Allah SWT juga berfirman (artinya),"Kepunyaan-Nyalah kerajaan langit dan bumi, Dia menghidupkan dan mematikan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu." (QS Al-Hadid [57] : 2).
Ayat-ayat tersebut menegaskan bahwa pemilik hakiki dari segala sesuatu (termasuk tanah) adalah Allah SWT semata.
Kemudian, Allah SWT sebagai pemilik hakiki, memberikan kuasa (istikhlaf) kepada manusia untuk mengelola milik Allah ini sesuai dengan hukum-hukum-Nya. Firman Allah SWT (artinya),"Dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya." (QS Al-Hadid [57] : 7). Menafsirkan ayat ini, Imam Al-Qurthubi berkata, "Ayat ini adalah dalil bahwa asal usul kepemilikan (ashlul milki) adalah milik Allah SWT, dan bahwa manusia tak mempunyai hak kecuali memanfaatkan (tasharruf) dengan cara yang diridhai oleh Allah SWT."
Dengan demikian, Islam telah menjelaskan dengan gamblang filosofi kepemilikan tanah dalam Islam. Intinya ada 2 (dua) poin, yaitu : Pertama, pemilik hakiki dari tanah adalah Allah SWT. Kedua, Allah SWT sebagai pemilik hakiki telah memberikan kuasa kepada manusia untuk mengelola tanah menurut hukum-hukum Allah.
Maka dari itu, filosofi ini mengandung implikasi bahwa tidak ada satu hukum pun yang boleh digunakan untuk mengatur persoalan tanah, kecuali hukum-hukum Allah saja (Syariah Islam). (Abduh & Yahya, Al-Milkiyah fi Al-Islam, hal. 138). Mengatur pertanahan dengan hukum selain hukum Allah telah diharamkan oleh Allah sebagai pemiliknya yang hakiki. Firman Allah SWT (artinya),"Dan Dia tidak mengambil seorangpun menjadi sekutu-Nya dalam menetapkan hukum." (QS Al-Kahfi [18] : 26).
3. Kepemilikan Tanah dan Implikasinya
Kepemilikan (milkiyah, ownership) dalam Syariah Islam didefinisikan sebagai hak yang ditetapkan oleh Allah SWT bagi manusia untuk memanfaatkan suatu benda. (idznu asy-Syari' bi al-intifa' bil-'ain). (Al-Nabhani, An-Nizham Al-Iqtishadi fi Al-Islam, hal. 73). Kepemilikan tidaklah lahir dari realitas fisik suatu benda, melainkan dari ketentuan hukum Allah pada benda itu.
Syariah Islam telah mengatur persoalan kepemilikan tanah secara rinci, dengan mempertimbangkan 2 (dua) aspek yang terkait dengan tanah, yaitu : (1) zat tanah (raqabah al-ardh), dan (2) manfaat tanah (manfaah al-ardh), yakni penggunaan tanah untuk pertanian dan sebagainya.
Dalam Syariah Islam ada 2 (dua) macam tanah yaitu : (1) tanah usyriah (al-ardhu al-'usyriyah), dan (2) tanah kharajiyah (al-ardhu al-kharajiyah).
Tanah Usyriah adalah tanah yang penduduknya masuk Islam secara damai tanpa peperangan, contohnya Madinah Munawwarah dan Indonesia. Termasuk tanah usyriah adalah seluruh Jazirah Arab yang ditaklukkan dengan peperangan, misalnya Makkah, juga tanah mati yang telah dihidupkan oleh seseorang (ihya`ul mawat).
Tanah usyriah ini adalah tanah milik individu, baik zatnya (raqabah), maupun pemanfaatannya (manfaah). Maka individu boleh memperjualbelikan, menggadaikan, menghibahkan, mewariskan, dan sebagainya.
Tanah usyriyah ini jika berbentuk tanah pertanian akan dikenai kewajiban usyr (yaitu zakat pertanian) sebesar sepersepuluh (10 %) jika diairi dengan air hujan (tadah hujan). Jika diairi dengan irigasi buatan zakatnya 5 %. Jika tanah pertanian ini tidak ditanami, tak terkena kewajiban zakatnya. Sabda Nabi SAW,"Pada tanah yang diairi sungai dan hujan zakatnya sepersepuluh, pada tanah yang diairi dengan unta zakatnya setengah dari sepersepuluh." (HR Ahmad, Muslim, dan Abu Dawud).
Jika tanah usyriah ini tidak berbentuk tanah pertanian, misalnya berbentuk tanah pemukiman penduduk, tidak ada zakatnya. Kecuali jika tanah itu diperdagangkan, maka terkena zakat perdagangan.
Jika tanah usyriah ini dibeli oleh seorang non muslim (kafir), tanah ini tidak terkena kewajiban usyr (zakat), sebab non muslim tidak dibebani kewajiban zakat.
Tanah Kharajiyah adalah tanah yang dikuasai kaum muslimin melalui peperangan (al-harb), misalnya tanah Irak, Syam, dan Mesir kecuali Jazirah Arab, atau tanah yang dikuasai melalui perdamaian (al-shulhu), misalnya tanah Bahrain dan Khurasan.
Tanah kharajiyah ini zatnya (raqabah) adalah milik seluruh kaum muslimin, di mana negara melalui Baitul Mal bertindak mewakili kaum muslimin. Ringkasnya, tanah kharajiyah ini zatnya adalah milik negara. Jadi tanah kharajiyah zatnya bukan milik individu seperti tanah kharajiyah. Namun manfaatnya adalah milik individu. Meski tanah tanah kharajiyah dapat diperjualbelikan, dihibahkan, dan diwariskan, namun berbeda dengan tanah usyriyah, tanah kharajiyah tidak boleh diwakafkan, sebab zatnya milik negara. Sedang tanah usyriyah boleh diwakafkan sebab zatnya milik individu.
Tanah kharajiyah ini jika berbentuk tanah pertanian akan terkena kewajiban kharaj (pajak tanah, land tax), yaitu pungutan yang diambil negara setahun sekali dari tanah pertanian yang besarnya diperkirakan sesuai dengan kondisi tanahnya. Baik ditanami atau tidak, kharaj tetap dipungut.
Tanah kharajiyah yang dikuasai dengan perang (al-harb), kharajnya bersifat abadi. Artinya kharaj tetap wajib dibayar dan tidak gugur, meskipun pemiliknya masuk Islam atau tanahnya dijual oleh non muslim kepada muslim. Sebagaimana Umar bin Khaththab tetap memungut kharaj dari tanah kharajiyah yang dikuasai karena perang meski pemiliknya sudah masuk Islam.
Tapi jika tanah kharajiyah itu dikuasai dengan perdamaian (al-shulhu), maka ada dua kemungkinan : (1) jika perdamaian itu menetapkan tanah itu menjadi milik kaum muslimin, kharajnya bersifat tetap (abadi) meski pemiliknya masuk Islam atau tanahnya dijual kepada muslim. (2) jika perdamaian itu menetapkan tanah itu menjadi milik mereka (non muslim), kedudukan kharaj sama dengan jizyah, yang akan gugur jika pemiliknya masuk Islam atau tanahnya dijual kepada muslim.
Jika tanah kharajiyah yang ada bukan berbentuk tanah pertanian, misal berupa tanah yang dijadikan pemukiman penduduk, maka ia tak terkena kewajiban kharaj. Demikian pula tidak terkena kewajiban zakat (usyr). Kecuali jika tanah itu diperjualbelikan, akan terkena kewajiban zakat perdagangan.
Namun kadang kharaj dan zakat (usyr) harus dibayar bersama-sama pada satu tanah. Yaitu jika ada tanah kharajiyah yang dikuasai melalui perang (akan terkena kharaj abadi), lalu tanah itu dijual kepada muslim (akan terkena zakat/usyr). Dalam kondisi ini, kharaj dibayar lebih dulu dari hasil tanah pertaniannya. Lalu jika sisanya masih mencapai nishab, zakat pun wajib dikeluarkan.
4. Cara-Cara Memperoleh Kepemilikan Tanah
Menurut Abdurrahman Al-Maliki, tanah dapat dimiliki dengan 6 (enam) cara menurut hukum Islam, yaitu melalui : (1) jual beli, (2) waris, (3) hibah, (4) ihya`ul mawat (menghidupkan tanah mati), (5) tahjir (membuat batas pada tanah mati), (6) iqtha` (pemberian negara kepada rakyat).
Mengenai jual-beli, waris, dan hibah sudah jelas. Adapun ihya`ul mawat artinya adalah menghidupkan tanah mati (al-mawat). Pengertian tanah mati adalah tanah yang tidak ada pemiliknya dan tidak dimanfaatkan oleh seorang pun. Menghidupkan tanah mati, artinya memanfaatkan tanah itu, misalnya dengan bercocok tanam padanya, menanaminya dengan pohon, membangun bangunan di atasnya, dan sebagainya. Sabda Nabi SAW,"Barangsiapa yang menghidupkan tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya." (HR Bukhari)
Tahjir artinya membuat batas pada suatu tanah. Nabi SAW bersabda,"Barangsiapa membuat suatu batas pada suatu tanah (mati), maka tanah itu menjadi miliknya." (HR Ahmad).
Sedang iqtha`, artinya pemberian tanah milik negara kepada rakyat. Nabi SAW pada saat tiba di kota Madinah, pernah memberikan tanah kepada Abu Bakar As-Shiddiq dan Umar bin Khaththab. Nabi SAW juga pernah memberikan tanah yang luas kepad


5. Hilangnya Hak Kepemilikan Tanah Pertanian
Syariat Islam menetapkan bahwa hak kepemilikan tanah pertanian akan hilang jika tanah itu ditelantarkan tiga tahun berturut-turut. Negara akan menarik tanah itu dan memberikan kepada orang lain yang mampu mengolahnya.
Umar bin Khaththab pernah berkata,"Orang yang membuat batas pada tanah (muhtajir) tak berhak lagi atas tanah itu setelah tiga tahun ditelantarkan." Umar pun melaksanakan ketentuan ini dengan menarik tanah pertanian milik Bilal bin Al-Harits Al-Muzni yang ditelantarkan tiga tahun. Para sahabat menyetujuinya sehingga menjadi Ijma' Sahabat (kesepakatan para sahabat Nabi SAW) dalam masalah ini.
Pencabutan hak milik ini tidak terbatas pada tanah mati (mawat) yang dimiliki dengan cara tahjir (pembuatan batas) saja, namun juga meliputi tanah pertanian yang dimiliki dengan cara-cara lain tas dasar Qiyas. Misalnya, yang dimiliki melalui jual beli, waris, hibah, dan lain-lain. Sebab yang menjadi alasan hukum (illat, ratio legis) dari pencabutan hak milik bukanlah cara-cara memilikinya, melainkan penelantaran selama tiga tahun (ta'thil al-ardh).
6. Pemanfaatan Tanah (at-tasharruf fi al-ardh)
Syariah Islam mengharuskan pemilik tanah pertanian untuk mengolahnya sehingga tanahnya produktif. Negara dapat membantunya dalam penyediaan sarana produksi pertanian, seperti kebijakan Khalifah Umar bin Khathab memberikan bantuan sarana pertanian kepada para petani Irak untuk mengolah tanah pertanian mereka.
Jika pemilik tanah itu tidak mampu mengolahnya, dianjurkan untuk diberikan kepada orang lain tanpa kompensasi. Nabi SAW bersabda,"Barangsiapa mempunyai tanah (pertanian), hendaklah ia mengolahnya, atau memberikan kepada saudaranya." (HR Bukhari).
Jika pemilik tanah pertanian menelantarkan tanahnya selama tiga tahun, maka hak kepemilikannya akan hilang, sebagaimana telah diterangkan sebelumnya.

7. Larangan Menyewakan Lahan Pertanian
Lahan pertanian tidak boleh disewakan, baik tanah kharajiyah maupun tanah usyriyah, baik sewa itu dibayar dalam bentuk hasil pertaniannya maupun dalam bentuk lainnya (misalnya uang).
Rasulullah SAW bersabda,"Barangsiapa mempunyai tanah (pertanian), hendaklah ia mengolahnya, atau memberikan kepada saudaranya, jika ia enggan [memberikan] maka tahanlah tanahnya itu." (HR Bukhari). Dalam hadis sahih riwayat Muslim, Rasulullah SAW telah melarang mengambil upah sewa (ajrun) atau bagi hasil (hazhun) dari tanah. Hadis-hadis ini dengan jelas melarang penyewaan lahan pertanian (ijaratul ardh).
Sebagian ulama membolehkan penyewaan lahan pertanian dengan sistem bagi hasil, yang disebut muzara'ah. Dengan dalil bahwa Rasulullah SAW telah bermuamalah dengan penduduk Khaibar dengan sistem bagi hasil, yakni setengah hasilnya untuk Rasulullah SAW dan setengah hasilnya untuk penduduk Khaibar.
Dalil ini kurang kuat, karena tanah Khaibar bukanlah tanah pertanian yang kosong, melainkan tanah berpohon. Jadi muamalah yang dilakukan Nabi SAW adalah bagi hasil merawat pohon yang sudah ada, yang disebut musaqat, bukan bagi hasil dari tanah kosong yang kemudian baru ditanami (muzara'ah). Tanah Khaibar sebagian besar adalah tanah berpohon (kurma), hanya sebagian kecil saja yang kosong yang dapat ditanami.
Larangan ini khusus untuk menyewakan lahan pertanian untuk ditanami. Adapun menyewakan tanah bukan untuk ditanami, misal untuk dibuat kandang peternakan, kolam ikan, tempat penyimpanan (gudang), untuk menjemur padi, dan sebagainya, hukumnya boleh-boleh saja sebab tidak ada larangan Syariah dalam masalah ini.
8. Tanah Yang Memiliki Tambang
Tanah yang di dalamnya ada tambang, misalkan minyak, emas, perak, tembaga, dan sebagainya, ada 2 (dua) kemungkinan : (1) tanah itu tetap menjadi milik pribadi/negara jika hasil tambangnya sedikit. (2) tanah itu menjadi milik umum jika hasil tambangnya banyak.
Nabi SAW pernah memberikan tanah bergunung dan bertambang kepada Bilal bin Al-Harits Al-Muzni (HR Abu Dawud). Ini menunjukkan tanah yang bertambang boleh dimiliki individu jika tambangnya mempunyai kapasitas produksinya sedikit.
Nabi SAW suatu saat pernah memberikan tanah bertambang garam kepada Abyadh bin Hammal. Setelah diberitahu para sahabat bahwa hasil tambang itu sangat banyak, maka Nabi SAW menarik kembali tanah itu dari Abyadh bin Hammal. (HR Tirmidzi). Ini menunjukkan tanah dengan tambang yang besar kapasitas produksinya, menjadi milik umum yang dikelola negara, tidak boleh dimiliki dan dikelola oleh individu (swasta).
9. Negara Berhak Menetapkan Hima
Hima adalah tanah atau wilayah yang ditetapkan secara khusus oleh negara untuk kepentingan tertentu, tidak boleh dimanfaatkan oleh individu. Misalnya menetapkan hima pada suatu tambang tertentu, katakanlah tambang emas dan perak di Papua, khusus untuk keperluan membeli alutsista (alat utama sistem persenjataan).
Rasulullah SAW dan para khalifah sesudahnya pernah menetapkan hima pada tempat-tempat tertentu. Rasulullah SAW pernah menetapkan Naqi` (nama padang rumput di kota Madinah) khusus untuk menggembalakan kuda-kuda milik kaum muslimin, tidak untuk lainnya. Abu Bakar pernah menetapkan Rabdzah (nama padang rumput juga) khusus untuk menggembalakan unta-unta zakat, bukan untuk keperluan lainnya.
10. Penutup
Demikianlah sekilas beberapa hukum pertanahan dalam Islam. Sudah selayaknya hukum-hukum ini terus menjadi bahan kajian umat Islam, untuk kemudian diterapkan dalam kehidupan kita guna menggantikan hukum warisan penjajah yang kafir. Wallahu a'lam.




