Cari Blog Ini

Selasa, 02 Februari 2010

PENERAPAN SYARI'AT ISLAM


A. Pendahuluan
Penerapan syari’at Islam di Nanggroe Aceh Darussalam, dengan melaksanakan hukum “jilid” atau cambuk bagi pelaku tindak pidana perjudian telah menimbulkan perdebatan hangat di kalangan masyarakat. Seakan-akan jenis hukuman ini adalah baru dalam khasanah ketentuan hukum pidana di Indonesia. Padahal pelaksanaan hukum pidana Islam di Indonesia telah dipraktekkan di berbagai kesultanan di Indonesia sebelum dikuasai oleh penjajah Belanda. Dalam disertasi doktornya, Rifyal Ka’bah menulis bahwa “sebelum kedatangan penjajah Belanda, hukum Islam telah merupakan hukum positif di kerajaan-kerajaan Islam yang berdiri di persada Indonesia” (Rifyal Ka’bah, 1999 : 264). Demikian juga berbagai data yang ditulis dalam disertasi doktor dari Abdul Gani Abdullah yang menulis tentang peradilan agama dalam pemerintahan Islam di kesultanan Bima 1947-1957 (lihat Gani Abdullah, 2004 ).
Kenyataan ini menunjukkan bahwa pelaksanaan hukum Islam bukanlah hal baru dalam khasanah hukum Indonesia. Persoalannya adalah dengan perkembangan hukum yang sedemikian rupa setelah Indonesia merdeka masalah penerapan syari’at Islam ini menjadi aneh dan menimbulkan perdebatan publik yang luas. Sehingga menimbulkan banyak pertanyaan baru tentang sisi efektifitas dalam pelaksanaannya dan sisi penerapannya dalam bingkai negara bangsa. Bahkan terdapat kekhawatiran akan terjadi diskriminasi dalam pemberlakuan hukum agama dalam negara Indonesia. Benarkah anggapan demikian dalam praktik kenegaraan kita.
B. Pelaksanaan Syari’at Islam di Indonesia
Sebenarnya istilah syari’at Islam dapat mengandung dua makna, yaitu dalam makna luas dan makna yang sempit. Dalam makna yang luas syari’at Islam mencakup seluruh ajaran Islam yang terkandung dalam Al Qur’an dan As Sunnah termasuk aspek aqidah, ahlak, ibadah serta hukum-hukum mua’malah. Sedangkan dalam arti sempit Syari’ah Islam adalah hukum-hukum ibadah maupun mu’amalah (termasuk hukum pidana) yang biasa disebut fiqh. Istilah syari’at Islam dalam makalah ini adalah dalam pengertian yang sempit itu dan lebih khusus lagi adalah mengenai hukum pidana Islam.
Sebelum kedatangan penjajah Belanda hukum Islam ini sudah berlaku di kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara ini. Akan tetapi setelah kedatangan penjajah Belanda penerapan syari’at Islam di persempit dalam bidang keperdataan saja khsususnya bidang hukum keluarga (pernikaran). Adapun bidang hukum pidana dan bidang hukum yang lainnya hanya dapat diterima apabila telah diresepsi ke dalam hukum adat sehingga menjadi kewenangan pengadilan Bumi Putera pada saat itu yaitu Landraad. Karena itulah Belanda mendirikan berbagai peradilan agama di Indonesia dengan nama yang berbeda-beda di berbagai daerah, antara lain : Kerapatan Qadi, Mahkamah Syariyah dan lain-lain.
Pemerintah jajahan Belanda pada saat itu menerapkan adatrechtpolitik (Lihat Daniel S. Lev, 1990) di Hindia Belanda yaitu membiarkan hukum adat tetap berlaku bagi golongan Indonesia asli sedangkan bagi golongan Eropa berlaku hukum Belanda berdasarkan asas konkordansi dari hukum yang berlaku di Negeri Belanda. Demikian juga bagi golongan Cina dan Timur Asing berlaku hukumnya masing-masing kecuali mereka menyatakan tunduk pada hukum golongan Eropa. Dengan berlakunya pluralisme hukum di Indonesia pada saat itu, pemerintah Belanda menerapakan suatu hukum untuk menjembataninya yaitu apa yang disebut dengan hukum antar golongan yang diterapkan manakala terjadi sengketa atau masalah antar orang yang tunduk pada hukum yang berbeda.
