Cari Blog Ini

Kamis, 31 Desember 2009

WAKAF “MENURUT SYARI’AT ISLAM DAN PP NO 28 TAHUN 1977 TENTANG PERWAKAFAN TANAH MILIK”

1. WAKAF MENURUT SYARI’AT ISLAM
A. Pengertian Wakaf
Wakaf secara bahasa, adalah al-habs’ (menahan). Kata al-Waqf adalah bentuk masdar (gerund) dari ungkapan waqfu al-syai”, yang berarti menahan sesuatu. Imam Antarah, dalam syairnya, berkata : “ Untaku tertahan disuatu tempat, seolah-olah dia tahu agar aku bisa berteduh di tempat itu”.
Dengan demikian, pengertian wakaf secara bahasa, adalah menyerahkan tanah kepada orang-orang miskin –atau untuk orang-orang miskin—untuk ditahan. Diartikan demikian, karena berang milik itu dipegang dan ditahan oleh orang lain, seperti menahan hewan ternak, tanah dan segala sesuatu.
Para ulama berbeda pendapat tentang arti wakaf secara istilah (hukum). Mereka mendefinisikan wakaf dengan definisi yang beragam sesuai denagn perbedaan madzhab yang mereka anut, baik dari segi kelaziman dan ketidaklazimannya, syarat pendekatan di dalam masalah wakaf ataupun posisi pemilik harta wakaf setelah diwakafkan. Selain itujuga perbedaan persepsi di dalam taat cara pelaksanaan wakaf, ---apakah bisa dianggap sah atau gugur-- ? Dan, apa-apa yang berkaitan dengan wakaf, seperti persyaratan serah terima secara sempurna, dan sebagainya.
Pengertian wakaf menurut istilah antara lain dapat dikemukakan beberapa pengertian sebagai berikut:
وفى الشرع : حبس الأصل وتسبيل الثمرة. أى حبس المال وصرف منافعهفى سبيل الله
Wakaf menurut istilah: menahan dzat (asal) benda dan mempergunakan hasilnya, yakni menahan benda dan mempergunakan manfaatnya di jalan Allah (Sayid Sabiq 1971:378)
Menurut ali bin Muhammad Al-Jurjani (1983 : 253)
وفى الشرع حبس العين على ملك الوافق والتضدق بالمنفعة
Menurut istilah syara wakaf adalah menahan zat suatu benda dalam pemilikan si wakif dan memanfaatkan manfaanya.

B. Dasar Hukum Wakaf
Dalil yang menjadi dasar disyari’atkannya ibadah wakaf dapat dilihat dari beberapa Al-Quran dan Hadist Nabi Muhammad SAW, antara lain:
Surat Al-Hajj ayat 77 yang artinya
“Perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapatkan kemenangan”
Surat ‘Ali Imron ayat 92 yang artinya
“ kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebaktian (yang sempurna) sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kemu cintai. Dan apa saja yang kemu nafkahkan, maja sesungguhnya Allah mengetahui”
Hadist Nabi dari Ibnu Umar r.a. beliau berkata, bahwa Sahabat Umar r.a. memperolah sebidang tanah di khaiar, kemudian menghadap kepada Rasulullah untuk mohon petujuk. Umar berkata, “ ya Rasulullah, saya mendapatkan sebidang tanah di khaibar, saya belum pernah mendapatkan harta sebaik itu, maka apakah yang engkau perintahkan kepada ku?” Rasulullah bersabda, “ Bila kau suka, kau tahan (pokoknya) tanah itu, dan engkau shodaqahkan (hasilnya).” Kemudian Umar melakukan shodaqah, tidak dijual, tidak diwarisi dan tidak dihibahkan. Berkata Ibnu Umar, “ Umar menyedekahkan kepada orang-orang fakir, kaum kerabat, budak belian, sbilillah, ibnu sabil, dan tamu. Dan tidak mengapa/tidak dilarang bagi yang menguasai tanah wakaf itu (pengurusnya) makan dari hasilnya dengan cara baik (sepantasnya) atau makan orang lain dengan tidak bermaksud menumpuk harta”

C. Unsur Dan Syarat Wakaf
Unsur-unsur wakaf (rukun-rukun wakaf) ada 4, yaitu:
1) Orang-orang berwakaf (wakif)
2) Sesuatu atau harta yang diwakafkan (mauquf)
3) Tempat berwakaf (mauquf alaih), yaitu tempat kemana diwakafkannya harta itu; dan
4) Aqad, yaitu sesuatu pernyataan timbang terima harta wakaf dan si wakif kepada mauquf alaih. Kalau kepada orang tertentu hendaklah ada qabul, tetapi kalau wakaf untuk umum tidak disyaratkan qabul.
Untuk sahnya suatu wakaf, harus dipenuhi beberapa syarat dari unsur-unsur wakaf di atas, yaitu:
1) Orang yang mewakafkan harus orang yang sepenuhnya berhak untuk menguasai benda yang akan diwakafkan. Si wakif tersebut harus mukallaf (akil baligh) dan atas kehendak sendiri, tidak dipaksa orang lain.
2) Benda yang diwakafkan harus kekal zatnya, maksudnya jika digunakan manfaatnya, zat barang tersebut tidak rusak. Hendaklah wakaf itu disebutkan dengan terang dan jelas kepada siapa diwakafkan.
3) Hendaklah penerima wakaf tersebut orang yang berhak memili sesuatu, maka tidak sah diwakafkan kepada hamba sahaya.
4) Ikrar wakaf dinyatakan dengan jelas baik dengan tulisan atau lisan
5) Tunai dan tidak ada khiyar, Karen wakaf berarti memindahkan milik waktu itu.
D. Nadzir (Pengurus Wakaf)
Nadzir adalah orang atau badan yang memegang amanat untuk memelihara dan mengurus harta wakaf sesuai dengan wujud dan tujuan wakaf tersebut. Pada dasar menjadi nadzir selama ia mempunyai hak melakukan tindakan hukum.
Dalam hal nadzir wakaf perorangan, para ahli menuntukan beberapa syarat yang harus dipenuhi, yaitu (1) berakal sehat, (2) telah dewasa. (3) dapat dipercaya, (4) mampu menyelenggarakan segala urusan yang berkenaan dengan harta wakaf

2. WAKAF MENURUT PP NO 28 TAHUN 1977 TENTANG PERWAKAFAN TANAH MILIK.

A. Jenis Wakaf
Wakaf yang diatur oleh Peraturan Pemerintah No. 28 tahun 1977 beserta berbagai peraturan pelaksanaannya adalah jenis wakaf khairi atau wakaf untuk umum. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam penjelasan umum angka 1 sebagai berikut:
… Dalam Peraturan Pemerintah ini yang diatur hanyalah wakaf sosial (untuk umum) atas tanah milik. Bentuk-bentuk perwakafan lainnya seperti perwakafan keluarga tidak termasuk yang dimaksud dalam Peraturan Pemerintah ini. Pembatasan ini perlu diadakan untuk menghindari kekaburan masalah perwakafan. Demikian pula mengenai bendanya dibatasi hanya kepada tanah milik.
Dalam Undang-Undang Pokok Agraria hanya hak milik yang mempunyai sifat yang penuh dan bulat, sedangkan hak-hak atas tanah lainnya seperti hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hanyalah mempunyai jangka waktu yang terbatas, sehingga oleh karenanya pemegang hak-hak tersebut tidak mempunyai hak dan kewenangan seperti halnya pemegang hak milik. Berhubungan masalah perwakafan tersebut untuk selama-lamanya, maka hak atas tanas yang jangka waktunya terbatas tidak bisa diwakafkan.
B. Pengertian Wakaf
Dalam Peraturan Pemerintah No 28 Tahun 1977 dan berbagai pengaturan pelaksanaannya telah ditegaskan bagaimana pengertian, fungsi, unsur dan syarat-syarat perwakafan tanah. Yang dimaksud wakaf disini adalah perbuatan hukum seseorang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari harta kekayaan yang berupa tanah milik dan melembagakannya untuk selama-lamanya untuk kepantingan peribadatan atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran agama islam (pasal 1 ayat 1 PP No. 28 Tahun 1977 dan Pasal 1 sub. B. Peraturan Menteri Agama no 1 Tahun 1978)
C. Fungsi Wakaf
Sesuai dengan pengertian wakaf sebagaimana disebutkan dalam pasal 1, maka fungsi wakaf adalah untuk mengekalkan benda wakaf sesuai dengan tujuan wakaf (Pasal2). Dengan wakaf ini maka manfaat dari pada tanah yang bersangkutan dapat dilakukan, apakah untuk keperluan pribadatanseperti untuk mesjid, musholla atau untuk keperluan umum lain sesuai dengan ketentuan dari pada ajaran agama islam.
D. Unsur Wakaf
Untuk terwujudnya wakaf diperlukan adaya empat unsur dengan syarat-syarat masing-masing sebagai berikut:
a) Wakif, adalah orang atau orang-orang ataupun badan hukum yang mewakafkan tanah miliknya (Pasal 1 ayat 2).
Orang atau orang-orang yang mewakafkan tanah miliknya harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut (pasal 3 ayat 1):
1) Telah dewasa
2) Sehat akalnya serta yang oleh hukum tidak terhalang untuk melakukan perbuatan hukum
3) Atas kehendak sendiri dan tanpa paksaan dari pihak lain.
Apabila badan hukum yang akan mewakafkan, maka ia harus badan hukum Indonesia, dan yang bertindak atas namanya adalah pengurusnya yang sah menurut hukum tersebut (Pasal 3 ayat 20)
Dalam perundang-undangan disebutkan adanya sejumlah badan hukum yang dapat mempunyai hak milik atas tanah. Dalam Peraturan Pemerintah No 38 Tahun 1963 disebutkan badan-badan hukum yang dapat mempunyai hak milik atas tanah. Badan-badan itu adalah:
a) Bank-bank yang didirikan oleh Negara
b) Perkumpulan perkumpulan koperasi pertanian yang didirikan bedasarkan Undang-Undang no 79 Tahun 1984
c) Badan-badan keagamaan yang ditunjuk oleh Menteri pertanian/agraria setelah mendengan Menteri Agama
d) Badan-badan sosial yang ditunjuk oleh Menteri Prtanian/Agraria setelah mendengar Menteri Kesejahteraan Sosial
b) Benda yang diwakafkan, dalam hal ini ialah tanah yang menjadi objek wakef itu. Tanah tersebut disyaratkan harus tanah milik yang bebas dari segala pembebanan, ikatan, sitaan dan perkara (Pasal 4 PP No 28 Tahun 1977 jo pasal 1 Permendagri No. 6 Tahun 1977)
Perbuatan mewakafkan adalah perbuatan yang suci, mulia da terpuji sesuai denga ajaran Islam. Berhubung dengan itu, maka tanah-tanah yang hendak diwakafkan itu betul-betul merupakan milik bersih dan tidak ada cacatnya ditinjua dari sudut pemilikan. Selain itu persyarat ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya atau terbawa-bawanya lembaga perwakafan ini untuk terjadinya berhadapan dengan pengadilan yang dapat memerosotkan wibawa dan syari’at agama Islam. Bedasarkan pandangan tersebut di atas maka tanah mengandung pembebanan seperti hipotik, crediet verband, tanah dalam proses perkara dan sengketa, tidak dapat diwakafkan sebelu masalahnya diselesaikan terlebih dahulu (Penjelasan pasal 4 PP No. 28 Tahun 1977)
c) Ikrar wakaf, adalah pernyataan kehendek dari wakif untuk mewakafkan tanah miliknya (Pasal1 ayat 3)
Pihak yang mewakafkan tanahnya harus mengikrarkan kehendaknya secara jelas dan tegas kepada Nadzir dihadapan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf yang kemudian menuangkannya dalam akta ikrar wakaf, dengan disaksikan oleh sekurang-kurangnya dua orang saksi (Pasal 5 ayat1). Untuk mewakafkan tanahnya, calon wakif harus mengikrarkan secara lisan kepada Nadzir yang telah disahkan, dan bagi mereka yang tidak mampu menyatakan kehendak secara lisan dapat menyatakan dengan isyarat. Calon wakif yang tidak dapat datang di hadapan PPAIW membuat ikrar wakaf secara tertulis dengan persetujuan KANDEPAG yang mewilayahi tanah wakaf dan dibacakan kepada nadzir di hadapan PPAIW serta diketahui saksi-saksi (Pasal 3 Permenag No.1 Tahun 1978 Jo angka1 Lampiran II Peraturan Dirjen Bimasy Islam No. Kep/D/75/78)
d) Nadzir atau pengurus, adalah kelompok orang atau badan hukum yang diserahi tugas pemeliharaan badan wakaf (Pasal 1 ayat 4)
Nadzir tersiri dari dua macam:
1) Nadzir Perorangan
Syarat-syaratnya adalah:
a) warganegara Republik Indonesia
b) beragama islam
c) sedah dewasa
d) sehat jasmaniah dan rohaniah
e) tidak berada di bawah pengampuan
f) bertempat tinggal di kecamatan tempat letaknya tanah yang diwakafkan
2) Nadzir Badan Hukum
Syarat-syaratnya adalah:
a) badan hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia
b) mempunyai perwakilan di kecamatan tempat letaknya tanah yang diwakafkan (Pasal 6)
c) badan hukum yang tujuan dan amal usahanya untuk kepentingan peribadatan atau keperluan umum lainnya, sesuai dengan ajaran agama Islam(huruf B, Peraturan Dirjen Bimasy Islam No. Kep/D/75/78)
Nadzir perorangan maupun badan hukum harus didaftarkan pada Kantor Urusan Agama Kecamatan setempat untuk didaftarkan pengesahannya (bentuk W. 5. dan 5a.)
E. Undang-Undang Perwakafan Tanah Wakaf Menurut PP. No 28 Th. 1977
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 28 TAHUN 1977
TENTANG
PERWAKAFAN TANAH MILIK
(LNRI. No. 38, 1977; TLNRI No. 3107)
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang:
a. bahwa wakaf adalah suatu lembaga keagamaan yang dapat dipergunakan sebagai salah satu
sarana guna pengembangan kehidupan keagamaan, khususnya bagi umat yang beragama
Islam, dalam rangka mencapai kesejahteraan spirituil dan materiil menuju masyarakat adil
dan makmur berdasarkan Pancasila;
b. bahwa peraturan perundang-undangan yang ada sekarang ini yang mengatur tentang
perwakafan tanah milik, selain belum memenuhi kebutuhan akan cara-cara perwakafan, juga
membuka kemungkinan timbulnya hal-hal yang tidak diinginkan disebabkan tidak adanya
data-data yang nyata dan lengkap mengenai tanah-tanah yang diwakafkan;
c. bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 14 ayat (1) huruf b dan Pasal 49 ayat (3) Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1960, maka dipandang perlu untuk mengatur tatacara dan
pendaftaran perwakafan tanah milik dengan Peraturan Pemerintah;
Mengingat:
1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IV/MPR/1973 tentang Garis-Garis Besar
Haluan Negara;
3. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria
(Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 104; Tambahan Lembaran Negara Nomor 2043);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah (Lembaran Negara
Tahun 1961 Nomor 28; Tambahan Lembaran Negara Nomor 2171);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PERWAKAFAN TANAH MILIK.
BAB 1
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Yang dimaksud dalam Peraturan Pemerintah ini dengan:
(1) Wakaf adalah Perbuatan hukum seseorang atau badan hukum yang memisahkan sebagian
dari harta kekayaannya yang berupa tanah milik dan melembagakannya untuk selamalamanya
untuk kepentingan peribadatan atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran
agama Islam.
(2) Wakif adalah orang atau orang-orang ataupun badan hukum yang mewakafkan tanah
miliknya.
(3) Ikrar adalah pernyataan kehendak dari wakif untuk mewakafkan tanah miliknya.
(4) Nadzir adalah kelompok orang atau badan hukum yang diserahi tugas pemeliharaan dan
pengurusan benda wakaf.
BAB II
FUNGSI WAKAF
Bagian Pertama
Pasal 2
Fungsi wakaf adalah mengekalkan manfaat benda wakaf sesuai dengan tujuan wakaf.
Bagian Kedua
Unsur-unsur dan syarat-syarat wakaf
Pasal 3
(1) Badan-badan hukum Indonesia dan orang atau orang-orang yang telah dewasa dan sehat
akalnya serta yang oleh hukum tidak terhalang untuk melakukan perbuatan hukum, atas
kehendak sendiri dan tanpa paksaan dari pihak lain, dapat mewakafkan tanah miliknya
dengan memperhatikan peraturan-peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Dalam hal badan-badan hukum, maka yang bertindak atas namanya adalah pengurusnya yang
sah menurut hukum.
Pasal 4
Tanah sebagaimana dimaksud dalam pasal 3, harus merupakan tanah hak milik atau tanah milik
yang bebas dari segala pembebanan, ikatan, sitaan, dan perkara.
Pasal 5
(1) Pihak yang mewakafkan tanahnya harus mengikrarkan kehendaknya secara jelas dan tegas
kepada Nadzir di hadapan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf sebagaimana dimaksud pasal 9
ayat (2) yang kemudian menuangkannya dalam bentuk Akta Ikrar Wakaf, dengan disaksikan
oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi.
(2) Dalam keadaan tertentu, penyimpangan dari ketentuan dimaksud dalam ayat (1) dapat
dilaksanakan setelah terlebih dahulu mendapat persetujuan Menteri Agama.
Pasal 6
(1) Nadzir sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) pasal 1 yang terdiri dari perorangan harus
memenuhi syarat-syarat berikut:
a. warganegara Republik Indonesia;
b. beragama Islam;
c. sudah dewasa;
d. sehat jasmaniah dan rohaniah;
e. tidak berada di bawah pengampuan.
f. bertempat tinggal di Kecamatan tempat letaknya tanah yang diwakafkan.
(2) Jika berbentuk badan hukum, maka Nadzir harus memenuhi persyaratan berikut:
a. badan hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.
b. mempunyai perwakilan di kecamatan tempat letaknya tanah yang diwakafkan.
(3) Nadzir dimaksud dalam ayat (1) dan (2) harus didaftar pada Kantor Urusan Agama
Kecamatan setempat untuk mendapatkan pengesahan.
(4) Jumlah Nadzir yang diperbolehkan untuk sesuatu daerah seperti dimaksud dalam ayat (3),
ditetapkan oleh Menteri Agama berdasarkan kebutuhan.
Bagian Ketiga
Kewajiban dan Hak-hak Nadzir
Pasal 7
(1) Nadzir berkewajiban untuk mengurus dan mengawasi kekayaan wakaf serta hasilnya
menurut ketentuan-ketentuan yang diatur lebih lanjut oleh Menteri Agama sesuai dengan
tujuan wakaf.
(2) Nadzir diwajibkan membuat laporan secara berkala atas semua hal yang menyangkut
kekayaan wakaf sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(3) Tatacara pembuatan laporan seperti dimaksud dalam ayat (2), diatur lebih lanjut oleh Menteri
Agama.
Pasal 8
Nadzir berhak mendapatkan penghasilan dan fasilitas yang besarnya dan macamnya ditentukan
lebih lanjut oleh Menteri Agama.
BAB III
TATACARA MEWAKAFKAN DAN PENDAFTARANNYA
Bagian Pertama
Tatacara perwakafan tanah milik
Pasal 9
(1) Pihak yang hendak mewakafkan tanahnya diharuskan datang di hadapan Pejabat Pembuat
Akta Ikrar Wakaf untuk melaksanakan Ikrar Wakaf.
(2) Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf seperti dimaksud dalam ayat (1) diangkat dan
diberhentikan oleh Menteri Agama.
(3) lsi dan bentuk Ikrar Wakaf ditetapkan oleh Menteri Agama.
(4) Pelaksanaan Ikrar, demikian pula pembuatan Akta Ikrar Wakaf, dianggap sah, jika dihadiri
dan disaksikan oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi.
(5) Dalam melaksanakan ikrar seperti dimaksud ayat (1) pihak yang mewakafkan tanah
diharuskan membawa serta dan menyerahkan kepada Pejabat tersebut dalam ayat (2) suratsurat
berikut:
a. sertifikat hak milik atau tanda bukti pemilikan tanah lainnya;
b. surat keterangan dari Kepala Desa yang diperkuat oleh Kepala Kecamatan setempat yang
menerangkan kebenaran pemilikan tanah dan tidak tersangkut sesuatu sengketa;
c. surat keterangan Pendaftaran tanah;
d. izin dari Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah cq. Kepala Sub Direktorat Agraria
Setempat
Bagian Kedua
Pendaftaran wakaf tanah milik
Pasal 10
(1) Setelah kata Ikrar Wakaf dilaksanakan sesuai dengan ketentuan ayat (4) dan (5) pasal 9,
maka Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf atas nama Nadzir yang bersangkutan, diharuskan
mengajukan permohonan kepada Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah cq. Kepala Sub
Direktorat Agraria setempat untuk mendaftar perwakafan tanah milik yang bersangkutan
menurut ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961.
(2) Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah cq. Kepala Sub Direktorat Agraria setempat, setelah
menerima permohonan tersebut dalam ayat (1) mencatat perwakafan tanah milik yang
bersangkutan pada buku tanah dan sertifikatnya.
(3) Jika tanah milik yang diwakafkan belum mempunyai sertifikat maka pencatatan yang
dimaksud dalam ayat (2) dilakukan setelah untuk tanah tersebut dibuatkan sertifikatnya.
(4) Oleh Menteri Dalam Negeri diatur tatacara pencatatan perwakafan yang dimaksud dalam
ayat (2) dan (3).
(5) Setelah dilakukan pencatatan perwakafan tanah milik dalam buku tanah dan sertifikatnya
seperti dimaksud ayat -(2) dan (3), maka Nadzir yang bersangkutan wajib melaporkannya
kepada pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Agama.
BAB IV
PERUBAHAN, PENYELESAIAN PERSELISIHAN DAN PENGAWASAN
PERWAKAFAN TANAH MILIK
Bagian Pertama
Perubahan perwakafan tanah milik
Pasal 11
(1) Pada dasarnya terhadap tanah milik yang telah diwakafkan tidak dapat dilakukan perubahan
peruntukan atau penggunaan lain daripada yang dimaksud dalam Ikrar Wakaf.
(2) Penyimpangan dari ketentuan tersebut dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan terhadap hal-hal
tertentu setelah terlebih dahulu mendapat persetujuan tertulis dari Menteri Agama, yakni:
a. karena tidak sesuai lagi dengan tujuan wakaf seperti diikrarkan oleh wakif.
b. karena kepentingan umum.
(3) Perubahan status tanah milik yang telah diwakafkan dan perubahan penggunaannya sebagai
akibat ketentuan tersebut dalam ayat (2) harus dilaporkan oleh Nadzir kepada
Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah cq. Kepala Sub Direktorat Agraria setempat untuk
mendapatkan penyelesaian lebih lanjut.
Bagian kedua
Penyelesaian Perselisihan Perwakafan
Tanah Milik
Pasal 12
Penyelesaian perselisihan sepanjang yang menyangkut persoalan perwakafan tanah, disalurkan
melalui Pengadilan Agama setempat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Bagian Ketiga
Pengawasan Perwakafan Tanah Milik
Pasal 13
Pengawasan perwakafan tanah milik dan tatacaranya di berbagai tingkat wilayah ditetapkan lebih
lanjut oleh Menteri Agama.
BAB V
KETENTUAN PIDANA
Pasal 14
Barangsiapa melakukan perbuatan yang melanggar ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud
pasal 5, pasal 6 ayat (3), pasal 7 ayat (1) dan ayat (2), pasal 9, pasal 10 dan pasal 11, dihukum
dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp.
10.000,- (sepuluh ribu rupiah).
Pasal 15
Apabila perbuatan yang dimaksud dalam pasal 14 dilakukan oleh atau atas nama badan hukum
maka tuntutan pidana dilakukan dan pidana serta tindakan tata tertib dijatuhkan, baik terhadap
badan hukum maupun terhadap mereka yang memberi perintah melakukan perbuatan tersebut
atau yang bertindak sebagai pemimpin atau penanggung jawab dalam perbuatan atau kelalaian
itu atau terhadap kedua-duanya.
BAB VI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 16
(1) Perwakafan tanah milik demikian pula pengurusannya yang terjadi sebelum dikeluarkannya
Peraturan Pemerintah ini, oleh Nadzir yang bersangkutan harus didaftarkan kepada Kantor
Urusan Agama Kecamatan setempat, untuk disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan dalam
Peraturan Pemerintah ini.
(2) Cara-cara dan pelaksanaan ketentuan tersebut dalam ayat (1) ditentukan lebih lanjut oleh
Menteri Agama.
Pasal 17
(1) Peraturan dan atau ketentuan-ketentuan tentang perwakafan tanah milik sebagaimana
tercantum dalam Bijblad-Bijblad Nomor 6196 Tahun 1905, Nomor 12573 Tahun 1931,
Nomor 13390 Tahun 1934, dan Nomor 13480 Tahun 1935 beserta ketentuan pelaksanaannya
sepanjang bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini
dinyatakan tidak berlaku lagi.
(2) Hal-hal yang belum cukup diatur dalam Peraturan Pemerintah ini diatur lebih lanjut oleh
Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri sesuai dengan bidangnya masing-masing.
BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 18
Peraturan Pemerintah ini mulai berlalu pada tanggal diundangkan.
Agar supaya setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah
ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 17 Mei 1977
MENTERI/SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA,
SUDHARMONO, SH.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 17 Mei 1977
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
SOEHARTO
3107

PENGERTIAN HUKUM DAN TATA HUKUM INDONESIA

A. PENGERTIA HUKUM
a.1. Pengertian Secara Bahasa
Arti hokum jika dilihat dari segi Etimologi dapat memberiakan arti yang bermacam-macam.
Kata hokum berasal dari bahasa Arab dan merupakan kata tunggal. Di dalam pengertian hokum terkandung pengertian bertalian erat dengan pengertian yang dapat melakukan paksaan. Recht berasal dari kata rectum (bahasa Latin) yang mempunyai arti bimbingan atau tuntutan, atau pemerintahan. Dari kata recht tersebut timbulah juga istilah “Gerechtigdheid”. Ini adalah bahasa Belanda atau “gerechtigkeit” dalam bahasa Jerman berarti keadilan. Sehingga hokum juga mempunyai hubungan erat dengan keadilan . Jadi dengan demikian recht dapat diartikan hokum. Ius (latin) berarti hokum, berasal dari bahasa latin “Iubere” artinya mengatur atau memerintah. Selanjutnya istilah Ius bertalian erat dengan “Iustita” atau keadilan. Pada jaman dulu bagi orang yunani Iustita adalah dewi keadilan yang dilambangkan sebagai seorang wanita dengan kedua mata tertutup dengan tangan kirirnye memegang neraca dan tangan kanang memegang pedang. Adapun lambing tersebut mempunyai arti sebagai berikut :
- kedua mata tertutup, ini bahwa di dalam mencari keadilan tidak boleh membeda-bedakan terhadap si pelaku.
- Neraca, melambangkan keadilan, harus sama berat, tidak boleh berat sebelah.
- Pedang, lambing dari keadilan yang mengajar kejahatan dengan suatu hokum dan di mana perlu dengan hukuman mati.
a.2. Pengertian Hukum Oleh Berbagai Pakar.
Menurut Prof.Dr.P.Borst, hokum ialah keseluruhan peraturan bagi kelakuan atau perbuatan manusia di dalam masyarakat, yang pelaksanaanya dapat dipaksakan dan bertujuan mendapatkan tata atau keadilan.
Dari devinisi tersebut dapat dijalankan sebagai berikut :
- Hukum, ialah peraturan atau norma yaitu petunjuk atau pedoman hidup yang wajib ditaati oleh manusia. Dengan demikian hokum bukan kebiasaan.
- Norma hokum, diadakan guna ditunjukan pada kelakuan taua perbuatan manusia dalam masyarakat, dengan demikan pengertian hokum adalah pengertian social. Di mana masyarakat, di situ ada hokum.
- Pelaksanaan peraturan hokum itu dapat dipaksakan artinya bahwa hokum mempunyai sanksi, berupa ancaman dengan hukuman terhadap sipelanggar atau merupakan gantu rugi begi yang menderita.
Menurut Prof.Dr. Van Kan dalam bukunya yang terkenal (Inlianding tot de Rechwetenschap), juris dari Negara Belanda ini, mendevinisikan hokum sebagai berikut : “ Hukum adalah keseluruhan peraturan hidup yang bersifat memaksa untuk melindungi kepentingan manusia di dalam masyarakat”.
Definisi hokum secara pasti menurut Van Apeldoorn tidak dapat ditemukan. Karana itu hampi setiap buku-buku tentang hokum menampilkan ragam prespektif tentang definisi hokum. Meskipun demikian ada beberapa pakar hokum memberikan definisi. Diantaranya:
1. Menurut Prof. Mr. E.M. Meyers, hokum ialah semua aturan yang mengandung pertimbangan kesusilaan, ditunjukan kepada tingka laku manusia dalam masyarakan yang menjadi pedoman bagi penguasa-penguasa Negara dalam melakukan tugasnya.
2. Menurut Leon Duguit, hokum adalah aturan tingkah laku para anggaota masyarakat, aturan yang daya penggunaanya pada saat tertentu diindahkan oleh suatu masyarakat sebagai jaminan dari kepentingan bersama dan jika dilanggar menimbulakan reaksi bersama terhadap orang yang melakukan pelanggaran.
3. Menurut Immanuel Kant, hokum ialah kesuluruhan syarat-syarat yang dengan ini kehendak bebas dari orang yang satu dapat meyesuaikan diri dengan kehendak bebas dari orang lain menurut asas tentang kemerdekaan.
4. Menurut Utrecht, hokum ialah himpunan peraturan (parintah-perintah dan larangan-larangan) yang mengurus tata tertib suatu masyarakat oleh karena itu harus ditaati masyarakat itu.
5. Menurut S.M. Amin, SH. Kumpulan peraturan yang terdiri dari norma dan sanksi-sanksi dan tujuan hokum adalah meniciptakan ketertiban dalam pergaulan manusia, sehingga keamanan dan ketertiban terpelihara.
6. Menurut J.C.T Simorangkir, hokum ialah peraturan-peraturan yang bersifat memaksa, yang menentukan tingkah laku manusia dalam linkungan masyarakat yang dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib. Pelanggaran terhadap peraturan tadi berakibat diambilnya tindakan dengan hukuman tertentu.
7. Menurut M.H Tirtaamidjaya SH, hokum adalah semua aturan (norma) yang harus dituruti dalam aturan tingkah laku tindakan-tindakan dalam pergaulan hidup dengan ancaman harus mengganti kerugian dengan melanggar aturan.
Dari berbagai definisi di atas, tidak ada pakar yang mendifinisikannya secara sama. Yang sama dari semua definisi adalah unsur-unsur yang dimilikinya. Definisi hokum meliputi unsur-unsur yang dimilikinya sebagai berikut:
1. Adanya peraturan dan tingkah laku manusia
2. Peraturan itu diadakan oleh badan-badan resmi berwajib
3. Peraturan itu bersifat memaksa
4. Adanya sanksi bagi pelanggaran terhadap peraturan tersebut.
Dalam studi islam, hokum didefinisikan “menetapkan sesuatu pada sesuatu yang lain” seperti menetapkan haram pada khamar, halal pada susu. Sedangkan meurut terminologi ahli ushul, hokum berarti titah (khitab) syar’I yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf, baik berupa tuntutan, pilihan, atau wadhi (menjadikan sesuatu sebagai sebab, mani’ (penghalang), dan syarat). Khitab syar’I adalah ketentuam-ketentuan yang ditetapkan Allah dan Rasulnya terhadap perbuatan mukallaf.
Ada beberapa pengertian hokum menurut masyarakat. Arti-arti yang diberikan masyarakat antara lain sebagai berikut:
1. Hokum sebagai ilmu pengetahuan, yakni pengetahuan yang tersusun secara sistematis atas dasar ketentuan pemikiran
2. Hokum sebagai disiplin, yakni suatu sistim ajaran tentang kanyataan atau gejala-gejala yang dihadapi
3. Hukum sebagai kaedah, yekni pedoman atau patokan sikap tindak atau perikalakuan yang pantas atau diharapkan.
4. Hokum sebagai tata hokum, yakni struktur dan proses perangkat kaedah-kaedah hokum yang berlaku pada suatu waktu dan tempat tertentu serta berbentuk tertulis
5. Hukum sebagai petugas, yakni pribadi-pribadi yang merupkan kalangan yang behubungan erat dengan penegakan hokum (“law-enforcement officer”
6. hokum sebagai keputusan penguasa.
7. hokum sebagai proses pemerintah, yaitu proses hubungan timbal balik antara unsur-unsur pokok dari sistim kenegaraan.
8. hokum sebagai sikap tindak ajeg atau perikalakuan yang “teratrur” yaitu perikalakuan yang diulang-ulang dengan cara yang sama, yang bertujuan mencapai kedamaian.
9. hokum sebagai jalinan nilai-nilai, yaitu jalinan dari konsepsi-konsepsi abstrak tentang apa yang dianggap baik dan buruk (G. Duncan Mitchell: 1977)
Pentingnya mengadakan identifikasi terhadap berbagai arti hokum adalah untuk mencegah terjadinya kesimpang siuran di dalam melakukan studi terhadap hokum, maupun di dalam penerapannya.

B. UNSUR-UNSUR HUKUM
Untuk memahami hubungan antara ilmu-ilmu hokum denga tata hokum, maka perlu dipahami terlebih dahulu unsur-unsur hokum atau geveven van het recht. Unsur-unsur hokum tersebut mencakup unsure idiil dan unsur riil. Unsur idiil tersebut mencakup hasrat susila dan rasio manusia; hasrat susila akan menghasilkan asas-asas hokum (rechtbeginzelen;misalnya: tidak ada hukuman tanpa kesalahan) sedang rasio manusia menghasilkan pengertian-pengertian hokum (rechtsbegrippen: misalnya:subjek hokum, hak dan kewajiban).
Unsur riil terdiri dari manusia, kebudayan materiil dan lingkungan alam. Apabila unsur idiil kemudian menhasilkan keadah-kaedah hokum melalui filsafat hokum dan “normwissenschaft atau sollenwissenschaft”, maka unsur riil kemudian menghasilkan tata hokum yang dalam pembentukannya “tatsachenwissenschaft atau sollenwissenschaft” ikut berperan.

C. PENGERTIAN TATA HUKUM INDONESIA
Pengertian Hukum Tata Negara adalah istilah yang sering digunakan oleh para ahli hokum untuk menyebut sistim aturan yang mengatur tentang status, bentuk serta mekanisme penyelenggara Negara.
Devinisi hokum tata Negara lebih menjelaskan tentang hokum tata Negara, antara lain :
a. Scholten (dalam Kusnardi dan Harmaily Ibrahim,1988:24) menyebutkan bahwa hokum tata Negara adalah “hokum yang mengatur organisasi Negara”. Senada dengannya adalah pendapat yang dilontarkan oleh Logemann (19988:25)
b. Hans kelsen mengartikan hokum tata Negara dengan menggunakan istilah “mengatur proses kenegaraan dalam keadaan diam (state in stationiar)”
Dari definisi di atas tenteng hokum tata Negara, dapat disimpulkan bahwa kandungan hokum tata negara adalah hokum yang mengatur organisasi, susunan organisasi serta fungsi organisasi kenegaraan.
Pengertian hokum dalam terminologi hokum adalah suatu keseluruhan aturan baik yang tertulis (perundang-undangan) maupun yang tidak tertulis (hokum adat) yang bagian-bagiannya saling berhubungan, saling menentukan dan juga saling seimbang. Sebgai contoh praktisnya adalah dalam hal ketentuan hokum mengenai pencabutan suatu hak milik seseorang di mana hal ini jelas menunjukan tantang adanya sistim hak milik yang sah menurut Negara orang tersebut, salain itu juga sekaligus menunjukan bahwa hak milik seseorang tersebut benar-benar ada dan diakui secara legal, sehingga jika hak milik tersebut tidak diakui atau tidak ada maka tidak ada pula kemungkinan pencabutan hak milik tersebut. Ketentuan dan aturan di atas merupakan suatu susunan atau tatanan tertentu yang sistimatis yang dinamakan dengan tata hokum. Perlunya ditetapkannya suatu tata hokum dikarenakan Tata Hukum itu berfungsi menata, menyusun, dan mengatur tata tertib kehidupan masyarakat. Tata hokum itu sah, berlaki bagi masyarakat tertentu, dan juga dibuat/ disusun serta ditetapkan oleh pihak atau lembaga Negara yang berwanang. Suatu masyarakat yang telah menetapkan tata hokumnya untuk diberlakukan atau ditaati atau tunduk terhadapnya disebut dengan masyarakat hokum. Dengan demikian tiap-tiap tata hokum pada dasarnya mempunyai struktur masing-masing sesuai dengan karakteristik masyarakat hukumnya.
Sumber hokum tata Negara yang menjadi tempat mencari rujukan tentang aturan-aturan kenagaraan adalah:
1. Undang-Undang Dasar 1945, yang di dalamnya mengatur tentang segala hal ikhwal mekanisme kehidupan nagara secara mendasar, bedasarkan semangat zaman yang terjadi di Indonesia. Oleh karenanya terjadinya perubahan-perubahan pandangan bangsa berakibat terjadinya Amandemen Undang-Undang Dasar 1945, yang sampai saat ini telah mengalami dua kali amandemen (penyempurnaan isi pasal bedasarkan semangat revormasi yang muncul pada tahun 1998.
2. ketetapan-Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, yang dihasilakan oleh lembaga tinggi Negara dan mencerminkan representasi seluruh kekuatan bangsa Indonesia, karena saat para anggotanya meyoritas dipilih bedasarkan mekanisme pemilihan umum dan sebagian kecil diangkar bedasarkan pertimbangan representasi golongan dan profesi, yaitu utusan golongan dan TNI/PLRI. Ketetapan MPRRI merupakan sumber hokum utama kerana dari produk yang dihasilkan dapat dijadikan pedoman utama bagi lembaga eksekutif maupun penyelenggara Negara yang lain untuk melaksanakan tugasnya secara benar dan sesuai hokum.
3. Undang-Undang, yaitu peraturan yang dibuat oleh lembaga-lembaga yang berkompeten (DPR dan Presiden), yang materinya berkaitan dengan susunan dan fungsi lembaga tinggi Negara.
4. Peraturan perundangan lainnya, seperti peraturan pemeritah dan keputusan Presiden (yang dibuat Presiden sebagai kepala Negara dan Kepala Pemerintah), merupakan sumber hokum tara Negara yang penting karena dari kedua sumber tersebut bisa dicari dan didapatkan informasi tetang rangkaian hokum tata Negara secara detail dan tarinci.
5. Kebiasaan ketatanegaraan (Convention), yaitu kebiasaan-kebiasaan yang tumbuh dalam kehidupan bernegara. Kebiasaan yang tumbuh atau muncul mengiringi kehidupan bernegara sama pentingnya degan peraturan perundangan sacara tertulis karena kebiasaan ketatanegaraan yang dilakukan beulang kali akan diterima dan titaati dalam praksis ketatanegaraan.
6. Traktat atau treaty, yaitu perjanjian yang dibuat oleh Indonesia dengan Negara lain, baik bersifat bilateral maupun multilateral. Traktat bersifat bilateral apabila melibatkan dua Negara pembuat perjanjian, sedang traktat multilateral melibatkan labih dari dua Negara pembuat perjanjian.

PENGUNDANGAN DAN DAYA IKAT

A. Pendahuluan
Suatu peraturan perundang-undangan yang sudah disahkan atau ditetapkan baru dapat berlaku mengikat umum apabila peraturan perundang-undangan tersebut diundangkan dalam Lembaran Negara atau diumumkan dalam suatu Berita Negara.

B. Landasan dan Tujuan Pengundangan
Landasan bagi perlunya suatu pengundangan adalah: een ieder wordt geacth de wet te kennen (setiap orang dianggap mengetahui undang-undang) atau ignoratia iuris neminen excusat/ignorance of the low (ketidaktahuan seseorang terhadap undang-undang tidak dimaafkan), ialah karena undang-undang dibentuk oleh wakil-wakil rakyat, maka rakyat dianggap mengetahui undang-undang.
Pengundangan ialah pemberitahuan secara formal suatu peraturan Negara denagn penempatannya dalam suatu penerbitan resmi yang khusus untuk maksud itu sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Dengan pengundangan peraturan Negara itu telah memenuhi prinsip pemberitahuan formal, peraturan Negara itu telah memenuhi ketentuan ketentuan sebagai peraturan Negara, prosedur pembentukan yang disyaratkan bagi peraturan Negara itu dicukupi, dan peraturan Negara itu sudah dapat dikenali, sehingga dengan demikian peraturan Negara tersebut mempunya kekuatan mangikat.
Tujuan pengundangan adalah agar secara formal setiap orang dapat dianggal mengenali peraturan Negara, agar tidak seorang pun berdalih tidak mengetahuinya, dan agar ketidaktahuan seseorang akan peraturan hukum tersebut tidak memaafkannya.
Pengumuman adalah pemberitahuan secara material suatu peraturan Negara kepada khalayak ramai dengan tujuan utama mempermaklumkan isi peraturan tersebut seluas-luasnya.
Tujuan pengumuman adalah agar secara material sebnyak mungkin khalayak ramai mengetahui peraturan Negara tersebut dan memahami isi serta maksud yang terkandung di dalamnya.
Peraturan Negara akan mengikat jika pengundangan dilakukan dengan baik. Apabila Negara dengan pengundangan peraturan-peraturannya dapat mengikat rakyatnya, maka sudah sewajarnya apabila apabila Negara juga berkawajiban memberitahukan secara material peraturan-peraturannya kepada rakyatnya dengan pengumumannya. Prinsip Negara yang bedasarkan atas hukum yang modern menentukan bahwa Negara berkewajiba mengurusi kepantingan ekonomi rakyat, dan mengurusi kepentingan budaya serta sosialnya.

C. Tempat Pengundangan dan Jenis Peraturan yang Diundangkan
Dalam Peraturan Pemerintah No 1 Th. 1945 tentang Pengumuman dan Mulai Berlakunya Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah ditetapkan bahwa pengumuman suatu Undang-Undang dan Peraturan Presiden dilakukan dengan menempelkannya di papan pengumuman di muka gedung Komite Nasional Pusat. Selain itu, jikalau diperlukan supaya penduduk selekas mungkin mengetahuinya, maka pengumuman itu disiarkan dengan perantara surat kabar atau media informasi lainnya.
Sementara itu, dalam Undang-Undang Darurat No 2 Th 1950 tetang Penerbitan Lembaran Negara Republik Indonesia Serikat dan Berita Negara Republik Indonesia Berlakunya Undang-Undang federal dan Peraturan Pemerintah, serta penetapan Undang-Undang sebagai Undang-Undang Federal (Lembaran Negara Th. 1950 No 23) menetapkan bahwa Undang-Undang Federal serta Peraturan Pemerintah dimuat dalam Lembaran Negara, sedangkan peraturan mengenai hal-hal yang dengan Undang-Undang Federal atau dengan Peraturan Pemerintah diserahkan kapada alat kelangkapan Republik Indonesia Serikat lain, dan juga surat-surat lain yang harus atau pun dianggal perlu atau berguna disiarkan dalam Berita Negara.

D. Pengundangan Bedasarkan Ketentuan Dalam Undang-Undang No 10 Th 2004
Masalah pengundangan peraturan perundang-undangan diatur dalam Undang-Undang No.10 Th 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, khususnya bab IX tentang Pengundangan dan Penyebarluasan.
Dalam pasal 45 Undang-Undang No. 10 Th 2004 dinyatakan bahwa, agar setiap orang mengetahuinya, Peraturan Perundang-Undangan harus diundangkan dengan menempatkannya dalam:
a) Lembaran Negara Republik Indonesia
b) Berita Negara Republik Indonesia
c) Lembaran Daerah
d) Berita Daerah.
Penjelasa pasal 45, menyatakan bahwa dengan mengundangkannya peraturan perundang-undangandalam lembaran resmi sebagai manadimaksud dalam ketentuan ini maka setiap orang dianggap telah mengetahuinya.
Mengenai jenis peraturan perundang-undanganyanga harus diundangkan, pasal 46 Undang-Undang No. 10 Th 2004 menetapkan bahwa:
1) Peraturan Perundang-Undangan yang diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia, meliputi:
a) Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
b) Peraturan Pemerintah
c) Peraturan Peresiden meliputi:
1) Pengesahan perjanjian antara Negara Indonesia dan Negara lain atau badan hukum international
2) Pernyataan keadaan budaya.
d) Peraturan penundang-undang lain menurut Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku harus diundangkan dalam Lembaga Negara Republik Indonesia;
2) Peraturan Perundang-Undangan lain yang menurut peraturan Peraturan yang berlaku harus diundangkan yang harus diundangkan dalam Berita Republik Indonesia.

E. Hubungan Antara Pengundangan dan Daya Ikat
Dengan adanya pengundangan bagi suatu Peraturan perundang-undangan, yaitu dengan penempatanya di dalam Lampiran Negara Republik Indonesia, maka peraturan perundang-undangan tersebut dianggap mempunyai daya laku serta daya ikat bagi setiap orang.
Sehubungan dengan itu daya ikat ada 3 macam:
1. Berlaku pada tanggal diundangkan
Apabila di dalam suatu peraturan dinyatakan berlaku pada tanggal diundangkan, maka dalam hal ini peraturan tersebut mempunyai daya ikat pada tanggal yang sama dengan tanggal pengundangannya.
2. Berlaku beberapa waktu setelah diundangkan
Apabila di dalam suatu peraturan dinyatakan berlaku beberapa waktu setelah diundangkan, maka hal ini peraturan tersebut mempunyai waktu daya laku pada tanggal yang telah ditentukan tersebut.
3. Berlaku pada tanggal diundangkan dan berlaku surut sampai tanggal yang tertantu
Apabila suatu peraturan ditentukan demikian, maka hal ini berarti bahwa peraturan tersebut mempunyai daya laku sejak tanggal diundangkan, akan tetapi dalam hal-hal tertentu ia mempunyai daya ikat yang berlaku surut sampai tanggal yang ditetapkan tadi. Apabila suatu peraturan tersebut dinyatakan berlaku surut, maka ketentuan saat/waktu berlaku surutnya peraturan tersebut harus dinyatakan secara tepat/pasti.

F. Pengundangan Bedasarkan Peratran Presiden No. 1 Tahun 2007
Bedasarkan Peraturan Presiden No. 1 Th 2007 tentang Pengesahan, Pengundangan, dan Penyebarluasan Peraturan Perundang-Undangan, proses pengundangan peraturan perundang-undangan secara ringkas adalah sebagai berikut:
1) Naskah Undang-Undang yang telah disahkan Presiden disampaikan oleh Menteri Sekretasir Negara kepada Menteri untuk diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia
2) Naskah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang dan naskah Peraturan Pemerintah yang telah ditetapkan oleh Presiden disampaikan Menteri Sekretaris Negara kepada Menteri untuk diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia
3) Naskah Peraturan Presiden yang telah ditatapkan Presiden disampaikan oleh Sekretaris Kabinet kepada Menteri untuk diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia
4) Naskah Peratuaran Perundang-undangan lainnya yang telah ditetapkan oleh Pimpinan Lembaga (Pasal 46 ayat 1 Undang-Undang No 10 Th 2004) disampaikan kepada Menteri untuk diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia
5) Menteri kemudian akan membubuhkan tanda tangan pada naskah Undang-Undang, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden, serta Peraturan Lembaga tersebut, dan menempatkanya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia dengan membubuhkan nomor dan tahunya, serat menempatkan Penjelasannya serta nomor dalam Tambahan Lembaran Negara
6) Naskah Peraturan Menteri/Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departeman dan Perundang-Undangan lainnya yang telah ditetapkan diberi nomor dan tahunya disampaikan kepada Menteri, untuk selanjutnya diundangkan dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia

METODE PENELITIAN ISLAM

Pendahulan

Problem dan permasalahan kehidupan manusia semakin hari kian bertambah kompleks dan beragam. Permasalahan-permasalah yang awalnya dapat dicover secara eksplisit oleh kedua sumber pokok ajaran islam tersebut, seiring dengan berjalannya waktu dan semakin kompleksnya permasalahan manusia , mulai bermunculan permasalahan-permasalan yang belum ditemukan di dalam kedua sumber tersebut. Di sinilah kita bisa melihat bahwa islam didisain sedemikina rupa oleh Allah SWT sebagai agama pamungkas yang diturunkan-Nya di muka bumi ini. Ajaran-ajaran islam tetap relevan sepanjang zaman dalam menjawab setiap permasalahan yang ada walaupun teks keagamaan secara kuantitatif tidak bertambah. Allah SWT tidak menjadikan Al-Quran dan As-Sunnah yang merupakan sumber utama ajaran islam dalam bentuk baku, final, dan siap pakai, yang menjawab secara rinci semua permasalah yang ada baik yang telah, sedang, ataupun akan terjadi. Sebab jika demikian, ajaran islam akan cepat usang dan hilang kemampuannya untuk merespon segala persoalan yang senantiasa berkembang dengan pesat.

Kondisi obyektif yang berkaitan dengan permasalah manusia yang setiap saat bertambah banyak yang memerlukan tanggapan logis-yuridis dari nash-nash Al-Quran dan As-Sunnah yang belum tercover secara eksplisit dalam teks-teks Al-Quran dan As-Sunnah, mewajibkan bagi orang-orang yang mampu dan memenuhi syarat untuk melakukan ijtihad (usaha sungguh-sungguh untuk penggalian hokum) sebagai respon terhadap permasalahan yang baru muncul. Anugerah akal yang diberikan Allah SWT kepada manusia menjadikannya sebagai makhluk yang selalu ingin tahu, berkembang dan berinovasi. Melalui pranata ijtihad ini manusia dapat mengekplorasi akal pikirangnnya untuk mencari jawaban atas permasalahan baru dengan tetap memperhatikan kaidah-kaidah yang diperlukan dalam melakukan ijtihad.

Pencarian jawaban atas permasalahan baru ini membutuhkan skill dan persyarataan-persyaratan yang sangat ketat. Dengan begitu ijtiihad tidak bisa dilakukan dengan /oleh sembarang orang. Hanya orang yang memenuhi kriteria-kriteria dan syarat-syarat saja yang diperbolehkan. Kegiatan ijtihad tanpa mengindahkan syarat dan kriteria adalah tindakan membuat-buat hokum tanpa landasan yang jelas, itu sangat dicela oleh agama, bahkan membaca kekacauan dan kehancuran bagi agama. Sebagaimana diisyaratkan dalam Firman Allah SWT

ولا تقول لما تصف السنتكم الكذب هذا حلال وهذا حرام لتفتروا على الله الكذب إن الذين يفترون على الله الكذب لا يفلحون (النحل : 116)

“ Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta ‘ini halal dan ini haram’, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tidaklah beruntung”

A. ISTINBAT DAN IJTIHAD

1. Penertian dan Ruang Lingkup.

Istinbat adalah suatu kaidah dalam ushul fiqh, yaitu: menetapkan hukum dengan cara ijtihad atau, hal mengeluarkan hukum dari dalil-dalil yang telah ditetapkan oleh syara. Ushul fiqih ialah ilmu yang menyelidiki bagaimana caranya dalil tersebut menunjukan hukum-hukum yang berhubungan dengan Mukalaf.[1]

Istinbat juga diartikan dengan:

استخراج المعانى من النصوص بفرط الذهن وقوة القريحة

Mengeluarkan makna-makna dari nash-nash (yang terkandung) dengan menumpahkan pikiran dan kemampuan (potensi) naluriah.[2]

Adapun devinisi ijtihad menurut bahasa ialah “pengerahan segala kesanggupan untuk mengerjalan suatu yang sulit”. Sedangkan menurut istilah adalah menurut praktek para Sahabat, pengertian ijtihad ialah penelitian dan pemikiran untuk mendapatkan sesuatu yang terdekat dengan Kitab Allah dan Sunnah Rasul. Menurut mayoritas ulama ushul, pengertian ijtihad adalah pengerahan segala kesanggupan oleh seorang ahli fiqih atau mujtahid untuk memperoleh pengertian tingkat zhann mengenai suatu hukum syara.[3]

Menurut Iman Ghazali (w. 505 H) adalah

بذل المجتهد وسعة فى طلب العلم باحكام الشرعية

Pengerahan kemampuan oleh mujtahid dalam mencari pengetahuan tentang hukum syara[4]

Menurut ilmu ushul fiqh, kata “ijtihad” identik dengan kata “istinbat”. Jadi, arti ijtihad atau istinbat ialah “menggali hukum syara’ yang belum ditegaskan secara langsung oleh nash Al-Quran dan As-Sunnah.[5]

Keabsahan ijtihad ini ditopang dengan hadist Nabi SAW:

بما تقضى يا معاذ إذا عرض لك قضاء، قال : أقضى بكتاب الله،قال: فإن لم تجد،قال: فبسنة رسول الله، قال فإن لم تجد، قال أجتحد رأى

“Hai Mu’adz, apa yang engkau lakukan jika dikemukakan kepadamu suatu perkara? Aku memutuskan dengan Kitab Allah, bagaimana jika tidak ditemukan di dalam Al-Quran? Aku memutuskan dengan Sunnah Rasulullah SAW, bagaimana jika tidak ditemukan dalam Sunnah Rasul? Aku akan berijtihad dengan kesanggupan dan ketelitian”

Adapun syarat-syarat berijtihad atau menjadi seorang mujtahid adalah sebagai berikut:

· Memiliki ilmu yang luas tentang ayat-ayat Al-Quran dan Sunnah Rasul yang berhubungan dengan masalah hukum, dalam arti mampu membahas ayat-ayat tersebut untuk menggali hukum

· Mengetahui masalah-masalah yang telah di-ijma’kan

· Memiliki pengetahuan yang laus tentang Qiyas dan dapat menggunakannya istinbat hukum

· Mengetahui ilmu logika agar dapat menghasilkan kesimpulan yang benar tentang hukum dan sanggup mempertanggung jawabkannya

· Menguasai bahasa Arab secara mendalam. Sebab, Al-Quran dan Sunnah sebagai sumber dasar hukum islam, tersusun dalam gaya bahasa yang sangat tinggi, dan di dalam ketinggian dan keunikan gaya bahasa inilah antara lain terletak segi kemukjizatan al-Quran

· Memiliki pengetahuan yang mendalam tetang nasakh-mansukh dalam Al-Quran dan hadits, agar dalam menggali hukum tidak mempergunakan ayat Al-Quran dan hadits yang telah di-nasakh

· Mengetahui latar belakang turunnya ayat (asbab al-nuzul) dan latar belakang hadits (asbab al-wurud)

· Mengetahui sejarah para perawi hadits

· Mengetahui ushul fiqh

Jika melihat dari Sabda Nabi SAW tentang bagaimana cara menyelesaikan perkara yang tidak ada jawabannya di Al-Quran ataupun As-Sunnah yaitu dengan cara berijtihad. Di sini dijelaskan metode penemuan hukum dalam islam melalui jalan berijtihad, antara lain:

1) Ijma’

Ijma’ menurut istilah Ulama Ushul ialah kesepakatan semua mujtahidin di antara umat islam pada suatu masa setelah kewafatan Rasulullah SAW, atas hukum syar’i mengenai suatu kejadian / kasus.

Syarat terbentuknya ijma’ menurut syara’ ada empat:

1. Adanya sebilangan para mujtahid pada waktu terjadinya suatu peristiwa, karena kesepakatan itu tidak dapat dicapai kecuali dengan beberapa pendapat, yang masing-masing diantaranya sesuai dengan lainnya.

2. Adanya kesepakatan semua mujtahid umat islam atas suatu hukum syara’ mengenai suatu peristiwa pada waktu terjadinya, tanpa memandang negeri mereka, kebangsaanya atau kelompoknya.

3. adanya kesepakatan mereka itu dangen menampilkan pendapat masing-masing mereka secara jelas mengenai suatu kejadian, baik penampilan itu berupa ucapan atau perbuatan atau penampilan pendapat menjatuhkan secara menyendiri.

4. dapat direlisir kesepakatan dari semua mujtahid atas suatu hukum.

Ijma’ dapat dijadikan sebagai dasar hukum atau dipastikan kehujjahannya sesuai dengan friman Allah SWT yang terdapat pada surat An-Nisa ayat 59 yaitu:

يائيها الذين أمنوا اطيعوا الله واطيعوا الرسول واولى الامر منكم

Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasulullah, dan Ulil Amri di antara kamu

Lafal Amri artinya ialah hal atau keadaan, dan ia umum, yang meliputi hal-hal duniawi. Dan Ulil Amri duniawi ialah para raja, pemimpin dan penguasa. Sedangkan ulil amri agamawi ialah para mujtahid dan ahli fatwa agama (hukum).

2) Qiyas

Qiyas menurut Ulama Ushul ialah menghubungkan suatu kejadian yang tidak ada nashnya kapada kejadian lain yang ada nashnya, dalam hukum yang telah ditetapkan oleh karena adanya kesamaan dua kejadian itu dalam illat hukumnya.

Adapun syarat-syarat qiyas adalah:

1. al-Ashlu (suatu perkara yang ada hukumnya dalam nash)

2. al-Far’u (suatu perkaar yang belum ada hukumnya di dalam nash)

3. hukum Ashal (hukum dari perkara al-Ashlu

4. illat

hadits Nabi yang menguatkan kehujjahan Qiyas adalah:

وقوله صلى الله عليه وسلم لعمر ابن الخطاب حين سأله عن تقبيل امرأته وهو صائم، فأجاب الرسول صلى الله عليه وسلم : أرأيت لو تمضمضت بماء بحجته، أكان يضرك؟ فقال عمر: لا، وقال الرسول صلى الله عليه وسلم ففيم أذن ؟ أى أمر الأسف؟

فقد قال النبى صلى الله عليه وسلم القبلة على المضمضة، فكما أن المضمضة لا تفسد الصيام، كذلك القبلة

3) Istihsan

Menurut bahasa artinya menganggap baik sesuatu, sedangkan menurut istilah Ulama Ushul ialah berpindahnya seorang mujtahid dari tuntunan Qiyas jail kedapa Qiyas Khafi. Atau dari hukum kulli kepada hukum pengecualian, karena ada dalil yang menyebabkan mencela akalnya, dan dimenangkan baginya perpindahan ini. Jadi apabila terjadi sesuatu kejadian dan tidak terdapat nash mengenai hukumnya, maka untuk membicarakan hal itu ada dua segi yang bertentangan, yaitu:

Pertama : segi nyata yang menghendaki suatu hukum

Kedua : segi tersembunyi yang menghendaki hukum lain

Dan pada mujtahid sendiri sudah terdapat dalil yang memenangkan segi pandangan secra tersembunyi, maka perpindahan dari segi pandangan yang nyata inilah yang menurut syara’ disebut dengan istihsan.

Para Ulama yang menggunakan hujjah istihsan, ialah kebanyakan Ulama Hanafiyah. Dalil mereka atas kehujjahannya yaitu bahwasanya mengambil dalil dengan istihsan itu hanyalah istidlal dengan Qiyas khafi yang menang atas Qiyas jail dengan dalil yang menuntut kemenangannya, atau istidlal dengan maslaha mursalah (kepentingan umum) atas pengecualian bagian hukum kulli. Semua ini adalah istidlal yang sahih.

Terdapat sebuah kelompok mujtahid yang menentang istihsan dan menggapnya sebagai istinbat hukum syara dengan kemauan hawa nafsu dan rasa enak. Pimpinan kelompok ini adalah Imam Syafi’I, hal mana telah dinukil dari padanya, bahwa ia berkata : “siapa melakukan istihsan berarti ia telah membentuk syari’at. Artinya orang tersebut memulai hukum syari’at dirinya sendiri.

4) Al-Maslahah al-Mursalah

Menurut Ulama Ushul yaitu, maslahah di mana syar’I tidak mensyari’atkan hukum untuk mewujudkan maslahah itu, juga tidak terdapat dalil yang menunjukan atas pengakuannya atau pembatalannya.

Adapun syarat-syarat menjadikan Hujjah Maslahah al-Mursalah adalah sebagai berikut:

a) Berupa maslahah yang sebenarnya, bukan maslahah yang bersifat dugaan.

b) Berupa maslahah yang umum, bukan maslahah yang bersifat perorangan

c) Pembentukan hukum bagi maslahah ini tidak bertantangan dengan hukum atau prinsip yang telah ditetapkan oleh nash atau Ijma.

5) Al-‘Urf

‘Urf adalah sesuatu yang telah sering dikanal oleh manusia dan telah menjadi tradisinya, baik berupa ucapan atau perbuatannya dan atau hal meninggalkan sesuatu juga disebut adat.

‘Urf itu ada dua macam, yaitu ‘Urf shohih dan ‘Urf fasid. ‘Urf shohih adalah sesuatu yang telah saling dikenal oleh manusia dan tidak pula beertentangan dengan syara’. Sedangkan ‘Urf fasdi adalah sesuatu yang telah saling dikelan oleh manusia tetapi bertentangan dengan syara’.

Hukum dari ‘Urf shohih adalah harus dipelihara dalam pembentukan hukum dan dalam pengadilan. Bagi seorang Mujtahid harus memeliharanya dalam waktu membentuk hukum. Seorang Qhadi juga harus memeliharanya ketika mengadili.

Ulama berkata, “ Adat itu adalah syari’at yang dikukuhkan sebagai hukum”. Imam Malik mendasarkan sebagian hukumnya kepada amal perbuatan penduduk Madinah. Imam Abu Hanifah bersama-sama muridnya berbeda pendapat dalam beberapa hukum dengan dasar atas perbedaan ‘Urf mereka. Bahkan Imam Syafi’I mengubah sebagian hukum yang telah menjadi pendapatnya (ketika di Baghdad) ketika telah berada di Mesir, dikarenakan perbedaan ‘Urf.

6) Al-Istishhab

Menurut bahasa Arab ialah : mengakui adanya hubungan perkawinan. Sedangkan menurut istilah Ulama Ushul, yaitu menetapkan sesuatu menurut keadaan sebelumnya sehingga terdapat dalil menunjukan perubahan keadaan, atau menjadikan hukum yang telah ditetapkan pada masa lampau secara kekal menurut keadaan sehingga terdapat dalil yang menunjukan atas perubahannya.

Dan apabila seorang Mujtahid ditanya tentang hukum binatang atau benda-benda, atau tumbuh-tumbuhan, atau makanan dan minuman apa saja, atau suatu amal, dan ia tidak menemukan dalil syara’ mengenai hukumnya, maka dihukumi atas kebolehannya, karena kebolehan itu adalah pangkal (asal), dan tidak terdapat dalil yang menunjukan atas perubahannya. Sesuai dengan firman Allah SWT

هو اللذي خلق لكم ما فى الارض جميعا ( البقرة 29)

Dialah Allah yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu

Istishhab adalah akhir dalil syara’ yang dijadikan tempat kembali seorang Mujtahid untuk mengetahui hukum suatu peristiwa yang dihadapkan kepadanya, karena Ulama Ushul berkata, “Sesungguhnya istishhab adalah akhir tempat beredar fatwa”, yaitu mengetahui atas sesuatu menurut hukum yang telah ditetapkan baginya selama tidak terdapat dalil yang mengubahnya. Ini adalah teori dalam pengambilan dalil yang telah menjadi kebiasan dan tradisi manusia dalam segala pengelolaan dan ketetapan mereka.

7) Syariat Orang Sebelum Kita

Apabila al-Quran dan al-Sunnah itu telah diisyaratkan oleh Allah kepada para ummatnya yang telah mendahului kita melalui para Rasul-Nya, dan telah di-nash-kan bahwasanya syariat itu diwajibkan kepada kita sebagaimana diwajibkan kepada mereka, maka tidak ada perselisihan bahwa syariat itu adalah syariat untuk kita dan undang-undang yang wajib diikuti dengan menetapkan syariat kita kepadanya. Sesuai dengan firman Allah dalam surat Al-Maidah ayat 45, yang artinya:

Dan kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan maat, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi dan luka-luka pun ada qishosnya.

Maka Jumhur Ulama Hanafiyah, dan sebagian Ulama Malikiya, serta sebagian Ulama Syafi’iyah berkata, “ Bahwasanya hukum itu adalah syari’at untuk kita, dan kita wajib mengikuti dan menerapkannya selama hukum itu telah diceritakan kepada kita, dan dalam hukum kita tidak terdapat yang menasakhnya.

B. FATWA

1. Pengertian dan Ruang Lingkup.

Secara etimologi kata fatwa berasal dari bahasa Arab al-Fatwa, menurut Ibnu Manzhur kata fatwa ini merupakan bentuk mashdar dari kata fata, yaftu, fatwan, yang bermakna muda, baru, penjelasan, penerangan. Pendapat ini hamper sama dengan pendapat al-Fayumi yang mengartikan sebagai pemuda yang kuat. Sehingga orang yang mengeluarkan fatwa dikatakan sebagai mufti, karena orang tersebut diyakini mempunyai kekuatan dalam memberikan penjelasan dan jawaban terhadap permasalahan yang dihadapinya sebagai mana kekuatan yang dimiliki oleh seorang pemuda

Sedangkan secara terminology, sebagaimana dikemukakan oleh Zamakhsyri (w. 538 H) fatwa adalah penjelasan hukum syara’ tentang suatu masalah atas pernyataan seseorang atau sekelompok. Menurut as-Syatibi, fatwa dalam arti al-Ifta berarti keterangan-keterangan tentang hukum syara’ yang tidak mengikat untuk diikuti.

Menurut kitab Mathalib Uiln Nuha fi Syarh Ghayah al-Muntaha, pengertian fatwa adalah:

تبين الحكم الشرعي للسائل عنه بلا إلزام

Menjelaskan hukum syar’I kepada penanya dan tidak mengikat

Menurut Yusuf Qardawi, fatwa adalah menerangkan hukum syara’ dalam persoalan sebagai jawaban atas pertanyaan yang diajukan oleh peminta fatwa (mustafi) baik secara perorangan atau kolektif

Dari beberapa pengertian di atas ada dua hal penting yang perlu dicatat:

1) Fatwa bersifat responsive. Ia merupakan jawaban hukum (legal opinion) yang dikeluarkan setelah adanya suatu pertanyaan atau permintaan fatwa (based on demand).

2) Dari segi kekuatan hukum, fatwa sebagai jawaban hukum tidaklah bersifat mengikat. Dengan kata lain, orang yang meminta fatwa, baik perorangan, lembaga, maupun masyarakat luas tidak harus mengikuti isi atau hukum yang diberikan kepadanya

Terdapat beberapa istilah yang berkaitan dengan proses pemberian fatwa, yakni:

1. al-Ifta atau al-Futya, artinya kegiatan menerangkan hukum syara’ sebagai jawaban atas pertanyaan yang diajukan.

2. mustafi,artinya individu atau kelompok yang mengajukan pertanyaan atau meminta fatwa

3. mufti, orang yang memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut atau orang yang memberikan fatwa.

4. mustafti fih, masalah, peristiwa, kejadian, kasus, perkara yang ditanyakan status hukumnya

5. fatwa, jawaban hukum atas masalah, peristiwa, kasus atau perkara yang ditanyakan.

Adapun orang yang pantas dimintai fatwa tidaklah sembarang orang. Jalaluddin al-Mahalli menyebutkan bahwa di antara syarat seorang mufti adalah:

“menguasai pendapat-pendapat dan kaidah-kaidah dalam ushul fiqh dan fiqh, mempunya kelengkapan untuk melakukan ijtihad, menetahui ilmu-ilmu yang dibutuhkan untuk memformulasikan suatu hukum , misalnya ilmu Nahwu, ilmu bahasa, ilmu Mushthalah al-Hadits, tafsir ayat-ayat dan hadits-hadits hukum

As-Syaukani menyebutkan tiga syarat yaitu, mampu berijtihad, adil dan terhindar dari kesan memperlonggar dan mempermudah hukum.

Imam an-Nawawi menyebutkan bahwa seorang mufti haruslah nyata-nyata seorang wara’, tsiqah, terpercaya, terhindar dari fasiq, tajam pikiran, sehat rohani dan sedapatnya sehat jasmani.

Mengenai apakah seorang mujtahid atau mufti harus dapat menjawab semua pertanyaan, Imam Ghazali menyatakan bahwa ijtihad bukan pekerjaan yang tidak terbagi-bagi. Menurutnya seorang a’lim dapat dikatakan melakukan ijtihad meskipun ia melakkan ijtihad dalam beberapa ketentuan hukum saja.

Tidak hanya seorang mufti saja yang mempunya syarat, akan tetapi terdapat adab dan syarat dalam meminta fatwa (mustafi). Diatara adab yang dimaksud adalah sebagai berikut:

1) Orang atau pihak yang meminta fatwa harus tidak mempunyai kemampuan untuk menentukan fatwa sendiri.

2) Orang atau pihak yang meminta fatwa harus meneliti terlebih dahulu apakah orang atau lembaga yang dimintainya fatwa benar-benar mempunyai kompetensi untuk menetapka fatwa.

3) Orang atau pihak yang meminta fatwa tidak harus mengetahui bahwa fatwa yang akan dikeluarkan adalah menurut madzhab tertentu.

4) Orang atau pihak yang meminta fatwa apabila mendapati adanya fatwa yang berbeda dari dua mufti atau lembaga, maka baginya untuk mendahulukan fatwa dari seseorang atau lembaga yang secara luas diakui lebih berkompeten dalam mengeluarkan fatwa. Jika yang memintanya tidak tahu mana yang yang paling berkompeten, maka boleh memilih mana yang lebih “aman”.

5) Orang atau pihak yang meminta fatwa apabila hanya mendapati satu orang atau lembaga yang mempunyai kompetensi dalam berfatwa dan tidak ada orang atau lembaga lain yang mempunyai kompetensi untuk berfatwa. Maka dirinya terikat dengan fatwa yang dikeluarkan oleh orang atau lembaga tersebut.

6) Orang atau pihak yang meminta fatwa jika mendapati permasalahan yang sama yang pernah difatwakan, maka apakah ia harus memintakan fatwanya? Ada dua perbedaan diantara para Ulama. Pertama, meminta kembali menanyakan, karena boleh jadi berbeda dengan sebelumnya sesuai dengan kondisi dan zaman. Kedua, tidak perlu, hanya perlu merujuk kepada fatwa yang sudah ada.

7) Orang atau pihak yang meminta fatwa sebaiknya datang sediri secara langsung kapada Mufti.

8) Orang atau pihak yang meminta fatwa seyogyanya berprasangka baik dan berprilaku baik kepada mufti.

9) Orang atau pihak yang meminta fatwa seyogyanya tidak menuntut kepada mufti untuk menyertakan dalil berserta argumentasi.

10) Orang atau pihak yang meminta fatwa jika tidak menemukan mufti di daerahnya atau dimanapun maka ia tidak terkena taklif.

Mengingat fatwa begitu penting dikalangan awam dalam menjalankan ibadahnya, maka setiap mufti tidak boleh menolak apabila dimintai fatwa. Dalam hal ini Imam an-Nawawi menyebutkan beberapa hal yang perlu diperhatikan dengan huku fatwa.

Pertama, berfatwa hukumnya fardhu kifayah, jika ada orang atau pihak yang menanyakan suatu masalah maka wajib bagi orang yang mempunya kompetensi berfata menjawabnya.

Kedua, jika suatu fatwa itu sudah dikeluarkan akan tetapi oleh karena suatu hal fatwa tersebut dirasa tidak sesuai, maka bagi pihak yang mengeluarkan fatwa harus memberitahukan orang yang meminta fatwa, bahwa fatwa yang telah dikeluarkan terdahulu tidak sesuai.

Ketiga, haram hukumnya bagi mufti untuk terlalu mudah mengeluarkan fatwa, dan jika diketahui seperti itu maka haram bagi mustafi meminta fatwa kepadanya.

Keempat, seorang mufti ketika menetapkan fatwa harus stabil psikis dan fisiknya, sehingga bisa berfikir jernih dan menjaga kenetralannya dalam menetapkan hukum suatu masalah.

Kelima, seorang mufti dilarang menjadikan fatwa sebagai sumber penghasilan untuk kepentingan dirinya.

Keenam, bagi mufti yang dalam menetapkan fatwa tetang hukum suatu masalha kemudian dilain waktu ada pihak lain yang menanyakan masalah yang sama, maka mufti boleh menyamakan dengan yang pertama dengan syarat masih ingat dalil-dalil dan penjelasannya.

Ketujuh, jika mufti yang dalam menetapkan fatwa merujuk kepada pendapat ulama madzhab tertentu, maka harus didasarkan atas pendapat ulama yang terdapat dalam kitab fiqh yang diakui.

Kedelapan, ketetapan fatwa harus jelas dan dapat langsung dilaksanakan oleh peminta fatwa.

Kaidah istinbat yang dijadikan pedoman dalam penetapan fatwa:

1) Metode Bayani

Metode ini dipergunakan untuk menjelaskan teks al-Quran dan as-Sunnah dalam menetapkan hukum dengan menggunakan analisis kebahasaan. Pembahasan metode bayani ini dalam kajian ushul fiqh mencakup

a) Analisa bedasarkan segi makna lafaz

b) Analisa bedasarkan segi pemakaian makna

c) Analisa bedasarkan segi terang dan samarnya makna

d) Analisa bedasarkan segi penunjukan lafaz kepada makna menurut maksud pencipta nash.

2) Metode Ta’lili

Metode ini digunakan untuk menggali dan menetapkan hukum terhadap suatu kejadian yang tidak ditemukan dalilnya secara tersurat. Istinbat ini ditunjukan untuk menetapkan hukum suatu peristiwa dengan merujuk kepada kejadian yang sudah ada hukumnya karena adanya kesamaan illat.

3) Metode Istishlahi

Metode ini dipergunakan untuk menggali, menemukan, dan merumuskan hukum syara’ dengan cara menerapkan hukum kulli untuk peristiwa yang ketentuan hukumnya tidak terdapat dalam nash, belum diputuskan dengan ijma’ dan tidak memungkinan dengan qiyas atau istihsan.[6]



[1] Abdul Mujieb, Mabruri Tholhah, Syafi’iah AM, kamus istilah fiqh. Jakarta: Pustaka Firdaus. 1994 hal. 129

[2] Totok jumantoro, samsul munir amin. Kamus ilmu ushul fiqh. Jakarta: Amzah. 2005 hal 142

[3] Jalaludin rahmat. Ijtihad dalam sorotan. Bandung: Mizan1998. hal. 23

[4] Totok jumantoro, samsul munir amin. Kamus ilmu ushul fiqh. Jakarta: Amzah. 2005 ha1. 110

[5] Jalaludin rahmat. Ijtihad dalam sorotan. Bandung: Mizan1998. hal. 25

[6] Ma’ruf Amin. Fatwa dalam system hukum Islam. Jakarta: Elsas. 2008 .hal 19-47