DAFTAR PUSTAKA
Abdul Ghani, Muhammad, Al-'Adalah fi An-Nizham Al-Iqtishadi fi Al-Islam, (t.tp : t.p), t.t.
Al-Baghday, Abdurrahman, Serial Hukum Islam : Penyewaan Tanah Lahan, Kekayaan Gelap, Ukuran Panjang, Luas, Takaran dan Timbangan, (Bandung : Alma'arif), 1987
Ali, Athif Abu Zaid Sulaiman, Ihya` Al-Aradhi al-Mawat fi al-Islam, (Makkah : Rabithah al-'Alam al-Islami), 1416 H
Al-Maliki, Abdurrahman, As-Siyasah Al-Iqtishadiyah al-Mutsla, (t.tp : Hizbut Tahrir), 1963
Al-Nabhani, Taqiyuddin, Al-Syakhshiyah Al-Islamiyah, Juz II, (Beirut : Darul Ummah), 2003
----------, Al-Nizham Al-Iqtishadi fi Al-Islam, (Beirut : Darul Ummah), 2004
Ghadiy, Yasin, Al-Amwal wa Al-Amlak al-'Ammah fil Islam, (Mu`tah : Mu`assasah Raam), 1994
Abduh, Isa & Yahya, Ahmad Ismail, Al-Milkiyah fi Al-Islam, (Kairo : Darul Ma'arif), t.t.
Johansen, Baber, The Islamic Law on Land Tax and Rent, (London-New York-Sydney : Croom Helm), 1988
Mahasari, Jamaluddin, Pertanahan dalam Hukum Islam, (Yogyakarta : Gama Media), 2008
Salasal, Siti Mariam Malinumbay S., The Concept of Land Ownership : Islamic Perspectif, dalam Buletin Geoinformasi, Jilid 2, No 2, hlm. 285-304, Penerbitan Akademik Fakulti Kejuruteraan & Sains Geoinformasi, Universiti Teknologi Malaysia, Skudai, Desember 2004
Sait, M. Siraj, The Relevance of Islamic Law Land for Policy and Project Design, Makalah dalam Conference on Challenge for Land Policy and Administration, The World Bank, Washington DC, 14-15 Pebruari 2008.

Ali Geno Brt Putra Kuta Tengah

PEMBIDANGAN TATA HUKUM DI INDONESIA Hukum Perdata,Hukum Acara Perdata,Hukum Pidana,Hukum Acara Pidana,Hukum Tata Negara,Hukum administrasi Negarl,Huku

Pengertian Tata Hukum Indonesia
Istilah Tata hukum dapat dipahami melalui pemaknaan masing-masing kata dalam istilah tersebut.Tata menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia mempunyai makna yang sangat luas diantaranya yaitu sistem,urusan petunjuk,teknis,proses,cara,pengaturan dan pola. Sedangkan hukum secara garis besar dapat dipahami sebagai seperangkat aturan yang diterbitkan oleh pihak penguasa / berkompeten,yang mengikat dan dapat dipaksakan melalui sistem sangsi-sangsi dengan tujuan untuk mengatur dan menertibkan kehidupan masyarakat.Dengan demikian secara umum tata hukum dapat dipahami sebagai sistem dan tata tertib hukum yang berlaku dalam suatu negara.
Adapun tata hukum dalam terminologi ilmu hukum adalah suatu keseluruhan aturan,baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis yang bagian-bagianya saling berhubungan ,saling menentukan dan juga saling seimbang.
l. HUKUM PERDATA.
Hukum perdata disebut pula hukum privat atau hukum sipil sebagai lawan dari hukum publik. Jika hukum publik mengatur hal-hal yang berkaitan dengan negara serta kepentingan umum (misalnya politik dan pemilu (hukum tata negara), kegiatan pemerintahan sehari-hari (hukum administrasi atau tata usaha negara), kejahatan (hukum pidana), maka hukum perdata mengatur hubungan antara penduduk atau warga negara sehari-hari, seperti misalnya kedewasaan seseorang, perkawinan, perceraian, kematian, pewarisan, harta benda, kegiatan usaha dan tindakan-tindakan yang bersifat perdata lainnya.
Ada beberapa sistem hukum yang berlaku di dunia dan perbedaan sistem hukum tersebut juga mempengaruhi bidang hukum perdata, antara lain sistem hukum Anglo-Saxon (yaitu sistem hukum yang berlaku di Kerajaan Inggris Raya dan negara-negara persemakmuran atau negara-negara yang terpengaruh oleh Inggris, misalnya Amerika Serikat), sistem hukum Eropa kontinental, sistem hukum komunis, sistem hukum Islam dan sistem-sistem hukum lainnya. Hukum perdata di Indonesia didasarkan pada hukum perdata di Belanda, khususnya hukum perdata Belanda pada masa penjajahan.
a. Pengertian hukum perdata
Istilah Hukum Perdata digunakan dalam dua arti yaitu,yaitu dalm arti luas dan arti sempit.Hukum perdata dalam arti luas termasuk juga hukum dagang dimana pengertianya
.Hukum Perdata ini menentukan batas-batas hak-hak dan kepentingan subjek-subjek hukum,apabila batasan-batasan tersebut dilampaui maka dapat mengakibatkan pelanggaran atas hak subjek lain. Sedangkan Hukum perdata dalam arti sempit adalah hukum Perdata dalam arti luas dikurangi hukum Dagang jadi yang dimaksud hanyalah Hukum perdata.
b. Sejarah Hukum Perdata
Hukum perdata Belanda berasal dari hukum perdata Perancis yaitu Code Napoleon yang disusun berdasarkan hukum Romawi Corpus Juris Civilis yang pada waktu itu dianggap sebagai hukum yang paling sempurna. Hukum Privat yang berlaku di Perancis dimuat dalam dua kodifikasi yang disebut Code Civil (hukum perdata) dan Code de Commerce (hukum dagang). Sewaktu Perancis menguasai Belanda (1806-1813), kedua kodifikasi itu diberlakukan di negeri Belanda yang masih dipergunakan terus hingga 24 tahun sesudah kemerdekaan Belanda dari Perancis (1813)
Pada Tahun 1814 Belanda mulai menyusun Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Sipil) atau KUHS Negeri Belanda, berdasarkan kodifikasi hukum Belanda yang dibuat oleh MR.J.M. KEMPER disebut ONTWERP KEMPER namun sayangnya KEMPER meninggal dunia [1824] sebelum menyelesaikan tugasnya dan dilanjutkan oleh NICOLAI yang menjabat sebagai Ketua Pengadilan Tinggi Belgia. Keinginan Belanda tersebut terealisasi pada tanggal 6 Juli 1880 dengan pembentukan dua kodifikasi yang baru diberlakukan pada tanggal 1 Oktober 1838 oleh karena telah terjadi pemberontakan di Belgia yaitu :
1. Burgerlijk Wetboek yang disingkat BW [atau Kitab Undang-Undang Hukum Perdata-Belanda.
2. Wetboek van Koophandel disingkat WvK [atau yang dikenal dengan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang]
Kodifikasi ini menurut Prof Mr J, Van Kan BW adalah merupakan terjemahan dari Code Civil hasil jiplakan yang disalin dari bahasa Perancis ke dalam bahasa nasional Belanda.



2.HUKUM ACARA PERDATA
a. pengertian
Hukum acara perdata adalah hukum yang mengatur tentang tata cara beracara (berperkara di badan peradilan) dalam lingkup hukum perdata. Dalam hukum acara perdata, dapat dilihat dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Perdata (KUHAPerdata).
Tuntutan hak perdata dalam proses beracara dapat dibedakan menjadi dua :
1. Tuntutan Hak mengandung sengketa (juridictio volunataria) yang disebut pemohon.
2. Tuntutan hak yang tidak mengandung sengketa (juridictio voluantaria) disebut pemohonan
B.Riwayat Hukum Acara Perdata
Riwayat Hukum Acara Perdata dapat dibagi dalam tiga zaman,yaitu dimulai dari jaman penjajahan Hindia Belanda,dimana pada saat itu terjadi dualisme dalam hukum acara perdata,kemudian dilanjutkan dengan zaman penjajahan Jepang dan yang terakhir adalah zaman kemerdekaan Indonesia.
b. Sumber Hukum Acara Perdata
Sumber Hukum Acara Perdata tidak hanya terbatas pada H.I.R tetapi ada undang-undang dan peraturan lain yang menjadi sumber hukum Acara perdata,berikut adalah sumber-sumbernya.
1. Inlandac Reglement (I.R) yang tercantum dalam Staat Blaad No.16 tahun 1884 kemudian terjadi perubahan menjadi Herziene Indonesisch Reglement (H.I.R) yang tercantum dalam Staandablaad tahun 1941 No.44.
2. Undang-undang No.20 tahun 1947 tentang pemeriksaan ulang atau banding
3. Undang-undang No.14 tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman.
4. Undang-undang No.14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
5. Undang-undang No.2 tahun 1986 tentang peradilan umum
6. Peraturan Mahkamah Agung dan surat edaran Mahkamah Agung
7. Yurispudensi Mahkamah Agung



c. Azas-azas Hukum Acara Perdata

1. Hakim bersipat menunggu (Nemo Yudex sine actore)
2. Hakim bersikap pasif (Verhandlungs Maxime)
3. Sidang terbuka untuk umum
4. Berperkara harus dengan biaaya
5. Berperkara tidak harus diwakilkan
6. Hakim harus mendengarkan kedua belah pihak (Auidit et alteran pertem)
7. Putusan hakim harus disertai dengan pertimbangan
8. Dll.

3.HUKUM PIDANA
a. Pengertian Hukum Pidana
Pengertian hukum adalah “Hukum yang memuat peraturan-peraturan yang mengandung keharusan dan larangan terhadap pelanggarnya yang diancam dengan hukuman berupa siksa badan”
Sedangkan Prof. Dr. Moeljatno, SH. menguraikan berdasarkan dari pengertian istilah hukum pidana bahwa “Hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku disuatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk:
1. Menentukan perbuatan-perbuatan yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut;
2. Menentukan dan dalam hal apa kepada mereka yang melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan;
3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilakasanakan apabila orang yang disangkakan telah melanggar larangan tersebut “.
Berkenaan dengan pengertian dari hukum pidana, C.S.T. Kansil juga memberikan definisi sebagai berikut :
“Hukum pidana adalah hukum yang mengatur pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan-kejahatan terhadap kepentingan umum, perbuatan yang diancam dengan hukuman yang merupakan suatu penderitaan atau siksaan, selanjutnya ia menyimpulkan bahwa hukum pidana itu bukanlah suatu hukum yang mengandung norma-norma baru, melainkan hanya mengatur pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan-kejahatan terhadap norma-norma hukum mengenai kepentingan umum“.
Adapun yang termasuk kepentingan umum menurut C.S.T kansil adalah:
a) Badan peraturan perundangan negara, seperti negara, lembaga-lembaga negara, pejabat negara, pegawai negeri, undang-undang, peraturan pemerintah dan sebagainya.
b) Kepentingan umum tiap manusia yaitu, jiwa, raga, tubuh, kemerdekaan, kehormatan, dan hak milik/harta benda.
b. Ruang Lingkup Hukum Pidana
Dilihat dari ruang lingkupnya hukum pidana dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1. Hukum pidana tertulis dan hukum pidana tidak tertulis,
2. Hukum pidana sebagai hukum positif,
3. Hukum pidana sebagai bagian dari hukum publik,
4. Hukum pidana objektif dan hukum pidana subjektif,
5. Hukum pidana material dan hukum pidana formal,
6. Hukum pidana kodifikasi dan hukum pidana tersebar,
7. Hukum pidana umum dan hukum pidana khusus,
8. Hukum pidana umum (nasional) dan hukum pidana setempat.
c. Hubungan Hukum Pidana dengan Ilmu Lain
Hukum pidana adalah teori mengenai aturan-aturan atau norma-norma hukum pidana. Dalam ruang lingkup sistem ajaran hukum pidana, yamg dinamakan disiplin hukum pidana sebenarnya mencakup ilmu hukum pidana, politik hukum pidana, dan filsafat hukum pidana. Ilmu hukum pidana mencakup beberapa cabang ilmu, ilmu hukum pidana merupakan mencakup ilmu-ilmu sosial dan budaya. Ilmu-ilmu hukum pidana tersebut mencakup ilmu tentang kaedah dan ilmu tentang pengertian yang keduanya disebut sebagai dogmatika hukum pidana serta ilmu tentang kenyataan.
4.HUKUM ACARA PIDANA
Hukum acara pidana adalah hukum yang mengatur tentang tata cara beracara (berperkara di badan peradilan) dalam lingkup hukum pidana. Hukum acara pidana di Indonesia diatur dalam UU nomor 8 tahun 1981. Atau Hukum Acara Pidana adalah peraturan hukum yang mengatur tentang bagaimana cara alat-alat pemerintah yang berwenang untuk melakukan penyidikan,peraturan,cara memeriksa dan memutus sampai pelaksanaan putusan pengadilan yang mrmpunyai kekuatan hukum tetap,apabila ada seseorang atau beberapa orang telakukan perbuatan tindak pidana (delict).
Proses pelaksanaan Hukum Acara Pidana terdiri dari tiga tahapan yaitu :
1. Pemeriksaan pendahuluan (vooronderzoek)
Sebelum ada surat tuntutan yang diajukan oleh penuntut umum (jaksa) kemuka hakim pengadilan didahului pemeriksaan awal (pemeriksaan pendahuluam)
2. Pemeriksaan dalam sidang pengadilan (eindonderzoek)
Pemeriksaan sidang oleh hakim yang telah ditetapkan dan sesuai dengan penentuan hari sidang.
3. Pelaksanaan putusan (strafexecutie)
Putusan hakim yang telah dibacakan dalam sidang terbuka untuk umum sesuai dengan pasal 195 KUHAP dan telah mempunyai hukum yang tetap harus dieksekusi ,artinya harus dilaksanakan dengan segera oleh atau atas perintah jaksa
Asas dalam hukum acara pidana
Asas didalam hukum acara pidana di Indonesia adalah:
• Asas perintah tertulis, yaitu segala tindakan hukum hanya dapat dilakukan berdasarkan perintah tertulis dari pejabat yang berwenang sesuai dengan UU.
• Asas peradilan cepat, sederhana, biaya ringan, jujur, dan tidak memihak, yaitu serangkaian proses peradilan pidana (dari penyidikan sampai dengan putusan hakim) dilakukan cepat, ringkas, jujur, dan adil (pasal 50 KUHAP).
• Asas memperoleh bantuan hukum, yaitu setiap orang punya kesempatan, bahkan wajib memperoleh bantuan hukum guna pembelaan atas dirinya (pasal 54 KUHAP).
• Asas terbuka, yaitu pemeriksaan tindak pidana dilakukan secara terbuka untuk umum (pasal 64 KUHAP).
• Asas pembuktian, yaitu tersangka/terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian (pasal 66 KUHAP), kecuali diatur lain oleh UU.
5.HUKUM TATA NEGARA
a. Pengertian Hukum Tata Negara
Hukum tata negara adalah hukum yang mengatur tentang negara, yaitu antara lain dasar pendirian, struktur kelembagaan, pembentukan lembaga-lembaga negara, hubungan hukum (hak dan kewajiban) antar lembaga negara, wilayah dan warga negara.
b. Beberapa pendapat tentang negara
Oleh karena objek kajian hukum tata negara adalah organisasi kekuasaan yang disebut negara,maka perlu dibahas pengertian tentang negara.
1 Logemen. Negara adalah sebagai organisasi kemasyarakatan yang bertujuan dengan kekuasaanya mengatur dan melaksanakan struktur organisasi itu suatu pertambatan jabatan-jabatan atau lapangan-lapangan kerja.
2 Georga Jellinek. Negara adalah Organisasi kekuasaan dari sekelompok manusia yang telah berkediaman diwilayah tertentu.
3 Prof.Mr.Soenarko.Negara adalah organisasi masyarakat yang mempunyai daerah tertentu,dimana kekuasaan negara berlaku sepenuhnya sebagai souvereign (kedaulatan).
c. Bentuk-bentuk Pemerintahan
1. Pemerintahan Minarki (Kerajaan)
a. Monarki Absolut
b. Monarki Konstitusional
c. Monarki Parlementer
2. Pemerintahan Republik
a. Republik Absolut
b. Republik Konstitusional
c. Republik Parlementer
6. HUKUM ADMINISTRASI NEGARA
a. Pengertian
Hukum administrasi negara adalah hukum yang mengatur bagaimana alat kelengkapan negara dijalankan..Mengatur tingkah laku lembaga / organ alat negara dalam menjalankan tugas dan fungsinya,serta mengatur hubunganwarga negara dengan alat perlengkapan negara.
Posisi Hukum Administrasi negara dalam tata hukum adalah merupakan hukum Publik dalam rangka mencapai tujuan negara yaitu sebagai negara kesejahteraan (welfare staat) untuk mencapai tujuan negara yang terdapat dalam pembukaan UUD 1945.


5.HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA

a. Pengertian
Hukum Acara adalah ketentuan hukum yang mengatur bagaimana caranya menjamin ditaatinya hukum materiil. Dapat dikatakan juga Hukum acara meliputi ketentuan-ketentuantentang cara bagaimana orang harus menyelesaikan masalah dan mendapatkan keadilan dari Hakim apabila kepentingannya atau haknya dilanggar oleh orang lain atau sebalknya bagaimana cara mempertahankan kebenarannya apabila dituntut oleh orang lain. Di Indonesia terdapat dua macam Hukum Acara yakni Hukum Acara Pidana (Hukum Pidana formil) dan Hukum Acara Perdata (Hukum Perdata formil).
Hukum cara Peradilan Agama termasuk Hukum Acara Perdata..
b. Tujuan dan Fungsi
Tujuan dan Fungsi Hukum Acara Perdata adalah :
1. Bagi penggugat, yakni menunjukkan jalan yang harus dilalui, agar masalah yang dihadapi dapat diperiksa oleh pengadilan, dan ditunjukkan bagaimana pemeriksaan itu dilakukan, cara bagaimana orang mendapat putusan Pengadilan itu dapat dijalankan , sehingga tercapailah maksud penggugat, yaitu hak-haknya terpenuhi.
2. Bagi tergugat, yakni menunjukkan cara bagaimana tergugat harus bertindak terhadap gugatan yang ditujukan kepadanya, cara bagaimana ia dapat embantah atau mengakui kebenaran gugatan dalam pemeriksaan didepak Pengadilan dan cara bagaimana ia dapat bertindak agar bisa menghindarkan adanya suatu putusan dari Pengadilan yang dikehendaki oleh Penggugat.
c. Sumber Hukum Acara Peradilan Agama

1. Het Herziene Indonesiech Reglement (HIR) atau Reglement Indonesia yang diperbaharui : Stbl. 1848 No. 16 Stbl. 1941 N. 44 untuk daerah Jawa dan Madura ;
2. Rechts Reglement Buitenngewesten (Rbg. Atau Reglement daerah seberang : Stb 1927 No. 227 ) untuk luar Jawa san Madura) ;
3. Reglement op de Burgerlijk Rechtsvoerdering (RV atau Reglement Hukum Acara Perdata untuk golongan Eropa : Stb. 1847 No. 52 , dan Stb.1849 No. 63)
4. Undang-undang No. 14 Th. 1970. jo UU No. 35 Th. 1999 jo UU No. 4 th. 200 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang memuat juga beberapa ketentuan tentang Hukum Acara Perdata ;
5. Undang-undang No. 7 Th. 1989. jo UU No. 35 Th. 1999 tentang Perdfilan Agama (Bab. IV pasal 54 s/d 91) merupakan perbaikan dan pembaharuan proses perceraian yang diatur dalam Bab V PP. No. 9 Th. 1975 Th. 1975
6. Yurisprudensi.
d .Asas dan sifat Hukum Acara Peradilan Agama

Hukum Acara Peradilan Agama pada azasnya dilakukan dengan :
1. Asas Personalitas Keislaman ;
2 Asas kebebasan
3.. Beracara dengan hadir sendiri ;
4. Beracara dengan memajukan permohonan ;
5. Pemeriksaan dalam sidang terbuka
6. Beracara tidak dengan cuma-cuma ;
7. Hakim mendengar kedua belah pihak ;
8. Pemeriksaan perkara secara lisan ;
9. Terikatnya Hakim kepada alat pembuktian ;
10. Keputusan Hakim memuat alasan-alasan.
Sifat Hukum Acara : sederhana, murah dan cepat. atau ” Sederhana, cepat dan biaya ringan”











DAFTAR PUSTAKA
Budiyanto, Dasar-dasar Ilmu Tata Negara.Jakarta: Erlangga. 2003
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan R I.,Kamus Besar Bahasa Indonesia,Jakarta : Balai Pustaka, 1995,Edisi Kedua
Diktat Hukum Acara Peradilan Agama oleh Yasir SH.MH
Diktat Hukum Perdata dan Hukum Acara Perdata oleh ria Safitri SH.MH
Hasanuddin AF dkk.Pengantar Ilmu Hukum.UIN JKT Press.2004
http://www.id,wikipedia,org/wiki/halaman_utama/hukumindonesia/hukumacarapidana
http://www.id,wikipedia,org/wiki/halaman_utama/hukumperdata
Kusumadi Pudjosewojo,Pedoman Pelajaran Tata hukum Indonesia,Jakarta;Aksara
Moeljatno, Asas-Asas hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 2002
Samidjo, Ringkasan dan Tanya Jawab hukum Pidana, Bandung: CV Armico, 1985
Subekti,Pokok-pokok Hukum Perdata,intermasa ,jakarta ,1937
Syarifin,Pipin. Hukum Pidana di Indonesia, Bandung: Pustaka Setia, 2000
Utrecht.E,Pengantar Hukum Indonesia,Jakarta Penerbit Universitas,1966











Ali Geno Brt Putra Kuta Tengah

POLITIK HUKUM DI INDONESIA


Dibawah ini ada beberapa definisi yang akan disampaikan oleh beberapa ahli :
1. Satjipto Rahardjo
Politik Hukum adalah aktivitas untuk menentukan suatu pilihan mengenai tujuan dan cara – cara yang hendak dipakai untuk mencapai tujuan hukum dalam masyarakat.
2. Padmo Wahjono disetir oleh Kotam Y. Stefanus
Politik Hukum adalah kebijaksanaan penyelenggara Negara tentang apa yang dijadikan criteria untuk menghukumkan sesuatu ( menjadikan sesuatu sebagai Hukum ). Kebijaksanaan tersebut dapat berkaitan dengan pembentukan hukum
dan penerapannya.
3. L. J. Van Apeldorn
Politik hukum sebagai politik perundang – undangan .
Politik Hukum berarti menetapkan tujuan dan isi peraturan perundang – undangan . ( pengertian politik hukum terbatas hanya pada hukum tertulis saja.
4. Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto
Politik Hukum sebagai kegiatan – kegiatan memilih nilai- nilai dan menerapkan nilai – nilai.
5. Moh. Mahfud MD.
Politik Hukum ( dikaitkan di Indonesia ) adalah sebagai berikut :
a) Bahwa definisi atau pengertian hukum juga bervariasi namun dengan meyakini adanya persamaan substansif antara berbagai pengertian yang ada atau tidak sesuai dengan kebutuhan penciptaan hukum yang diperlukan.
b) Pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada , termasuk penegasan Bellefroid dalam bukunya Inleinding Tot de Fechts Weten Schap in Nederland
Mengutarakan posisi politik hukum dalam pohon ilmu hukum sebagai ilmu. Politik hukum merupakan salah satu cabang atau bagian dari ilmu hukum, menurutnya ilmu hukum terbagi atas :
1. Dogmatika Hukum
2. Sejarah Hukum
3. Perbandingan Hukum
4. Politik Hukum
5. IlmU Hukum Umum
Sedangkan keseluruhan hal diatas diterjemahkan oleh Soeharjo sebagai berikut :
1. Dogmatika Hukum
Memberikan penjelasan mengenai isi ( in houd ) hukum , makna ketentuan – ketentuan hukum , dan menyusunnya sesuai dengan asas – asas dalam suatu sistem hukum.
2. Sejarah Hukum
Mempelajari susunan hukum yang lama yang mempunyai pengaruh dan peranan terhadap pembentukan hukum sekarang. Sejarah Hukum mempunyai arti penting apabila kita ingin memperoleh pemahaman yang baik tentang hukum yang berlaku sekarang .
3. Ilmu Perbandingan Hukum
Mengadkan perbandingan hukum yang berlaku diberbagai negara , meneliti kesamaan, dan perbedaanya.
4. Politik Hukum
Politik Hukum bertugas untuk meneliti perubahan – perubahan mana yang perlu diadakan terhadap hukum yang ada agar memenuhi kebutuhan – kebutuhan baru didalam kehidupan masyarakat.
5. Ilmu Hukum Umum
Tidak mempelajari suatu tertib hukum tertentu , tetapi melihat hukum itu sebagai suatu hal sendiri, lepas dari kekhususan yang berkaitan dengan waktu dan tempat. Ilmu Hukum umum berusaha untuk menentukan dasar- dasar pengertian perihal hukum , kewajiban hukum , person atau orang yang mampu bertindak dalam hukum, objek hukum dan hubungan hukum. Tanpa pengertian dasar ini tidak mungkin ada hukum dan ilmu hukum.

Berdasarkan atas posisi ilmu politik hukum dalam dunia ilmu pengetahuan seperti yang telah diuraikan , maka objek ilmu politik hukum adalah “ HUKUM “.
Hukum yang berlaku sekarang , yang berlaku diwaktu yang lalu, maupun yang seharusnya berlaku diwaktu yang akan datang.

Yang dipakai untuk mendekati / mempelajari objek politik hukum adalah praktis ilmiah bukan teoritis ilmiah.
)Penggolongan lap Hukum yang klasik/tradisional dianut dalam tata hukum di Eropa dan tata hukum Hindia Belanda :
1. Hukum Tata Negara
2. Hukum Tata usaha
3. Hukum Perdata
4. Hukum Dagang
5. Hukum Pidana
6. Hukum Acara
 Lapangan Hukum Baru :
1. Hukum Perburuhan
2. Hukum Agraria
3. Hukum Ekonoimi
4. Hukum Fiskal
Pembagian Hukum secara tradisional antara lain : Hukum Nasional terbagi mejadi 6 bagian diantaranya :
a. Hukum Tata Negara
b. Hukum adminitrasi Negara
c. Hukum Perdata
d. Hukum Pidana
e. Hukum Acara Perdata
f. Hukum Acara Pidana
Hukum Nasional tradisional Mengandung “ Ide ”, “ asas ”, “ nilai “, sumber hukum ketika semua itu dijadikan satu maka disebut kegiatan POLITIK HUKUM NASIONAL.
.

I. RUANG GERAK POLITIK HUKUM SUATU NEGARA
Adanya Politik Hukum menunjukkan eksistensi hukum negara tertentu , bergitu pula sebaliknya, eksistensi hukum menunjukkan eksistensi Politik Hukum dari negara tertentu.
II. POLTIK HUKUM KEKUASAAN DAN WARGA MASYARAKAT
Politik Hukum mengejawantahkan dalam nuansa kehidupan bersama para warga masyarakat . Di lain pihak Politik Hukum juga erat bahkan hampir menyatu dengan penggunaan kekuasaaan didalam kenyataan. Untuk mengatur negara , bangsa dan rakyat. Politik Hukum terwujud dalm seluruh jenis peraturan perundang – undangan negara.

III. LEMBAGA – LEMBAGA YANG BERWENANG
Montesquieu mengutarakan TRIAS POLITICA tentang kkuasaan negara yang terdiri atas 3 ( tiga ) pusat kekuasaan dalam lembaga negara, antara lain :
a) Eksekutif
b) Legislatif
c) Yudikatif
Yang berfungsi sebagai centra – centra kekuasaaan negara yang masing – masing harus dipisahkan. Dalam kaitanya dengan Poliik Hukum yang tidak lain tidak bukan adalah penyusunan tertib hukum negara . Maka ketiga lembaga tersebut yang berwenang melakukannya.

REGIONALISME
Berasal dari kata “ Region” yang berarti “ daerah bagian dari suatu wilayah tertentu “. Dewasa ini regionalisme diartikan bagian dari dunia , yang meliputi beberapa negara yang berdekatan letaknya , yang mempunyai kepentingan bersama. Dengan kata lain Regionalisme adalah Suatu kerjasama secara kontinue antara negara – negara di dunia. Pada dasarnya Regionalisme sudah ada sejak dahulu kala seperti Regionalisme antara negara – negara SKANDINAVIA yang terdiri dari Swedia, Norwegia , dan Denmark. Begitu pula dengan BENELUX yang terdiri dari Belgia , Nederland dan Luxsemburg. Mereka bekerjasam dalam satu ikatan , namun perlu diketahui bahwa contoh – contoh diatas kurang mempunyai pengaruh terhadap Politik Hukum dunia. Keduanya tidak dianggap terlalu penting , lain halnya dengan NATO yang terdiri dari batasan negara Eropa Barat masih ditambah lagi dengan Turki dan Canada. Mereka punya pengaruh besar terhadap Politik Hukum negara – negara didunia dibandingkan dengan BENELUX.

TATA TERTIB DUNIA
Ada pemahaman yang baru mengenai ruang gerak bahwa Politik Hukum itu sendiri itu dinamis. Bersama dengan laju perkembangan jaman , maka ruang gerak Politik Hukum tidak hanya sebatas negara sendiri saja melainkan meluas sampai keluar batas negara hingga ke tingkat Internasional.
Menrut pendapatnya Sunaryati Hartono , Politik Hukum tidak terlepas dari realita sosial dan tradisional yang terdapat di negara kita dan di lain pihk. Sebagai salah satu anggota masyarakat dunia ,maka Politik Hukum Indonesia tidak terlepas pula dari Realita dan politik Hukum Internasional.


Kalau kita kaji antara POLITIK HUKUM dan ASAS-ASAS HUKUM maka akan terlihat konsep sebagai berikut :
• Politik Hukum di negara manapun juga termasuk di Indonesia tidak bisa lepas dari asas Hukum.
• diantara asas”itu terhadap asas yang dijadikan sumber tertib hukum bagi suatu negara.
• Asas hukum yang dijadikan sumber tertib Huykum/dasar Negara di sebut : GRUND NORM
• Di Indonesia yang dijadikan dasar negara adalah PANCASILA
• Asas hukum yang dijadikan dasar negara ini merupakan hasil proses pemikiran yang digali dari pengalaman Bangsa Indonesia sendiri; bukan diambil dari hasil perenungan belaka; bukan hal yang sekonyongkonyong masuk kedalam pemikiran masyarakat Indonesia tetapi :
1. ada yang bersifat Nasional
2. ada yang lebih khusus lagi seperti : kehidupan agama,suku,profesi, dll.
3. ada yang merupakan hasil pengaruh dari sejarah dan lingkungan masyarakat dunia.

B. KERANGKA LANDASAN POLITIK HUKUM DI INDONESIA
Negara RI lahir dan berdiri tanggal 17 Agustus 1945,proklamasi kemerdekaan yang dikumandangkan oleh Ir. Soekarno dan Hatta atas nama bangsa Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 tersebut merupakan detik penjebolan tertib hukum kolonial dan sekaligus detik pembangunan tertib hukum nasional ( Tatanan Hukum Nasional ).


C. MUNCULNYA POLITIK HUKUM DI INDONESIA
Muncul pada tanggal 17 Agustus 1945 ,yaitu saat dikumandangkannya Proklamasi, bukan tanggal 18 Agustus 1945 saat mulai berlakunya konstitusi / hukum dasar negara RI.

D. SIFAT POLITIK HUKUM
Menurut Bagi Manan , seperti yang dikutip oleh Kotan Y. Stefanus dalam bukunya yang berjudul “ Perkembangan Kekuasaan Pemerintahan Negara ” bahwa Politik Hukum terdiri dari
a. Politik Hukum yang bersifat tetap ( permanen )
Berkaitan dengan sikap hukum yang akan selalu menjadi dasar kebijaksanaan pembentukan dan penegakkan hukum.
Bagi bangsa Indonesia , Politik Hukum tetap antara lain :
i. Terdapat satu sistem hukum yaitu Sistem Hukum Nasional.
Setelah 17 Agustus 1945, maka politik hukum yang berlaku adalah politik hukum nasional , artinya telah terjadi unifikasi hukum ( berlakunya satu sistem hukum diseluruh wilayah Indonesia ). Sistem Hukum nasional tersebut terdiri dari:
1. Hukum Islam ( yang dimasukkan adalah asas – asasnya)
2. Hukum Adat ( yang dimasukkan adalah asas – asasnya )
3. Hukum Barat (yang dimasukkan adalah sistematikanya)
ii. Sistem hukum nasional yang dibangun berdasrkan Pancasila dan UUD 1945.

iii. Tidak ada hukum yang memberi hak istimewa pada warga negara tertentu berdasarkan pada suku , ras , dan agama. Kalaupun ada perbedaan , semata – mata didasarkan pada kepentingan nasional dalam rangka keasatuan dan persatuan bangsa.
iv. Pembentukan hukum memperhatikan kemajemukan masyarakat
Masyarakat memiliki peran yang sangat penting dalam pembentukan hukum , sehingga masyarakat harus ikut berpartisipasi dalam pembentukan hukum .
v. Hukum adat dan hukum yang tidak tertulis lainnya diakui sebagai subsistem hukum nasional sepanjang nyata-nyata hidup dan dipertahankan dalam pergaulan masyarakat.
vi. Pembentukan hukum sepenuhnya didasarkan pada partisipasi masyarakat.
vii. Hukum dibentuk dan ditegakkan demi kesejahteraan umum ( keadilan sosial bagi seluruh rakyat ) terwujudnya masyarakat yang demokratis dan mandiri serta terlaksananya negara berdasarkan hukum dan konstitusi.
2. Politik Hukum yang bersifat temporer.
Dimaksudkan sebagai kebijaksanaan yang ditetapkan dari waktu ke waktu sesuai dengan kebutuhan .

E. CARA YANG DIGUNAKAN
Di Indonesia cara – cara yang digunakan untuk membentuk politik hukumnya tidak sama dengan cara – cara yang digunakan oleh:
• Negara Kapitalis
• Negara Komunis
• Negara yang fanatik religius
Tetapi menghindari perbedaan – perbedaan yang mencolok dan cara – cara yang ekstrim untuk mencapai keadilan dan kemakmuran , menolak cara – cara yang dianggap tepat oleh paham:
• Negara Kapitalis
• Negara Komunis
• Negara yang fanatik religius
Ketga cara ini merupakan cara yang ekstrim:
• Kapitalis
Menganggap bahwa manusia perorangan yang individualis adalah yanhg paling penting.
• Komunisme
Menganggap bahwa masyarakat yang terpenting diatas segalanya
• Fanatik religius
Merupakan realita bahwa manusia hidup di dunia ini harus bergulat untuk mempertahankan hidupnya ( survive ) , maka Politik Hukum kita pasti tidak akan menggunakan cara – cara kapitalis, komunis, dan fanatik religius.

F. SISTEM HUKUM NASIONAL
Hukum nasional suatu negara merupakan gambaran dasar mengenai tatanan hukum nasional yang dianggap sesuai dengan kondisi masyarakat yang bersangkutan. Bagi Indonesia , tatanan hukum nasional yang sesuai dengan masyarakat Indonesia adalah yang berdasarkan Pancasila dengan pokok – pokoknya sebagai berikut :
1. Sumber dasar Hukum Nasional
Adalah kesadaran atau perasaan hukum masyarakat yang menentukan isi suatu kaedah hukum. Dengan demikian sumber dasar tatanan hukum Indonesia adalah perasaan hukum masyarakat Indonesia yang terjelma dalam pandangan hidup Pancasila. Oleh karena itu dalam kerangka sistem hukum Indonesia , Pancasila menjadi sumber hukum ( Tap MPRS No. XX/ MPRS / 1966 ).
2. Cita – cita hukum nasional
Dalam penjelasan UUD 1945 , dinyatakan bahwa pembukaan UUD 1945 memuat pokok – pokok pikiran sebagai berikut :
1) Negara melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dengan berdasar atas persatuan.
2) Negara hendak mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
3) Negara yang berkedaulatan rakyat , berdasar atas kerakyatan dan permusyawaratan perwakilan.
4) Negara berdasar atas KeTuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.

3. Politik Hukum Nasional

Politik hukum yang dilakukan oleh pemerintah berkaitan erat dengan wawasan nasional bidang hukum yakni cara pandang bangsa Indonesia mengenai kebijaksanaan politik yang harus ditempuh dalam rangka pembinaan hukum di Indonesia. Adapun arah kebijaksanaan politik dibidang hukum ditetapkan dalam GBHN.
Dalam TAP MPR dibawah ini terdapat politik hukum Indonesia yang menyangkut GBHN, antara lain:
a. TAP MPR No. 66 / MPRS / 1960
b. TAP MPR No. IV / MPR / 1973
c. TAP MPR No. IV / MPR / 1978
d. TAP MPR No. II / MPR / 1983
e. TAP MPR No. II / MPR / 1988
f. TAP MPR No. II / MPR / 1993
g. TAP MPR No. X / MPR / 1998
Tentang Pokok – pokok reformasi pembangunan dalam rangka penyelamatan dan normalisasi kehidupan nasional sebagai haluan negara “.
h. TAP MPR No. VIII / MPR / 1998
Mencabut TAP MPR No. II / MPR/ 1998
i. TAP MPR No. X / MPR / 1998, tentang GBHN
j. Tap mpr No. IV / MPR / 1999 tentang GBHN 1999 sampai dengan 2004.



POLITIK HUKUM SEBAGAI ILMU
a.1. Batasan / Definisi Politik Hukum

Sesungguhnya ada banyak definisi yang diberikan oleh para ahli. Pada definisi-definisi yang diberfikan tersebut ternyata ada perbedaann batasan tentangf politik hukum.

Politik Hukum Perundang-undangan :
1.Tertulis adalah Undang-undang yang bersifat Permanen.
2. Tidak tertulis adalah Kebijakan Publik (bisa berubah “setiap saat sesuai dengan kebutuhan dan keadaan”)
Sehingga keadaan dan kebutuhan yang berubah-ubah inilah yang menyebabkan pembicaraan Politik Hukum menjadi sangat kompleks, sebab antara kebutuhan dan keadaan suatu negara dengan negara lain bisa berbeda, waktu lalu bisa berbeda dengan waktu sekarang.

a.2. Ruang Lingkup Politik Hukum
Ruang Lingkup artinya situasi/tempat/faktor “lain yang berada di sekitar Politik Hukum yang berlaku sekarang, Hukum yang suidah berlaku dan Hukum yang akan berlaku.

a.3. Obyek Politik Hukum

Obyek yang dipelajari dalam Politik Hukum adalah Hukum-hukum yang bagaimana itu bisa berbeda-beda atau Hukum ini dihubung atau dilawankan dengan Politik.

a.4. Ilmu Bantu Politik Hukum
Yang dimaksud Ilmu bantu disini adalah Ilmu yang dipakai dalam mendekati/mempelajari Politik Hukum baik berupa konsep, “teori” dan penelitian. Sosiologi hukum dan Sejarah Hukum dalam hal ini sangat membantu dalam mempelajari Politik Hukum.

a.5. Metode Pendekatan Politik hukum
Metode adalah cara dalam mempelajari Politik Hukum Empirik adalah kenyataan (secara praktis untuk mendekati Politik Hukum adalah dengan melihat Konstitusi Negara)


POLITIK HUKUM LAMA
Politik Hukum Lama, di jalankan pada masa pemerintahan Hindia, Belanda, diawali sejak kedatangan atau zaman pemerintahan Hindia Belanda yang menerapkan asas Konkosedansi yaitu: menerapakn hubungan yang berlaku di Belanda berlaku juga di Hindia Belanda.
Di Hindia Belanda selain berlaku hukum adat dan Hukum Islam.
Sejak pendudukan penjajahan Belanda sampai dengan Indonesia merdeka tidak ada asvikasi hukum. Kalau menang Belanda berupaya untuk melakukan asifikasi (memberlakukan satu hukum untuk seluruh Rakyat di seluruh wilayah negara) tidak berhasil jug.
Asas Konkordansi
Yaitu pemberlakuan hukum Belanda disebuah wilayah Hindia Belanda.
Unifikasi Hukum adalah berlakunya suatu hukum di suatu wilayah negara untuk seluruh paalnya.
Kenapa hukum Islam masih berlaku ? karena sebagian besar pelakunya adalah beragama Islam.
Tetapi masuk terdapat orang-orang Indonesia yang tidak bulat “membela pemikiran barat”. A.c. Hamengku Buwono IX yang tetap mempertahankan Budaya Timur dengan menyatakan: jiwa barat dan timur dapat dilakukan dan bekerja sama secara ekonomomis tanpa harus kehilangan kepadiannya masing-masing. Selama tidak menghambat kemajuan, adat akan tetap menduduki tempat yang utama dalam mator yang kay7a dalam tradisi.
Pandangan politik hukum penjajah Belanda di Hiondia Belanda;
1. secara keseluruhan politik hukum Belanda sama isinya dengan politik hwed untuk tanah atau aja hanya di Hindia Belanda.
2. panangan politik Hukum Belanda sama dengan politik umum dan politik hukum dari hampir smua orang Eropa dan orang negara baratt trhadap daerah timur yang mereka jajah.
3. umumnya daerah yang dapat mereka kuasai; Daerah di Afrika dan Asia.
4. dikatakan oleh mereka, kebudayaan barat, tinggi, baik, mul;ia,sedangkan kebudayaan timur rendah terbelakang, primitif, sangat bergantung pada alam.
5. orang yang berpegang pada kebudayaan barat maju sedangkan yang berpegang pada timur ketinggalan zaman.
6. pendidikan mereka memandang pendidikan asli rendah, pendidikan Islam rendah dapat dilihat pada daerah jajahan Inggris, perancis, Belanda.
7. Usaha penjajah Belanda memaksakan sistem kebudayaan ke Hindia Belanda berhasil sehingga pemikiran sebagian bangsa Indonesia berpihak pada penjajah Belanda atau Barat.
8. Jadi terjadi dikotomi timur dan Barat.


UNIFIKASI JAMAN PENJAJAHAN DI HINDIA BELANDA

Terlihat adanya usaha unifikasi melalui tahap tersebut pada masa penjajahan di Hindia Belanda antara lain; dalam bidang hukum dagang dan lalu lintas ekonomi, dengan tujuan utamanya adalah keinginan pemberlakuan hukum Belanda bagi seluruh orang di Hindia Belanda caranya ialah:
1. memulai memberlakukan peraturan-peraturan yang disusun oleh pemerintah Belanda itu untuk orang Belanda dan Eropa sendiri.
2. Kemudian memberlakukan Hukum Belanda pada orang yang menunjukkan dii dengan sukarela kepada hukum Belanda.
3. selanjutnya baru memberlakukan Hukum Belanda untuk orang yang dipersamakan oleh pemerintah Hindia Belanda dengan orang-orang Belanda.

UNIFIKASI MASA INDONESIA MERDEKA

1. dizaman Indonesia merdeka maka tahap tertentu seperti diatas tak diperlukan memberlakukan suatu hukum gak tetap untuk yang lain atau menundukkan diri kepada kepada hukum tertentu tidak diperlukan lagi dalam hukum pemerintahan hukum di Indonesia merdeka, teutama dalam tindak hukum lalu lintas ekonomi dan keuangan baik untuk semua bangsa Indonesia sediri apalagi dalam hubungan dengan bangsa lain.
2. Khusus untuk sesama bangsa Indonesia terhadap kemungkinan memberlakukan pertahanan hukum bagi kekhususan orang Indonesia.
Menyangkut bidang yang disebut untuk dewa sesuai dengan bidang yang netral, tidak sulit mengunifikasikannya misal; KUHAP, tidak sulit dalam hak ;
1. Perasaan dan pemikiran anggota masyarakat untuk menyatukan peraturan-peraturannya.
2. sedangkan mengenai isinya tetap menghadapi kesulitan yang tak terhingga, misal bidang perdagangan dalam perdata yang berhubungan dengan perjanjian, bidang ini sudut isinya tetap tidak sangat sulit perasaan anggota masyarakat untuk menyatukannya.
3. mungkin di mintakan masukan yang diperlukan oleh pihak yang merasa bersangkutan dengan masalahnya, hal yang diangkat tersulit dalam dalam bidang hukum yang berhubungan dengan rasa kepercayaan keagamaan. Misalnya; bidang kekeluargaan, namun untuk bidang ini ini telah di rumus dengan suatu idang hukum yang berat.
KODIFIKASI

Menurut teori ada 2 macam kodifikasi hukum, yaitu ;
1. Kodifikasi terbuka
Kodifikasi terbuka adalah kodifikasi yang membuka diri terhadap terdapatnya tambahan – tambahan diluar induk kondifikasi. Pertama atau semula maksudnya induk permasalahannya sejauh yang dapat dimasukkan ke dalam suatu buku kumpulan peraturan yang sistematis,tetapi diluar kumpulan peraturan itu isinya menyangkut permasalahan di luar kumpulan peraturan itu isinya menyangkut permasalahan – permasalahan dalam kumpulan peraturan pertama tersebut. Hal ini dilakukan berdasarkan atas kehendak perkembangan hukum itu sendiri sistem ini mempunyai kebaikan ialah;
“ Hukum dibiarkan berkembang menurut kebutuhan masyarakat dan hukum tidak lagi disebut sebagai penghambat kemajuan masyarakat hukum disini diartikan sebagai peraturan “.

2. Kodifikasi tertutup
Adalah semua hal yang menyangkut permasalahannya dimasukan ke dalam kodifikasi atau buku kumpulan peraturan.
Cacatan;
Dulu kodifikasi tertutup masih bisa dilaksanakan bahkan tentang bidang suatu hukum lengkap dan perkasanya perubahan kehendak masyarakat mengenai suatu bidang hukum agak lambat. Sekarang nyatanya kepeningan hukum mendesak agar dimana-mana yang dilakukan adalah Kodifikasi Terbuka.
Isinya;
1. Politik hukum lama
2. Unifikasi di zaman Hindia Belanda (Indonesia) gagal
3. Penduduk terpecah menjadi;
a. penduduk bangsa Eropa
b. Penduduk bangsa Timur Asing
c. Pendudk bangsa pribadi (Indonesia)
4. pemikiran bangsa Indonesia terpecah-pecah pula.
5. Pendidikan bangsa indonesia:
a. Hasil Pendidikan Barat.
b. Hasil Pendidikan Timur


POLITIK HUKUM BARU

Politik hukum baru di Indonesia muali pada tanggal 17 Agustus 1945 (versi Indonesia). Kemerdekaan Indonesia Belanda adalah; 19 desember 1949 yaitu sewaktu adanya KMB di Denhaag (Belanda).

Apa syarat untuk membuat atau membentuk Politik Hukum sendiri bagi suatu negara;
1. Negara tersebut negara Merdeka.
2. Negara tersebut yang mempunyai Kedaulatan keluar dan kedalam
• Kedaulatan keluar ; Negara lain mengakui bahwa Negara kita merdeka.
• Kedaulatan kedalam; Kedaulatan Negara diakui oleh seluruh Warga Negara.
3. Ada keinginann untuk membuat hukum yang tujuannya untuk mensejahterakan Masyarakat.

Sumber-sumber hukum bagi Politik antaralain ;
1. Konstitusi
2. Kebajiakan (tertulis atau undang-undang)
3. Kebijakan tidak tertulis atau tidak.
Antara lain :
1. UUD 1945 ~ suppel tapi
2. Perbidang atau perlapangan hukum
- perdata,pidana, dagang,tata usaha negara, tata negara.
@ Persektor
- ex : di sektor ekonomi, ketenaga kerjaan, Accantung, management, sosial politik, politik bisnis.
3. Kebijakan tidak tertulis dengan hukum adatnya.
Adat kita menyatu dengan sumber politik Hukum:
Contoh : 1. Hukum perkawinan, UU No. 1 1974 tetapi masih menyelenggarakan pertunangan. 2. Adanya pelarangan menikah antara 2 Agama yang berbeda.

Apa bahan baku dari politik Hukum (Indonesia hukum nasional yang baru)
1. Hukum Islam
2. hukum Adat
3. Hukum Barat
Ada :
1. cara rakyat Indonesia sebagian besar beragama Islam.
2. peraturan di Indonesia mengadopsi Asas “hukum Islam Bukti: UU No. 1. 1974 ~ asas monogami.
3. karena hukum aslinya rakyat Indonesia adalah Adat Indonesia.
4. hukum rakyat yang diambil oleh hukum Indonesia adalah sistemnya yang baik.

Pihak ytang tersebut dalam pembentukan Politik Hukum :
1. Negara ~ pemerintah
Parpol ~ partai.
Para Pakar ~ ahli hukum dengan tulisan dan doktren dan pendapat.
Warga Negara ~ Kesadaran Hukumnya ~ bila warga negara kesadraan hukum tinggi maka politik hukumnya tinggi begitu sebaliknya.

Bagi Indonesia politik Hukum dicantumkan dalam :
1. Konsitusi = garis besar politik Hukum.
2. UU = ketentuan Incroteto = ketentuan yang berlaku.
3. Kebijaksanaan yang lain = pelengkap untuk pemersatu.
4. Adat = Berupa Nilai.
5. GBHN = Berupa Program
6. Hukum Islam , yang diambil adalah nilainya.

Sedangkan dari sisi produk Perundang-undangan. Terjadi perubahan Politik Hukum, yakni: dengan dikeluarkannya beberapa UU yang semula belum ada, yakni :
1. UU No 14 tahun 1970 Tentang ketentuan kekeuasaan kehakiman.
2. UU No 5 Tahun 1960 Tentang ketentuan pokok Agraria.
3. UU lingkungan Hiduop.
4. UU Perburuhan.
5. UU Perbankan, Dsb.
Kemudian Prof. HAZAIRIN berpendapat bahwa :
• diPakainya Hukum Adsat sebagai sumber Hukum Nasional telah disebakan Hukum Adat sudah Eksis dalam budaya dan perasaan Bangsa Indonesia.
• Di pakainya Hukum Islam sebagai sumber Hukum Nasional karena mayoritas Penduduk Indonesia beragama Islam ~ Iman.
• Terhadap Hukum Adat dan Hukum Islam tersebut hanya diambil asas-asasnya saja.
• Hukum Barat dijadikan sumber Hukum Nasional juga berkaitan dengan urusan-urusan Internasional atau berkaitan dengan Hukum atau perdagangan Internasional.

Tahun 1979, PURNADI dan SURYONO SUKAMTO menyatakan : Hukum Negara (Tata Negara) adalah Struktur dan proses perangkaat kaedah-kaedah Hukum yang berlaku pada suatu waktu dan tempat tertentu serta bwerbentuk tertulis.

Tahun 1986, JOHN BALL menyatakan : Persoalan Hukum di Indonesia adalah persoalan dalam rangka mewujudkan Hukum Nasional di Indonesia, yaitu persoalan yang terutama bertumpu pada realita alam Indonesia.

Tahun 1966, UTRECHT membuat buku dengan judul “Pengantar Dalam Hukum Indonesia”.
Tahun 1977, AHMAD SANUSI menyatakan PTHI hendaknya dipahami sebagai penguraian Deskritif-Analistis yang tekanannya lebih dikhususkan bagi Ilmu Hukum Indonesia, menjelaskan sifat-sifat spesifik dari Hukum Indonesia dengan memeberikan contoh-contohnya sendiri.
b.Persoalan Hukum di Indonesia dan Negara-negara baru lainnya tidak hanya sekedar penciptaan Hukum baru yang dapat ditujukan pada hubungan Perdata dan Publik dengan karekteristiknya yang telah cukup diketahui.
c. Harus diusahakan pendobrakan cara berpikir Hukum kolonial dan penggantinya dengan cara berpikir yang didorong oleh kebutuhan menumbuhkan Hukum setempat bagi Negara yang telah merdeka.
Tahun 1978 , DANIEL S. LEV menlis aspek Politiknya dengan menyatakan dan kedudukan Hukum di Negara republik indonesia sebaian besar merupakn perjuangan yang hanya dapat dimengerti secara lebih baik dengan memahami Sosial Poltik daripada kultural.
a. Hukum Indonesia harus memberi tempat kepada Rasa Hukum, Pengertian Hukum,Paham Hukum yang khas (Indonesia).
b. Hendaknya ada pelajaran Hukum indonesia.
Tahun 1952, DORMEIER membuka wacana dengan cara :
a. menulis buku “Pengantar Ilmu Hukum” (buku PIH karangannya ini adalah buku PIH pertama dalam Bahasa Indonesia).
b. Menukis bentuk-bentuk khusus Hukum yang berlaku di Indonesia.
Tahun 1955, LEMAIRE Deskripsi Hukum Indonesia.
Tahun 1965, DANIEL S.LEV. menyatakan Transformasi yang sesungguhnya terhadap ;
a. hukum masa Kolonial, terutama tergantung dari pembentukan Ide-ide baru, yang akan mendorong ke arah bentuk Hukum yang sama sekali berbeda dengan Hukum Kolonial.
b. Sejak sebelum kemerdekaan sesudah kemerdekaan Republik Indonesia sudah banyak usulan agar Negara Republik indonesia memiliki Hukum Politik dsendiri, bukan Politik Hukum yang sama dengan Politik Hukum Belanda. Usulan-usulan tersebut.
Tahun 1929, KLEINTJES menulis dalam sebuah buku, yang isinya :
a. pokok-pokok Hukun Tentang Negara dan Hukum Antar Negara yang berlaku di Hindia Belanda.
b. Beberapa aspek pranata Hukum yang dijumpai di Hindia Belanda.
Tahun 1932, VAN VOLLEN HOVEN dalam pidatonya yang brjudul “Romantika Dalam Hukum indonesia” menyatakan :
a. Hukum Indonesia harusnya menuju “Hukum Yang Mandiri” dan jangan hanya menjadi tambahan saja bagi Hukum Belanda di Hindia Belanda.
b. Ideaalnya, sejak Tahun 1945 Indonesia sudah memiliki Politik Hukumnya sendiri yang sesuai dengan situasi dan kondisi Bangsa indonesia.







Ali Geno Brt Putra Kuta Tengah

AL-QURA’AN SEBAGAI PEDOMAN HUKUM

A. AL-QUR’AN
1. PENGERTIAN AL-QUR’AN
Menurut bahasa, “Qur’an” berarti “bacaan”, pengertian seperti ini dikemukakan dalam Al-Qur’an sendiri yakni dalam surat Al-Qiyamah, ayat 17-18:
“Sesungguhnya mengumpulkan Al-Qur’an (di dalam dadamu) dan (menetapkan) bacaannya (pada lidahmu) itu adalah tanggungan kami. (Karena itu), jika kami telah membacakannya, hendaklah kamu ikuti bacaannya”.
Adapun menurut istilah Al-Qur’an berarti: “Kalam Allah yang merupakan mu’jizat yang diturunkan kepada nabi Muhammad, yang disampaikan secara mutawatir dan membacanya adalah ibadah”.
Al-Qur’an adalah kalamullah, firman Allah ta’ala. Ia bukanlah kata-kata manusia. Bukan pula kata-kata jin, syaithan atau malaikat. Ia sama sekali bukan berasal dari pikiran makhluk, bukan syair, bukan sihir, bukan pula produk kontemplasi atau hasil pemikiran filsafat manusia. Hal ini ditegaskan oleh Allah ta’ala dalam Al-Qur’an surat An-Najm ayat 3-4:
“…dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)…”
Tentang kesucian dan keunikan Al-Qur’an ini perhatikanlah kesaksian objektif Abul Walid. seorang jawara sastra pada masa Nabi saw: “Aku belum pernah mendengar kata-kata yang seindah itu. Itu bukanlah syair, bukan sihir dan bukan pula kata-kata ahli tenung. Sesungguhnya Al-Qur’an itu ibarat pohon yang daunnya rindang, akarnya terhujam ke dalam tanah. Susunan kata-katanya manis dan enak didengar. Itu bukanlah kata-kata manusia, ia tinggi dan tak ada yang dapat mengatasinya.” Demikian pernyataan Abul Walid.
Mu’jizat
Mu’jizat artinya suatu perkara yang luar biasa, yang tidak akan mampu manusia membuatnya karena hal itu di luar kesanggupannya. Mu’jizat itu dianugerahkan kepada para nabi dan rasul dengan maksud menguatkan kenabian dan kerasulannya, serta menjadi bukti bahwa agama yang dibawa oleh mereka benar-benar dari Allah ta’ala.
Al-Qur’an adalah mu’jizat terbesar Nabi Muhammad saw. Kemu’jizatannya itu diantaranya terletak pada fashahah dan balaghah-nya, keindahan susunan dan gaya bahasanya yang tidak ada tandingannya. Karena gaya bahasa yang demikian itulah Umar bin Khatthab masuk Islam setelah mendengar Al-Qur’an awal surat Thaha yang dibaca oleh adiknya Fathimah. Abul Walid, terpaksa cepat-cepat pulang begitu mendengar beberapa ayat dari surat Fushshilat.
Adapun menurut istilah al-Qur’an adalah Adapun definisi al-Quran secara terminologi adalah Firman Allah yang berbahasa Arab, dapat melemahkan musuh, diturunkan kepada Nabi Muhammad, ditulis di dalam mushaf, dan ditranformasikan secara tawattur serta membacanya termasuk ibadah .
2. Hukum yang terdapat dalam al-Qur’an
Dalam menjelaskan hukum-hukum syara’, al-Qur’an menggunakan bentuk ungkapan (shighat) yang bermacam-macam. Karena pada hakekatnya, al-Qur’an bukan merupakan suatu kitab perundang-undangan yang mengikuti satu metode tertentu, akan tetapi merupakan kitab dan pelajaran yang menggunakan bentuk bahasa yang indah.
Oleh karena itu, dalam menjelaskan hukum-hukum syara’, al-Qur’an menggunakan bermacam-macam bentuk ungkapan. Di antaranya adalah sebagai berikut:
1. Bentuk perintah;
2. Bentuk larangan;
3. Dengan menetapkan, bahwa suatu perbuatan itu diwajibkan difardlukan.
4. Dan lain sebagainya…
Sebagaimana telah diuraikan, bahwa al-Qur’an menjelaskan hukum-hukum syara’ secara global, sedang Sunnah yang berfungsi menjelaskan secara rinci itu tunduk kepadanya, karena pada dasarnya, penjelasan Sunnah berasal dari al-Qur’an juga.
Menurut Abd. Wahab Khallaf, hukum yang dikandung dalam al-Qur’an itu terdiri tiga macam:
a) Hukum-hukum yang bersangkut paut dengan keimanan (kepada Allah, malaikat, para Nabi, hari kemudian dan lain-lainnya).
b) Hukum-hukum Allah yang bersangkut paut dengan hal-hal yang harus dijadikan perhiasan bagi seseorang untuk berbuat keutamaan dan meningalkan kehinaan.
c) Hukum-hukum yang bersangkut paut dengan ucapan, perbuatan, transaksi (aqad) dan pengelolaan harta. Inilah yang disebut fiqhul qur’an, dan inilah yang dimaksud dengan Ilmu Ushul Fiqh sampai kepadanya.

Selanjutnya Abd. Wahhab mengemukakan hukum-hukum amaliyah di dalam Al-Qur’an terdiri atas dua cabang hokum:
a) Hukum-hukum Ibadah, seperti shalat, puasa, zakat, haji, nadzar, sumpah, dan ibadah-ibadah lain yang mengatur hubungan antara manusia dan Allah SWT.
b) Hukum-hukum mu’amalah, seperti aqad, pembelanjaan, hukuman, jinayat, dan lain-lain selan ibadah, yaitu yang mengatur hubungan antara manusia dengan manusia, baik perorangan maupun kelompok. Inilah yang disebut dengan hokum mu’amalah yang di dalam hokum modern bercabang-cabang sebagai berikut:
1. Hukum badan pribadi, tentang manusia, sejak adanya dan kemudian ketika berhubungan sebagai suami-isteri.
2. Hukum perdata, yaitu hokum mu’amalah antara perseorangan dengan perseorangan dan juga masyarakat, seperti jual beli, sewa menyewa, gadai dan lain-lainnya yang menyangkut harta kekayaan.
3. Hukum pidana, al-Qur’an banyak menjelaskan tentang hokum-hukum pidana berkenaan dengan masalah-masalah kejahatan .
4. Hukum acara, yaitu yang bersangkut paut dengan pengadilan, kesaksian, dan sumpah;
5. Hukum perundang-undangan, yaitu yang berhubungan dengan hokum dan pokok-pokoknya. Yang dimaksudkan dengan ini ialah membatasi hubungan antara hakim dan terdakwa, hak-hak perseorangan dan hak-hak masyarakat.
6. Hukum ketatanegaraan, yaitu hubungan antara Negara-negara Islam dengan Negara bukan Islam, tata cara pergaulan dengan selain muslim di dalam Negara Islam. Semuanya baik ketika perang maupun damai.
7. Hukum tentang Ekonomi dan keuangan, yaitu hak seorang miskin pada harta orang kaya, sumber air, bank, juga hubungan antara fakir dan orang-orang kaya, antara dan perorangan.

3. Sifat-sifat hukum yang terdapat di dalam alQur’an.
Umumnya hukum-hukum yang terdapat di dalam al-Qur’an itu bersifat garis besarnya saja, tidak sampai kepada perincian yang kecil-kecil. Kebanyakan penjelasan al-Qur’an ada dalam as-Sunnah. Sekalipun demikian ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam al-Qur’an cukup lengkap. Jadi ia merupakan pokok-pokok atau garis besar yang lengkap .
 •       …
Artinya: Tidaklah kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab (Q.S, 6 : 38)
Al-Qur’an telah sempurna, sebab syari’at juga sudah sempurna sebagaimana Allah berfirman:
            
Artinya. . pada hari Ini Telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan Telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan Telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.
Memang sudah jelas, hukum-hukum shalat, zakat, haji dan lain-lainnya, namun al-Qur’an tidak menjelaskan dengan tuntas yang menjelaskannya adalah As-Sunnah, demikian pula tentang perkawinan, transaksi, qishash, dan lain-lainnya.
Sebagaimana kita ketahui, dalil-dalil atau landasan pokok didalam Islam adalah Al-Qur’an, As-Sunnah, al-Ijma’ dan Al-Qiyas. Semua itulah yang akan menjelaskan Al-Qur’an . Mula-mula As-Sunnah kemudian Al-Ijma’ dan kemudian Al-Qiyas. Semua ini landasannya juga terdapat di dalam al-Qur’an .
Jadi kesimpulannya, kebanyakan hukum yang terdapat di dalam al-Qur’an itu kulli(bersifat umum, serta besar, global), tidak membicarakan soal yang kecil-kecil (juz’i) .
4. Asas-asas hukum.
a) Tidak memberatkan.
Hal ini ternyata dalam firman Allah SWT:
       
Artinya: Dan dia tidak menjadikan kesukaran untukmu dalam agama. (Qs. al-Hajj 78)
Demikian pula firman Allah SWT yang lain:
      
Artinya: Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. (QS. Al-Baqarah: 286)
b) Islam tidak memperbanyak beban atau tuntutan.
Artinya segala sesuatu yang ditentukan di dalam al-Qur’an, juga di dalam As-Sunnah semua manusia mampu melakukannya.
c) Ketentuan-ketentuan Islam datang secara berangsur-angsur.
Contohnya, al-khamr mula-mula dikatakan oleh tuhan, orang-orang tidak diperbolehkan shalat apabila dalam keadaan mabuk, kemudian dikatakan di dalam al-khamr itu ada kemanfaatannya tetapi juga ada kemafsadatannya, akan tetapi kemafsadatannya itulah yang lebih besar. Akhirnya al-khamr itu sama sekali diharamkan.
B. HADIST.
1. Pengertian Hadits
Menurut bahasa kata hadits memiliki arti;
1) al jadid minal asyya (sesuatu yang baru), lawan dari qodim. Hal ini mencakup sesuatu (perkataan), baik banyak ataupun sedikit.
2) Qorib (yang dekat)
3) Khabar (warta), yaitu sesuatu yang dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang kepada orang lain dan ada kemungkinan benar atau salahnya. Dari makna inilah diambil perkataan hadits Rasulullah saw.
Jamaknya adalah hudtsan, hidtsan dan ahadits. Jamak ahadits-jamak yang tidak menuruti qiyas dan jamak yang syad-inilah yang dipakai jamak hadits yang bermakna khabar dari Rasulullah saw. Oleh karena itu, hadist-hadits Rasul dikatakan ahadits al Rosul bukan hudtsan al Rosul atau yang lainnya.
Ada juga yang berpendapat ahadits bukanlah jamak dari hadits, melainkan merupakan isim jamaknya.
Dalam hal ini, Allah juga menggunakan kata hadits dengan arti khabar, dalam firman-Nya;
فليأتوا بحديث مثله إن كانوا صادقين.
“maka hendaklah mereka mendatangkan khabar yang sepertinya jika mereka orang yang benar” (QS. At Thur; 24).
Adapun hadits menurut istilah ahli hadits hampir sama (murodif) dengan sunah, yang mana keduanya memiliki arti segala sesuatu yang berasal dari Rasul, baik setelah dingkat ataupun sebelumnya. Akan tetapi kalau kita memandang lafadz hadits secara umum adalah segala sesuatu yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad saw. setelah diangkat menjadi nabi, yang berupa ucapan, perbuatan, dan taqrir beliau. Oleh sebab itu, sunah lebih umum daripada hadits.
Menurut ahli ushul hadits adalah segala pekataan Rosul, perbuatan dan taqrir beliau, yang bisa bisa dijadikan dalil bagi hukum syar’i. Oleh karena itu, menurut ahli ushul sesuatu yang tidak ada sangkut pautnya dengan hukum tidak tergolong hadits, seperti urusan pakaian.
C. QIYQAS
1. Pengertian Qiyas
Secara bahasa qiyas berarti ukuran, mengetahui ukuran sesuatu, membandingkan atau menyamakan sesuatu dengan yang lain, misalnya ………………. yang berarti “saya mengukur baju dengan hasta”
Pengertian qiyas secara terminologi terdapat beberapa definisi yang dikemukakan para ulama ushul fiqh, sekalipun redaksinya berbeda tetapi mengandunng pengertian yang sama.
Sadr al-Syari’ah (w. 747 H), tokoh ushul fiqh Hanafi menegmukakan bahwa qiyas adalah :
“Memberlakukan hukum asal kepada hukum furu’ disebabkan kesatuan illat yang tidak dapat dicapai melalui pendekatan bahasa saja”.
Maksudnya, illat yang ada pada satu nash sama dengan illat yang ada pada kasus yang sedang dihadapi seorang mujtahid, karena kesatuan illat ini, maka hukum kasus yang sedang dihadapi disamakan dengan hukum yang ditentukan oleh nash tersebut.
Mayoritas ulama Syafi’iyyah mendefinisikan qiyas dengan :
“Menyatukan sesuatu yang tidak disebutkan hukumnya dalam nash dengan sesuatu yang disebutkan hukumnya oleh nash, disebabkan kesatuan illat antara keduanya”.
Sekalipun terdapata perbedaan redaksi dalam beberapa definisi yang dikemukakan para ulama ushul fiqih klasik dan kontemporer diatas tentang qiyas tetapi mereka sepakat menyatakan bahwa proses penetapan hukum melalui metode qiyas bukanlah menetapkan hukum dari awal (istinbath al-hukm wa insya’uhu) melainkan hanya menyingkapkan dan menjelaskan hukum (al-Kasyf wa al-Izhhar li al-Hukm) yang apa pada suatu kasus yang belum jelas hukumnya. Penyingkapan dan penjelasan ini di lakukan melalui pembahasan mendalam dan teliti terhadap illat dari suatu kasus yang sedang dihadapi. Apabila illatnya sama dengan illat hukum yang disebutkan dalam nash, maka hukum terhadap kasus yang dihadapi itu adalah hukum yang telah ditentukan nash tersebut.
Misalnya, seorang mujtahid ingin mengetahui hukum minuman bir atau wisky. Dari hasil pembahasan dan penelitiannya secara cermat, kedua minuman itu mengandung zat yang memabukkan, seperti zat yang ada pada khamr. Zat yang memabukkan inilah yang menjadi penyebab di haramkannya khamr. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat al-Maidah 5 : 90 – 91. Dengan demikian, mujtahid tersebut telah menemukan hukum untuk bir dan wisky, yaitu sama dengan hukum khamr, karena illat keduanya adalah sama. Kesamaan illat antara kasus yang tidak ada nash-nya dengan hukum yang ada nash-nya menyebabkan adanya kesatuan hukum.
Adapun rukun qiyas itu ada 4 :
• Ashl
• Far’u
• Illat
• Hukum ashl
2. Kehujjahan Qiyas
Ulama ushul fiqih berbeda pendapat terhadap kehujjahan qiyas dalam menetapkan hukum syara’. Jumhur ulama ushul fiqih berpendirian bahwa qiyas bisa dijadikan sebagai metoda atau sarana untuk mengistinbathkan hukum syara’.
Berbeda dengan jumhur para ‘ulama mu’tazilah berpendapat bahwa qiyas wajib diamalkan dalam dua hal saja, yaitu :
1. Illatnya manshush (disebutkan dalam nash) baik secara nyata maupun melalui isayrat.
2. Hukum far’u harus lebih utama daripada hukum ashl.
Wahbah al-Zuhaili mengelompokkan pendapat ulama ushul fiqh tentang kehujjahan qiyas menjadi dua kelompok, yaitu kelompok yang menerima qiyas sebagai dalil hukum yang dianut mayoritas ulama ushul fiqih dan kelompok yang menolak qiyas sebagai dalil hukum yaitu ulama – ulama syi’ah al-Nazzam, Dhahiriyyah dan ulama mu’tazilah Irak.
Alasan penolakan qiyas sebagai dalil dalam menetapkan hukum syara’ menurut kelompok yang menolaknya adalah :
• Firman Allah dalam surat al-Hujurat, 49 : 1
“Hai orang – orang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya…”.
Ayat ini menurut mereka melarang seseorang untuk beramal dengan sesuatu yang tidak ada dalam al-Qur'an dan sunah Rasul. Mempedomani qiyas merupakan sikap beramal dengan sesuatu diluar al-Qur'an dan sunnah Rasul, dan karenanya dilarang. Selanjutnya dalam surat al-Isra’, 17:36 Allah berfirman :
“Dan janganlah kam mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya “.
Ayat tersebut menurut mereka melarang seseorang untuk beramal dengan sesuatu yang tidak diketahui secara pasti. Oleh sebab itu berdasarkan ayat tersebut qiyas dilarang untuk diamalkan.
Alasan – alasan mereka dari sunnah Rasul antara lain adalah sebuah hadits yang diriwayatkan Daruquthni yang artinya adalah sebagai berikut :
“Sesungguhnya Allah Ta’ala menentukan berbagai ketentuan, maka jangan kamu abaikan, menentukan beberapa batasan, jangan kamu langgar, dia haramkan sesuatu, maka jangan kamu langgat larangan itu, dia juga mendiamkan hukum sesuatu sebagai rahmat bagi kamu, tanpa unsur kelupaan, maka janganlah kamu bahas hal itu”.
Hadits tersebut menurut mereka menunjukkan bahwa sesuatu itu ada kalanya wajib, adakalanya haram dan adakalanya di diamkan saja, yang hukumnya berkisar antara di ma’afkan dan mubah (boleh). Apabila di qiyaskan sesuatu yang didiamkan syara’ kepada wajib, misalnya maka ini berarti telah menetapkan hukum wajib kepada sesuatu yang dima’afkan atau dibolehkan.
Sedangkan jumhur ulama ushul fiqih yang membolehkan qiyas sebagai salah satu metode dalam hukum syara’ mengemukakan beberapa alasan diantaranya adalah :
Surat al-Hasyr, 59 : 2
“maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang – orang yang mempunyai pandangan”.
Ayat tersebut menurut jumhur ushul fiqih berbicara tentang hukuman Allah terhadap kaum kafir dari Bani Nadhir di sebabkan sikap buruk mereka terhadap Rasulullah. Di akhir ayat, Allah memerintahkan agar umat Islam menjadikan kisah ini sebagai I’tibar (pelajaran). Mengambil pelajaran dari suatu peristiwa menurut jumhur ulama, termasuk qiyas. Oleh sebab itu penetapan hukum melalui qiyas yang disebut Allah dengan al-I’tibar adalah boleh, bahkan al-Qur'an memerintahkannya
Ayat lain yang dijadikan alasan qiyas adalah seluruh ayat yang mengandung illat sebagai penyebab munculnya hukum tersebut, misalnya :
• Surat al-Baqarah 2 : 222 :
“Mereka bertanya kepadamu (Muhammad tentang haid. Katakanlah, “haid itu adalah kotoran”, oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid”.
• Surat al-Maidah 5 : 91 :
“Sesungguhnya setan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian diantara kamu, lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang, maka berhentilah kamu (dari mengerjakan perbuatan itu).
• Surat al-Maidah 5:6
.”Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu … “
Alasan jumhur ulama dari hadits rasululah adalah riwayat dari Muadz Ibn Jabal yang amat populer. Ketika itu Rasulullah mengutusnya ke Yaman untuk menjadi qadli. Rasulullah melakukan dialog dengan Mu’adz seraya berkata :
Dalam hadits tersebut menurut jumhur ulama ushul fiqih, Rasulullah mengakui ijtihad berdasarkan pendapat akal, dan qiyas termasuk ijtihad melalui akal. Begitu juga dalam hadits lain Rasulullah menggunakan metode qiyas dalam menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya. Suatu hari Umar bin Khatthab mendatangi Rasulullah seraya berkata :
“Pada hari ini saya telah melakukan suatu kesalahan besar, saya mencium istri saya, sedangkan saya dalam keadaan berpuasa”. Lalu Rasulullah mengatakan pada Umar :
“bagaimana pendapatmu jika kamu berkumur – kumur dalam keadaan berpuasa, apakah puasamu batal ?, Umar menjawab, “tidak”, lalu Rasulullah saw berkata : kalau begitu kenapa engkau samapi menyesal ?”. (H>R Ahmad Ibn Hanbal dan Abu Daud dari Umar Ibn al-Khatthab)
Dalam hadits tersebut Rasulullah mengqiyaskan mencium istri dengan berkumur – kumur, yang keduanya sama – sama tidak membatalkan puasa.
D. IJMA’
A. Pengertian Ijma’
Ijma’ menurut bahasa artinya sepakat, setuju atau sependapat. Sedangkan menurut istilah “Kebulatan pendapat semua ahli ijtihad Umat Nabi Muhammd, sesudah wafatnya pada suatu masa, tentang suatu perkara (hukum).
Pada masa Rasulullah masih hidup, tidak pernah dikatakan ijma’ dalam menetapkan suatu hukum, kerena segala persoalan dikembalikan kepada beliu, apabila ada hal-hal yang belum jelas atau belum diketahui hukumnya.
Ijma’ itu dapat terwujud apabila ada empat unsur.
1. Ada sejumlah mujtahid ketika suatu kejadian, karena kesepakatan (ijma’) tidak mungkin ada kalau tidak ada sejumlah mujtahid, yang masing-masing mengemukakan pendapat yang ada penyelesaian pandangan.
2. Bila ada kesepakatan para mujtahid umat islam terhadap hukum syara’ tentang suatu masalah atau kejadian pada waktu terjadinya tanpa memandang negeri, kebangsaan atau kelompok mereka.
Jadi, kalau mujtahid Makkah, Madihan, Irak, Hijaz saja umpamanya yang sepakat terhadap suatu hukum syara’ tidak dapat dikatakan ijma’ menurut syara’ kalau bersifat regional. Tetapi harus bertahap internasional. Masalah mungkin terjadi ijma’ atau tidak, lain lagi persoalannya, karena ada diantara ulama’ yang mengatakan mungkin dan ada pula yagn mengatakan tidak mungkin.
3. Kesepakatan semua mujtahid itu dapat diwujudakan dalam suatu hukum tidak dapat dianggap ijma’ kalau hanya berdasarkan pendapat mayoritas, jika mayoritas setuju, sedangkan minoritas tidak setuju. Berarti tetap ada perbedaan pendapat.
4. Kesepakatan para mujtahid itu terjadi setelah ada tukar menukar pendapat lebih dahulu, sehinga diyakini betul putusan yang akan ditetapkan.
B. Syarat-Syarat Ijma’
Dari definisi ijma’ di atas dapat diketahui bahwa ijma’ itu bisa terjadi bila memenuhi kriteria-kriteria di bawah ini.
1. Yang bersepakat adalah para mujtahid.
Para ulama’ berselisih faham tentang istilah mujtahid.
Secara umu mujtahid diartikan sebagai para ulama yang mempunyai kemampuan dalam mengistimbatkan hukum dari dalil-dalil syara’. Dalam kita “jam’ul jawami” disebutkan bahwa yang dimaksud mujtahid adalah orang yang fakih.
Beberapa pendapat tersebut sebenarnya mempunyai kesamaan, bahwa yang dimaksud mujtahid adalah orang Islam yang baligh, berakal, mempunyai sifat terpuji dsan mempu mengistimbat hukum dari sumbernya.
Dengan demikian, kesepakatan orang awam (bodoh) atau mereka yang belum mencapai derajat mujtahid tidak bisa dikatakan ijma’ begitu pula penolakan mereka, karena mereka tidak ahli dalam menela’ah hukum-hukum syara’.
2. Yang bersepakat adalah seluruh mujtahid.
Bila sebagian mujtahid bersepakat dan yang lainnya tidak meskipun sedikit, maka menurut jumhum, hal itu tidak bisa dikatakan jima’. Karena ijma’ itu harus mencakup keseluruhan mujtahid. Sebagaimana ulama’ berpandangan bahwa ijma’ itu sah bila dilakukan oelh sebagian besar mujtahid, karena yang dimaksud kesepakatan ijma’ termasuk pula kesepakatan sebagian besar dari mereka. Begitu pula menurut kaidah fiqih, sebagian besar itu telah mencakup hukum keseluruhan.


3. Para mujtahid harus umat Muhammad SAW.
Kesepakatan yang dilakukan oleh para ulama selain umat Muhammad SAW. tidak bisa dikatakan ijma’, hal itu menunjukkan adanya umat para nabi lain yang berijma’, adapun ijma’ umat Nabi Muhammad SAW. tersebut telah dijamin bahwa mereka tidak mungkin berijma’ untuk melakukan kesalahan.
4. Dilakukan setelah wafatnya Nabi.
Ijma’ itu tidak terjadi ketika Nabi masih hidup, karena Nabi senantiasa menyepakati perbuatan-perbuatan para sahabat yang dipandang baik adna itu dianggap sebagai syariah.
5. Kesepakatan mereka harus berhubungan dengan Syariat.’
Maksudnya, kesepakatan mereka haruslah kesepakatan yagn ada kaitannya dengan syariat, seperti tentang wajib, sunah, makruh, haram dan lain-lain.
C. Macam-Macam Ijma’
Ijma’ ditinjau dari cara penetapannya ada dua:
1. Ijma’ Sharih; Yaitu para mujtahid pada satu masa itu sepakat atas hukum terhadap suatu kejadian dengan menyampaikan pendapat masing-masing mujtahid mengungkapkan pendapatnya dalam bentuk ucapan atau perbuatan yan mencerminkan pendapatnya.
2. Ijma’ Sukuti: Sebagian mujtahid pada satu masa mengemukakan pendapatnya secara jelas terhadap suatu peristiwa dengan fatwa atau putusan hukum. Dan sebagian yang lain diam, artinya tidak mengemukakan komentar setuju atau tidaknya terhadap pendapat yang telah dikemukakan.


E. Kehujjaan Ijma’ menurut Pandangan Ulama’.
Jumhur ulama berpendapat, bahwa ijma’ dapat dijadikan argumentasi (hujjah) berdasarkan dua dalil berikut:
Hadits-hadits yang menyatakan bahwa umat Muhammad tidak akan bersepakat terhadap kesesatan. Apa yang menurut pandangan kaum muslimin baik, maka munurut Allah juga baik. Oleh karena itu, amal perbuatan para sahabat yang telah disepakati dapat dijadikan argumentasi.
Ada beberapa permasalahan yang berkaitan dengan kehujjahan ijma’, misalnya, apakah ijma’ itu hujjah syar’i? Apakah ijma’ itu merupakan landasan usul fiqih atau bukan? Bolehkah kita menafikan atau mengingkari ijma’?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, para ulama’ berbeda pendapat. Al-Qardawi berpendapat bahwa orang-orang hawn tidak menjadikan ijma’ itu sebagai hujjah, bahkan dalam sejarahnya dia mengatakan bahwa ijma’ itu bukan hujjah secara mutlak.
Menurut Al-Maidi, para ulama’ telah sepakat mengenai ijma’ sebagai hujjah ygn wajib diamalkan. Pendapat tersebut bertentangan dengan Syi’ah, Khawarij dan Nizam dari golongan Mu’tazilah.
Al-Hajib berkata bahwa ijma’ itu hujjah tanpa menanggapi pendapat Nizam, Khawarij dan Syiah. Adapun Ar-Rahawi berpendapat bahwa ijma’ itu pada dasarnya adalah hujjah. Sedangkan dalam kitab “Qawa’idul Usul dan Ma’qidul Usul” dikatakan bahwa ijma’ hujjah pada setiap masa. Namun pendapat itu ditentang oleh “Daut” yang mengatakan bahwa ijma’ itu hanya terjadi pada masa sahabat.
Kehujjahan ijma’ juga berkaitan erat dengan jenis ijma’ itu merupakan sendiri, yaitu sharih dan sukuti, agar lebih jelas maka pendapat mereka tentang ijam’ akan ditinjau berdasarkan pembagian ijma’ itu sendiri.

1. Kehujjahan ijma’ sharih
Jumhur telah sepakat bahwa ijma’ sharih itu merupakan hujjah secar qath’i, wajib mengamalkannya dan haram menentangnya. Bila sudah terjadi ijma’ pada suatu permasalahan maka ita menjadi hukum qath’I yang tidak boleh ditentang, dan menjadi menjadi masalah yang tidak boleh diijtihadi lagi.
Dalil-dalil yang dikeluarkan oleh jumhur
Firman Allah SWT. dalam surat Annisa’ ayat 115.
Artinya :
Barang siapa menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu’min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahanam, dan Jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali. (QS. An-Nisa’: 115)
Kehujjahan dalil dari ayat di atas adalah ancaman Allah SWT terhadap mereka yang tidak mengikuti jalannya orang-orang mu’min. Disebutkan bahwa mereka akan dimasukkan ke neraka Jahanam dan akan mendapat tempat kembali yang buruk. Hal itu menunjukkan bahwa jalan yang ditempuh oleh orang-orang yang tidak beriman itu adalah batil dan haram diikuti. Sebaliknya, jalan yang ditempuh oleh orang-orang mu’min adalah hak dan wajib diikuti.
2. Kehujjahan ijma’ sukuti
Ijma’ Sukuti telah dipertentangkan kehujjahannya di kalangan para ulama. Sebagian dari mereka tidak memandang ijma’ sukuti sebagai hujjah bahkan tidak mengatakan sebagai ijma’. Di antara mereka ialah pengikut Maliki dan Imam Syafi’I yang menyebutkan hal tersebut dalam berbagai pendapatnya.
Mereka berargumen bahwa diamnya sebagian mujtahid itu mungkin saja menyepakati sebagian atau bisa saja tidak sama sekali. Misalnya karena tidak melakukan ijtihad pada satu masalah atau takut mengemukakan pendapatnya sehingga kesepakatan mereka terhadap mujtahid lainnya tidak bisa ditetapkan apakah hal itu qath’I atau zanni. Jika demikian adanya, tidak bisa dihalalkan adanya kesepakatan dari seluruh mujtahid. Berarti tidak bisa dikatakan ijma’ ataupun dijadikan sebagai hujjah.
Sebagian besar golong Hanafi dan Imam Ahmad bin Hambal menyatakan bahwa ijma’ sukuti merupakan hujjah qat’I seperti halnya ijma’ sharih. Alasan mereka adalah diamnya sebagian mujtahid utuk menyatakan sepakat ataupun tidaknya terhadap pendapat yang dikemukakan oleh sebagian mujtahid lainnya, bila memenuhi persyaratan adanya ijma’ sukuti, bisa dikatakan sebagai dalil tentang kesepakatan mereka terhadap hukum. Dengan demikian, bisa juga dikatakan sebagai hujjah yang qat’I karena alasannya juga menunjukkan adanya ijma’ yang tidak bisa dibedakan dengan ijma’ sharih.













DAFTAR PUSTAKA :

Abu Zahrah,Muhammad, Ushul Fiqh, Pustaka Firdaus. Jakarta: 2007.
Al-Birri, Zakaria, Masadir al-Ahkam al-Islamiyah, Kairo : Dar al-Ittihad al-Arabi Littiba’ah, 1975.
Al-Ghazali, al-Mustasfa Min ‘Ilmi al-Ushul, Mesir : Maktabah al-Jumdiyah, 1971
As-Shalih, Subhi, Membahas Ilmu-ilmu al-Qur’an, (terj.) Pustaka Firdaus dari judul asli Mabahits fi Ulum al-Qur’an, Jakarta : Pustaka Firdaus, 1991, Cet. II.
Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI, Buku Teks Pendidikan Agama Islam Pada Perguruan Tinggi Umum, Jakarta : PT. Bulan Bintang, Cet. I, 2001
Khallaf, Abdul Wahab,‘Ilmu Ushul Fiqh, Kairo: Maktabah al-Da’wah al-Islamiyah, 1990, halaman 24.
Mahmud,Adnan,dkk . Ulumul Qur’an, Restu Ilahi, Jakarta: 2005.
Mushaf al-Qur’an dan Terjemah, AL HUDA Kelompok Gema Insani, Jakarta:2002.
Nasution, Harun, Islamologi (Ilmu Kalam), Jakarta : UI Press, Cet. II, 1980
Nata, Abuddin, Metodologi Studi Islam, Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, Cet. IV, 2000
Romli SA, Muqaranah Mazahib fil Ushul, Jakarta : Gaya Media Pratama, Cet. I. 1999.
Shihab, M. Quraish, Wawasan Al-Qur’an, Bandung : Mizan, Cet. III, 1996.
_______________, Membumikan Al-Qur’an, Bandung : Mizan, Cet. VI, 1994.
Sudirman Abbas,Ahmad. Dasar-dasar Masail Fiqhiyyah, CV.BANYU KENCONO. Jakarta: 2003.
Talib, Safi Hasan Abu, Tatbiq al-Syari’ah al-Islamiyah fi al-Bilad al-Arabiyah, Kairo : Dar al-Nahdah al-Arabiyah, Cet. III, 1990

Wizarah al-suun al-Islamiyah wa al-awqaf wa al-da’wah wa al-irsyad fi al-Mamlakah al-Arabiyah al-Su’udiyah, Al-Qur’an dan Terjemahannya, al-Madinah al-Munawwarah : Majma al-Malik Fahd Litiba’ah al-Mushaf al-Syarif.
http://www.diaz2000.multiply.com/journal/item/3/3
http://www.kangsaviking.wordpress.com/definisi-hadist/#_ftn1
http://www.renilightofeyes.cybermq.com/post/detail/878/pengertian-as-sunnah-menurut-syarirsquo;at
http://www.harakatuna.wordpress.com/2008/09/17/definisi-al-quran/



Ali Geno Brt Putra Kuta Tengah

TIRKAH, HUTANG, DAN WASIAT

TIRKAH
A. Definisi
Tirkah menurut bahasa adalah masdar berma’na maf’ul yang berarti matrukah (sesuatu yang ditinggalkan).
Tirkah menurut istilah, ada beberapa pendapat:
1. Seluruh yang ditinggalkan mayyit, berupa harta dan hak-hak yang tetap secara mutlak.
2. Pengarang kitab al-‘adzab al-fa’idh, sesuatu yang ditinggalkan oleh mayyit, berupa harta, diyat yang diambil dari pembunuhnya, karena masuk dalam kategori harta miliknya menurut perkiraan atau berupa hak.
3. Segala apa yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal yang dibenarkan oleh syariat untuk diwarisi oleh ahli warisnya.
4. Menurut Rifa’I Arif
التركة هى ما خلفه الميت من مال او حق
“ Tirkah adalah apa-apa ang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia berupa harta maupun hak”.
5. Pendapat yang termasyhur dari fuqaha Hanafiyah, tirkah ialah: harta benda yang ditinggalkan simayit yang tidak mempunyai hubungan hak dengan orang lain, tirkah ini harus dikeluarkan untuk memenuhi hak biaya perawatan, hak perlunasan hutang, hak wasiat dan hak ahli waris.
Jadi, bisa kita simpulkan bahwa tirkah adalah segala sesuatu yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal yang masuk kategori harta miliknya serta dibenarkan oleh syariat untuk diwarisi oleh ahli warisnya, baik berupa harta maupun hak.
Menurut Jumhur, hak dan materi termasuk tirkah من ترك حاقا او مالا فهو لورثه Hanafiah hak bukan tirkah من ترك مالا فهو لورثه .
Apa-apa yang ditinggalkan dari pewaris harus diartikan secara luas, mencakup di dalamnya:
1. kebendaan dan sifat-sifat yang mempunyai nilai kebendaan
2. hak-hak kebendaan
3. hak-hak yang bukan kebendaan
4. benda-benda yang bersangkutan dengan orang lain

HUTANG
Dalam pandangan islam, hutang simayit tidak menjadi warisan atau tidak dibebankan kepada ahli waris, akan tetapi ahli waris hanya membantu membayarkan hutangnya simayit dengan hartanya simayyit.
Terdapat hadits Nabi SAW dari Abu Hurairah menurut riwayat bukhari muslim yang mengatakan bahwa Beliau akan membayarkan, maka dapat dipahami bahwa kekurangan harta pembayaran hutang itu dibebankan kepada baitul mal.
Pembayaran hutang itu didahulukan dari pada membagikan harta warisan kepada ahli waris, sebab terdapat hak orang lain didalam harta peninggalan simayit.
Ada dua macam hutang:
Hutang keepada Allah, seperti haji (niat pergi waktu masih hidup), nadzar, membayar kifarat
Hutang kepada manusia, seperti hutang uang.
Tetapi hutang mana yang harus didahulukan membayarnya? Ulama berbeda pendapat Ibn Hazm, bahwa hutang kepada Allah yang harus didahulukan, sesuai firman Allah
من بعد وصية يوصى بها اودين...
“sesudah diambil wasiat yang diwasiatkan atau sesudah dibayar hutang”. Ayat tersebut masih umum, didalamnya termasuk hutang pada Allah dan manusia. Ayat tersebut ditakhsis dengan hadist nabi
فدين الله احق ان يقضى
“maka hutang kepada Allah itu lebih baik untuk dibayar”.

Fuqaha Hanafiah, hutang pada Allah telah gugur akibat kematian seseorang, karena seseorang kehilangan kemampuan dan pembebanan sebab kematian.

Fuqaha Malikiyah, hutang pada manusia harus didahulukan, sebab manusia lebih butuh sedangkan Allah adalah dzat yang kaya dan tidak butuh harta.
Ulama Syafi’iyah, hutang pada Allah harus didahulukan, sesuai sabda Nabi: “hutang pada Allah lebih utama dilunasi.”
Ulama Hanbilah, hutang kedapa Allah dan manusia itu sama
Apakah masa membayar hutang jatuh tempo karena matinya yang berhutang. Dalam hal ini terdapat 3 pendapat:
1. Jumhur, hutang tidak jatuh tempo dengan matinya yang berhutang
2. Golongan Hanabilah dan Tabi’in, hutang tidak jatuh tempo dengan matinya salah satu pihak, tetapi ditentukan dengan perjanjian yang telah ditetapkan di surat perjanjian
3. Gholongan Dhohiriyah, hutang harus dibayarkan apabila salah satu pihak meninggal

WASIAT
Wasiat adalah memberikan sesuatu kepada seseorang (yang bukan ahli warits) yang dipilih oleh orang yang meninggal, tanpa mengharapkan imbalan apa-apa, baik berupa benda maupun ma’rifat
Sebenarnya ketentuan wasiat harus diberikan kepada siapa saja sudah dijelaskan dalam surat Al-Baqaroh ayat 180:
كتب عليكم اذا حضر احدكم الموت ان ترك خيرا الوصية للوالدين والاقربين بالمعروف حقا على المتقين
“diwajibkan atas kamu, apabila ada seseorang kamu keddatangan kematian, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk orang tua dan kerabat, ini adalah kewajiban atas orang-orang yang bertaqwa” (Al-Baqorah 180)
Akan tetapi, pelaksanaan surat Al-Baqoroh ayat 180 dibatasi dengan hadits Nabi dari Umamah, riwayat Al-Khomsah yang berbunyi:
لا وصية لوارث
“tidak ada wasiat untuk ahli warits”
Ulama sepakat mengamalkan hadits tersebut, akan tetapi jika permasalahannya jika semua ahli waris sepakat wasiat kepada ahli waris, maka wasiat itu bisa dilaksanakan. Sesuai dengan hadits Nabi “wasiat tidak boleh ditujukan kepada ahl waris, melainkan bila semua ahli waris menghendaki” (H.R. Daruqutni)
Adapun wasiat dilaksanakan dengan jumlah maksimal 1/3 dari harta warisan, sebagaimana Hadits Nabi “jika manusia mengganti sepertiga menjadi seperempat bagian, sesungguhnya Nabi SAW bersabda “sepertiga, karena sepertiga itu banyak”” (H.R. Mutafaq Alaih)
Para ulama berselisih pendapat tentang kapan pelaksanaan wasiat;
1. Pendapat masyhur dikalangan Hanabilah, wasiat hendaklah dilaksanakan setelah kematian
2. Pendapat yang paling kuat, wasiat dapat dilaksanakan pada saat yang memberi wasiat sakit keras.

Ali Geno Brt Putra Kuta Tengah


TIRKAH
A. Definisi
Tirkah menurut bahasa adalah masdar berma’na maf’ul yang berarti matrukah (sesuatu yang ditinggalkan).
Tirkah menurut istilah, ada beberapa pendapat:
1. Seluruh yang ditinggalkan mayyit, berupa harta dan hak-hak yang tetap secara mutlak.
2. Pengarang kitab al-‘adzab al-fa’idh, sesuatu yang ditinggalkan oleh mayyit, berupa harta, diyat yang diambil dari pembunuhnya, karena masuk dalam kategori harta miliknya menurut perkiraan atau berupa hak.
3. Segala apa yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal yang dibenarkan oleh syariat untuk diwarisi oleh ahli warisnya.
4. Menurut Rifa’I Arif
التركة هى ما خلفه الميت من مال او حق
“ Tirkah adalah apa-apa ang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia berupa harta maupun hak”.
5. Pendapat yang termasyhur dari fuqaha Hanafiyah, tirkah ialah: harta benda yang ditinggalkan simayit yang tidak mempunyai hubungan hak dengan orang lain, tirkah ini harus dikeluarkan untuk memenuhi hak biaya perawatan, hak perlunasan hutang, hak wasiat dan hak ahli waris.
Jadi, bisa kita simpulkan bahwa tirkah adalah segala sesuatu yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal yang masuk kategori harta miliknya serta dibenarkan oleh syariat untuk diwarisi oleh ahli warisnya, baik berupa harta maupun hak.
Menurut Jumhur, hak dan materi termasuk tirkah من ترك حاقا او مالا فهو لورثه Hanafiah hak bukan tirkah من ترك مالا فهو لورثه .
Apa-apa yang ditinggalkan dari pewaris harus diartikan secara luas, mencakup di dalamnya:
1. kebendaan dan sifat-sifat yang mempunyai nilai kebendaan
2. hak-hak kebendaan
3. hak-hak yang bukan kebendaan
4. benda-benda yang bersangkutan dengan orang lain

HUTANG
Dalam pandangan islam, hutang simayit tidak menjadi warisan atau tidak dibebankan kepada ahli waris, akan tetapi ahli waris hanya membantu membayarkan hutangnya simayit dengan hartanya simayyit.
Terdapat hadits Nabi SAW dari Abu Hurairah menurut riwayat bukhari muslim yang mengatakan bahwa Beliau akan membayarkan, maka dapat dipahami bahwa kekurangan harta pembayaran hutang itu dibebankan kepada baitul mal.
Pembayaran hutang itu didahulukan dari pada membagikan harta warisan kepada ahli waris, sebab terdapat hak orang lain didalam harta peninggalan simayit.
Ada dua macam hutang:
Hutang keepada Allah, seperti haji (niat pergi waktu masih hidup), nadzar, membayar kifarat
Hutang kepada manusia, seperti hutang uang.
Tetapi hutang mana yang harus didahulukan membayarnya? Ulama berbeda pendapat Ibn Hazm, bahwa hutang kepada Allah yang harus didahulukan, sesuai firman Allah
من بعد وصية يوصى بها اودين...
“sesudah diambil wasiat yang diwasiatkan atau sesudah dibayar hutang”. Ayat tersebut masih umum, didalamnya termasuk hutang pada Allah dan manusia. Ayat tersebut ditakhsis dengan hadist nabi
فدين الله احق ان يقضى
“maka hutang kepada Allah itu lebih baik untuk dibayar”.

Fuqaha Hanafiah, hutang pada Allah telah gugur akibat kematian seseorang, karena seseorang kehilangan kemampuan dan pembebanan sebab kematian.

Fuqaha Malikiyah, hutang pada manusia harus didahulukan, sebab manusia lebih butuh sedangkan Allah adalah dzat yang kaya dan tidak butuh harta.
Ulama Syafi’iyah, hutang pada Allah harus didahulukan, sesuai sabda Nabi: “hutang pada Allah lebih utama dilunasi.”
Ulama Hanbilah, hutang kedapa Allah dan manusia itu sama
Apakah masa membayar hutang jatuh tempo karena matinya yang berhutang. Dalam hal ini terdapat 3 pendapat:
1. Jumhur, hutang tidak jatuh tempo dengan matinya yang berhutang
2. Golongan Hanabilah dan Tabi’in, hutang tidak jatuh tempo dengan matinya salah satu pihak, tetapi ditentukan dengan perjanjian yang telah ditetapkan di surat perjanjian
3. Gholongan Dhohiriyah, hutang harus dibayarkan apabila salah satu pihak meninggal

WASIAT
Wasiat adalah memberikan sesuatu kepada seseorang (yang bukan ahli warits) yang dipilih oleh orang yang meninggal, tanpa mengharapkan imbalan apa-apa, baik berupa benda maupun ma’rifat
Sebenarnya ketentuan wasiat harus diberikan kepada siapa saja sudah dijelaskan dalam surat Al-Baqaroh ayat 180:
كتب عليكم اذا حضر احدكم الموت ان ترك خيرا الوصية للوالدين والاقربين بالمعروف حقا على المتقين
“diwajibkan atas kamu, apabila ada seseorang kamu keddatangan kematian, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk orang tua dan kerabat, ini adalah kewajiban atas orang-orang yang bertaqwa” (Al-Baqorah 180)
Akan tetapi, pelaksanaan surat Al-Baqoroh ayat 180 dibatasi dengan hadits Nabi dari Umamah, riwayat Al-Khomsah yang berbunyi:
لا وصية لوارث
“tidak ada wasiat untuk ahli warits”
Ulama sepakat mengamalkan hadits tersebut, akan tetapi jika permasalahannya jika semua ahli waris sepakat wasiat kepada ahli waris, maka wasiat itu bisa dilaksanakan. Sesuai dengan hadits Nabi “wasiat tidak boleh ditujukan kepada ahl waris, melainkan bila semua ahli waris menghendaki” (H.R. Daruqutni)
Adapun wasiat dilaksanakan dengan jumlah maksimal 1/3 dari harta warisan, sebagaimana Hadits Nabi “jika manusia mengganti sepertiga menjadi seperempat bagian, sesungguhnya Nabi SAW bersabda “sepertiga, karena sepertiga itu banyak”” (H.R. Mutafaq Alaih)
Para ulama berselisih pendapat tentang kapan pelaksanaan wasiat;
1. Pendapat masyhur dikalangan Hanabilah, wasiat hendaklah dilaksanakan setelah kematian
2. Pendapat yang paling kuat, wasiat dapat dilaksanakan pada saat yang memberi wasiat sakit keras.

Ali Geno Brt Putra Kuta Tengah