Setelah Indonesia merdeka, sumber pembentukan hukum nasional Indonesia adalah bersumber dari atau memperoleh pengaruh dari hukum Eropa warisan Belanda, hukum Islam serta hukum Adat ( baca Daniel S.Lev, 1990). Akan tetapi tetap membiarkan dan meneguhkan berlakunya hukum Islam bagi pemeluk Agama Islam pada bidang-bidang hukum keluarga (hukum perkawinan, hukum waris, waqaf, hibah dan wasiat) yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama. Usaha-usaha untuk menerapkan syariat Islam baik secara formal dengan melakukan transplantasi syari’ah ke dalam hukum nasional Indonesia maupun dengan proses resepsi nilai-nilai syari’ah Islam tetap dilakukan dan diperjuangkan oleh kalangan Islam.
Terdapat perkembangan yang semakin menarik setelah 50 tahun Indonesia merdeka. Saling pengaruh ketiga kelompok hukum ini mewarnai perdebatan politik hukum nasional Indonesia bahkan nampak terjadi gesekan-gesekan sosial dalam pembangunan hukum Indonesia, seperti dalam pembahasan mengenai undang-undang perkawinan, undang-undang pengadilan agama dan pada saat ini rancangan undang-undang hukum pidana. Walaupun harus diakui bahwa hingga saat sekarang ini pengaruh hukum Eropa bahkan hukum Anglo-Amerika mendapat kedudukan yang semakin kuat terutama dalam bidang hukum bisnis dan perdagangan, dan disusul oleh syari’at Islam terutama dalam bidang bisnis keuangan dan perbankan. Sementara hukum Adat jauh tertinggal dan hanya bertahan untuk sebahagiannya dalam hukum pertanahan.
Pada bidang ibadah pemberlakuan syariat Islam tidak mendapat halangan sedikitpun. Hal ini disebabkan oleh faham sekularisme yang memandang bahwa hal-hal yang terkait dengan ibadah adalah urusan prinadi setiap orang dan urusan internal agama masing-masing yang tidak bisa dicampuri oleh negara. Pada sisi lain, pemberlakuan hukum pidana atau hukum perdata Islam dalam negara mendapatkan tantangan perdebatan yang luas dari masyarakat karena akibat pandangan sekularisme juga, yang memandang bahwa hukum agama tidak bisa masuk dalam ranah negara atau publik.
C. Hukum Pidana Islam di Indonesia dan Kasus Nanggroe Aceh Darussalam
Penerapan hukum pidana Islam di Indonesia selalu mendapat tantangan dari sebagian masyarakat Indonesia, apalagi penerapan itu dalam bentuk transplantasi syari’ah dalam hukum pidana Indonesia. Sebenarnya jenis-jenis tindak pidana dalam hukum pidana Islam yang secara tegas diatur dalam Al Qur’an dan As Sunnah hanya terdiri dari 9 jenis tindak pidana (lihat Bagan 1), yang secara garis besar terdiri dari tindak pidana “hudud” yaitu 7 jenis tindak pidana (lihat Bagan 2) dan tindak pidana “qishash” dan “diyat” yaitu 4 jenis tindak pidana (lihat Bagan 3). Adapun bagian terbesar tindak pidana dalam hukum pidana Islam adalah diserahkan pada kewenangan pemerintah setempat atau hakim untuk menetapkannya yang dalam terminologi hukum Islam disebut “ta’zir” (lihat Bagan 4), yaitu seluruh tindak pidana yang dapat ditetapkan oleh pemerintah setempat atau oleh hakim selain yang ditentukan dalam jenis tindak pidana “hudud” dan tindak pidana “qishash” .
Bagi sebagian ummat Islam berkeyakinan bahwa pelaksanaan syari’at Islam termasuk dalam bidang hukum pidana ini adalah bagian dari ketaatannya pada perintah ajaran agama, dan jika tidak melaksanakannya dianggap telah menentang pelaksanaan ajaran agama. Dalam kerangka pemikiran inilah perjuangan untuk pelaksanaan syari’at Islam bagi pemeluk agama Islam di Indonesia dapat dipahami, walaupun harus diakui ada sebagian ummat Islam yang berpandangan lain. Bagi kalangan ummat Islam yang mendukung pelaksanaan syari’at Islam, perdebatan lebih jauh lagi sebenarnya adalah bukan pada melaksanakan syari’ah atau tidak melaksanakan syari’ah, akan tetapi bagaimana syari’ah (hukum pidana Islam) itu dijalankan pada masa kini. Sehingga timbulah kehendak untuk melakukan rekonstruksi dan kaji kembali metode dan pelaksanaan syari’ah ini. Dalam hal ini perdebatan telah memasuki bidang yang lebih prinsip dan sangat sensitif bahkan sudah masuk pada sisi aqidah.
Karena bagi sebagian kalangan ummat berprinsip bahwa persoalan hudud dan qishash tidak bisa direkonstruksi dalam arti merubah jenis pidana yang dijatuhkan kecuali dalam batas-batas yang ditentukan oleh Al Qur’an atau As Sunnah. Pada sisi lain sebagian kalangan ummat Islam berkeyakinan bahwa yang prinsip adalah prinsip-prinsip substansi (material delik) pidana Islam dilaksanakan, adapaun masalah bentuk hukuman pidananya di sesuaikan dengan idiologi humanisme yang sedang trend pada saat ini.
Sebenarnya menurut pandangan saya masalah ini tidak harus menjadi perdebatan diantara kalangan ummat Islam, karena nash-nash Al Qur’an dan As Sunnah mengenai hudud maupun qishash adalah jelas (qath’i) sifatnya. Karena itu, tidak bisa dihilangkan, dirubah atau dihapuskan. Adapun masalah akan diterapkan atau tidak, dapat dilihat pada penerapannya dalam kasus in concrito. Artinya hudud maupun qishash hanya dapat diterapkan apabila memenuhi syarat-syarat perbuatan pidana yang sedemikian rupa kwaliatsnya baik dari sisi beratnya tindak pidana yang dilakukan, dari sisi causanya, maupun pengaruhnya pada bidang sosial dan publik. Bukankah Umar ra pernah tidak menghukum pencuri dengan potong tangan karena kondisi sosial dan keadaan sipencuri yang sedemikian sulitnya. Dengan deimkian kita tidak melakukan perubahan atas hukum yang telah ditentukan dengan pasti oleh Allah ini.
Sebenarnya penerapan bentuk pemidanaan dari hukum pidana Islam memiliki efek keuntungan ganda baik dari sisi efektivitasnya dalam pencegahan kejahatan maupun dari sisi efisiensi pembiayaan negara yang dikeluarkan. Bayangkan sekarang ini, menurut laporan Menteri Hukum dan Perundang-undangan jumlah narapidana dan tahanan di seluruh Indonesia mencapai jumlah 105.000 orang. Jika setiap narapidana atau tahanan mendapat jatah makanan setiap hari adalah Rp 5000,- maka biaya negara untuk membiayai makan mereka adalah sejumlah Rp 525.000.000 per hari. Sehingga dalam satu tahun negara harus mengeluarkan biaya makan bagi para tahanan dan narapidana sebesar Rp 189 milyar. Belum lagi biaya lainnya yaitu gaji petugas, pengadaan serta pemeliharaan gedung dalam lain-lain. Dengan penerapan pidana yang secara langsung dan dapat disaksikan oleh publik memiliki efek jera yang luar biasa dan secara psikologis memiliki efek malu dan pendidikan bagi pelaku tindak pidana dan masyarakat lainnya dan ditambah lagi tidak memerlukan biaya dan anggaran besar.
Penerapan syar’iat Islam di NAD dilaksanakan berdasarkan undang-undang otonomi khusus dengan melakukan transplantasi syar’iah ke dalam hukum positif dalam bentuk “Qanun”. Kebijakan ini dikeluarkan sehubungan dengan tuntutan dan permintaan masyarakat Aceh atas pelaksanaan hukum yang khusus dalam wilayah NAD yang memiliki kekhasan sosial dan sejarahnya. Dari cantoh kasus NAD ini, ternyata bahwa politik hukum nasional Indonesia menjadi sangat fleksibel dalam menerapkan pluralitas hukum yang berlaku dalam wilayah NKRI. Artinya politik unifikasi hukum terutama dalam bidang hukum pidana (hukum publik) yang terus diperjuangkan sejak lepas dari tangan penjajah Belanda mulai berubah.
Saya berpendapat bahwa paradigma politik unifikasi hukum yang dilakukan selama ini tidak sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia yang sangat plural dan majemuk yang memiliki ragam hukum yang berbeda-beda, apalagi sudah masuk dalam bidang hukum yang sensitif yang terkait dengan ajaran agama. Karena itu unifikasi hukum tidak dapat dipaksakan. Kebijakan penerapan syari’at Islam di NAD adalah langkah tepat untuk menghormati kehendak masyarakat yang menginginkannya. Walaupun tahap awal ini menimbulkan banyak perdebatan dilkalangan masayarakat, semoga ke depan akan mendapat bentuknya yang baku.
Wallahu a’lam bissawab!
Daftar Pustaka:
1. Rifyal Ka’bah, Hukum Islam di Indonesia, Universitas Yarsi, Jakarta, 1999
2. Abdul Gani Abdullah, Peradilan Agama Dalam Pemerintahan Islam di Kesultanan Bima (1947-1957), Yayasan Lengge, Mataram, 2004
3. Topo Santoso, Menggagas Hukum Pidana Islam, Asy Syamil, Bandung, 2000.
4. Daniel S. Lev, Hukum dan Politik di Indonesia, Kesinambungan dan Perubahan, LP3ES, Jakarta, 1990.


Ali Geno Brt Putra Kuta Tengah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar