Cari Blog Ini

Kamis, 12 April 2012

Minimnya sosialisasi yang dilakukan DSI Kota Subulussalam membuat pengetahuan Hukum masyarakat terhadap qanun qanun syaraiah dikota ini sangat rendah

Salah satu faktor mengefektifkan suatu peraturan adalah warga masyarakat. Yang dimaksud disini adalah kesadaranya untuk mematuhi suatu peraturan perundang-undangan, yang kerap disebut derajat kepatuhan. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa derajat kepatuhan masyarakat terhadap hukum merupakan salah satu indikator berfungsinya hukum yang bersangkutan.
Peningkatan kesadaran hukum warga masyarakat seyogianya dilakukan melalui penerangan dan penyuluhan hukum yang teratur atas dasar perencanaan yang mantap. Penyuluhan hukum bertujuan agar warga masyarakat mengetahui dan memahami hukum-hukum tertentu.
Di Aceh meski penegak utama hukum pidana bernuansa Syariah di Aceh adalah Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP), khususnya Wilayatul Hisbah (WH), masyarakat juga diberikan peranan untuk mencegah terjadinya jarimah minuman Khamar dalam rangka memenuhi kewajiban sebagai seorang muslim untuk melakukan amar ma’ruf nahi mungkar. Peranserta masyarakat tersebut tidaklah dalam bentuk main hakim sendiri.
Warga sipil berperan langsung dalam menegakkan Perda-perda bernuansa Syariah, diantaranya adalah peranan yang secara jelas ditetapkan dalam Qanun Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Minuman Khamar dan Sejenisnya sebagai berikut:
1. Masyarakat berperan serta dalam upaya pemberantasan Minuman Khamar dan Sejenisnya. Masyarakat wajib melapor kepada pejabat yang berwenang baik secara lisan maupun tertulis apabila mengetahui adanya pelanggaran terhadap larangan Minuman Khamar dan sejenisnya.
2. Wujud peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 adalah melapor kepada pejabat yang berwenang terdekat, apabila mengetahui adanya perbuatan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 sampai Pasal 7.
3. Dalam hal pelaku pelanggaran tertangkap tangan oleh warga masyarakat, maka pelaku beserta barang bukti segera diserahkan kepada pejabat yang berwenang.
4. Pejabat yang berwenang wajib memberikan perlindungan dan jaminan keamanan kepada pelapor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan/atau orang yang menyerahkan pelaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12.
5. Pejabat yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 apabila lalai dan/atau tidak memberikan perlindungan dan jaminan keamanan dapat dituntut oleh pihak pelapor dan/atau pihak yang menyerahkan tersangka.
Masyrakat Kota Subulussalam pada umumnya belum begitu mengetahui tentang keberadaan Qanun Nomor 12 Tahun 2003 Tentang minuman Khamar dan Sejenisnya, hal ini menunjukkan bahwa pengetahuan hukum masyarakat kota subulussalam terhadap qanun ini sangatlah rendah,terlebih-lebih lagi mengenai peran yang diamanahkan qanun ini kepada masyarakat. Karena pada dasarnya pengetahuan hukum masyarakat akan dapat diketahui bila diajukan seperangkat pertanyaan mengenai pengetahuan hukum tertentu. Pertanyaan dimaksud, dijawab oleh masyarakat itu dengan benar sehingga kita dapat mengatakan bahwa masyarakat itu telah mempunyai pengetahuan hukum yang benar.
Minimnya sosialisasi yang dilakukan oleh Dinas Syaraiat Islam kota Subulussalam terhadap qanun ini telah membuat kebanyakan masyarakat kota Subulussalam tidak mengetahui tentang peran mereka dalam mengawal setiap qanun Syariah di Subulussalam, sehingga masyarakat merasa bahwa penegakan Qanun Syariah sepenuhnya menjadi tanggung jawab WH.
Selama ini Dinas Syariat Islam telah melakukan sosialisasi terhadap Qanun Nomor 12 tahun 2003 di Kota Subulussalam, namun hasilnya kurang begitu maksimal, karena sosialisasi hanya dilakukan dalam bentuk seminar-seminar akan bahaya Minuman Keras dan Narkoba di tingkat Kota Subulussalam dan sekolah-sekolah menengah atas, hal ini tentunya membuat masyarakat tidak faham mengenai perannya karena mengingat sebagian besar masyarakat Kota Subulussalam adalah petani yang keseharianya berada di ladang atau kebun milik mereka.
Seharusnya Dinas Syariat Islam langsung terjun ke masyarakat untuk mensosialisaikan qanun ini, mengingat Kota Subulussalam yang hanya terdiri dari lima kecamatan dengan jumlah penduduk 60.298 jiwa , hal ini tentu sedikit lebih ringan bila dibandingkan dengan daerah kabupaten/kota lainya di Aceh. Sehingga masyarakat bisa tahu dan tanggap dengan konndisi yang ada, karena selama ini masyarakat juga merasa takut untuk meloporkan suatu pelanggaran kepada yang berwajib, hal ini tentunya akibat dari kurangnya sosialisasi mengenai Qanun Nomor 12 ini, karena dalam pasal 13 Qanun Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Minuman Khamar dan Sejenisnya telah di jelaskan bahwa “pejabat yang berwenang wajib memberikan perlindungan dan jaminan keamanan kepada pelapor” dengan demikian masyarakat nantinya diharapkan bisa melaporkan setiap pelanggaran kepada pihak yang berwajib tanpa ada rasa takut atau merasa keamananya terganggu.
Supaya hukum benar-benar dapat mempengaruhi perikelakuan warga masyarakat, maka hukum itu harus disebarkan seluas mungkin sehingga melembaga dalam masyarakat. Adanya alat-alat komunikasi tertentu, merupakan salah satu syarat bagi penyebaran serta pelembagaan hukum.
Komunikasi hukum tersebut dapat dilakukan secara pormal, yaitu melalui suatu cara terorganisasikan dengan resmi. Disamping itu, ada juga tata cara informal yang tidak resmi sifatnya. Inilah yang merupakan salah satu batas di dalam penggunaan hukum sebagai sarana pengubah dan pengatur perikelakuan. Ini semua termasuk apa yang dikatakan disfusi yaitu penyebaran dari unsur-unsur kebudayaan tertentu di dalam masyarakat yang bersangkutan.
Difusi hukum bersangkut paut dengan bagaimana hukum menyebar dalam masyarakat dan kemudian diketahui oleh warganya. Kiranya salah satu alat difusi yang utama adalah penerangan melalui ceramah-ceramah secara berkala ataupun tak berkala. Ceramah-ceramah tersebut dapat dilakukan secara langsung maupun tidak langsung, umpamanya melalui radio atau televise. Selain dari upaya-upaya tersebut, penerangan dapat dilakukan dengan tulisan-tulisan seperti surat kabar, majalah-majalah atau dengan selebaran.


Daftar Pustaka
Penerapan Qanun Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Minuman Khamar dan sejenisnya di wilayah hukum Kota Subulussalam "skripsi" FSH UIN Jakarta 2011

Ali Geno Brt Putra Kuta Tengah

Minimnya Perhatian Pemerintah Kota subulussalam terhadap Penegakan Syaraiah di Kota ini.

Sarana atau fasilitas amat penting untuk mengefektifkan suatu aturan tertentu, apakah aparat penegak hukum sudah dilengkapi dengan sarana dan prasarana fisik yang memadai, khususnya alat-alat tegnologi modern dalam rangka sosialisasi hukum dan mengimbangi kecendrungan-kecendrungan penyimpangan sosial masyarakat, termasuk ketersediaan sarana dan prasarana tempat menjalani pidana dan seterusnya.
Dukungan pemerintah Kota Subulussalam dalam menegakkan Qanun Nomo 12 Tahun 2003 di Kota Subulussalam sangatlah berperan besar guna untuk menunjang keberhasilan penerapan Qanun Nomor 12 ini, karena sampai saat ini kendala yang dihadapi WH dalam menegakkan Qanun Nomor 12 ini dikarenakan keterbatasan dana guna untuk menunjang operasional WH.
Menurut Nurdiati Saputri SH.I, Kasubag Tata Usaha Wilayatul Hisbah Kota Subulussalam, salah satu kendala yang mereka hadapi untuk mengontrol masyarakat dilapangan adalah keterbatasan dana sedangkan wilayah yang mereka awasi cukuplah luas dengan personil yang terbatas, saat ini anggota WH Kota Subulussalam berjumlah 40 personil dengan satu unit mobil patroli, karena menurut Nurdiati, WH hanya di tempatkan di Kota Subulussalam, beda halnya dengan kepolisian yang ada disetiap kecamatan, jadi kami harus berpatroli di lima kecamatan di Kota Subulussalam yang kami lakukan minimal dua kali dalam seminggu.
Berikut ini adalah kekurangan-kekurangan sarana/fasilitas WH Kota Subulussalam;
1. Belum memiliki kantor yang tetap.
2. Belum memiliki Pos di setiap kecamatan.
3. Kekuranagn kendaraan patroli.
4. Kekurangan personil WH.
Seharusnya para anggota WH tidak hanya ditempatkan di Kota Subulussalam, penempatan para anggota WH di tingkat kecamatan-kecamatan bahkan sampai ketingkat pedesaan sebagaimana yang telah dilakukan dikabupaten lainnya di Aceh seperti di Bireun Aceh Utara. Hal ini sangat diperlukan guna untuk mengefektifkan qanun-qanun syariah di Kota Subulussalam, tentunya kerja sama serta perhatian pemerintah sangat dbutuhkan supaya WH Kota Subulussalam dapat bekerja menjai lebih baik lagi.

Daftar Pustaka

Penerapan Qanun Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Minuman Khamar dan Sejenisnya di wilayah Hukum Kota Subulussalam "Skripsi" FSH UIN Jakarta 2011

Ali Geno Brt Putra Kuta Tengah

Dinas Syariat Islam Kota Subulussalam "Jalan ditempat"

Penegakan Suatu Qanun juga tidak akan bisa berjalan dengan baik apabila minimnya pengawasan terhadap instansi-insatnsi yang terkait dalam hal ini Dinas Syariat Islam dan Wilayatul Hisbah, dalam hal ini Ust.Yusman Afrianto, salah satu tokoh masyarakat dan da’i perbatasan Kota Subulussalam mengatakan bahwa, pengawasan terhadap program kerja Dinas Syariat Islam di Subulussalam sangat kurang dan bahkan boleh dikatakan hampir tidak ada, sehingga hal ini sangat merugikan dan bahkan menjadi beban bagi pemerintah kota Subulussalam, baik dari segi anggaran maupun sosial karena belum menghasilkan perubahan yang positif di tengah-tengah masyarakat.
Pada dasarnya Dinas Syariat Islam bertanggung jawab atas penyelenggaraan Syariat Islam di Subulussalam. Untuk itu, sejatinya Dinas Syariat Islam Kota Subulussalam harus mampu memainkan peran strategis sebagai lembaga yang berperan mengakomodir dan mensosialisasikan segala sesuatu yang berkaitan dengan kualitas keislaman di kota ini.
Dinas Syariat Islam Kota Subulussalam terkesan jalan di tempat dan tak tentu arah, sehingga tidak memberi pengaruh yang signifikan terhadap masyarakat, saat ini salah satu program dari Dinas Syariat Islam yaitu penempatan para da’i di sejumlah desa yang membutuhnkan juga sedang dalaam keadaan tidak berjalan, hal ini disebabkan ketidak jelasan dari pemerintah Kota Subulussalam, karena para da’i yang ada di Subulussalam saat ini adalah da’i dari Dinas Syariat Islam Provinsi, sehingga mengenai kelanjutanya tergantung kepada permohonan dari pemerintah kabupaten/ kota di Aceh, untuk subulussalam sendiri, pemerintah kota Subulussalam melalui Dinas Syariat Islam Kota Subulussalam belum memberikan kepastian mengenai keberadaan para da’i tersebut, sedangkan kehadiran para da’i di desa sangat dibutuhkan oleh masyarakat.
Saat ini da’i perbatasan di Subulusslam berjumlah 7 orang dari 12 orang sebelumnya, keberadaan mereka juga tidak menentu terkadang ada di desa tempat mereka bertugas tapi tidak jarang juga mereka pergi dan meninggalkan tempat kerjanya begitu saja, hal ini di sebabkan karena mereka tidak memiliki status yang jelas mengenai pekerjaanya, sehingga merekapun sering pergi guna untuk bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari apa lagi para da’i tersebut sebagian besar juga sudah berumah tangga,sehingga yang terjadi di desa binaanya adalah kepakuman, seperti terhentinya belajar agama anak-anak desa, pengajian remaja, ibu-ibu, dan bapak-bapak, hal ini tentunya akan mempengaruhi terhadap kesuksesan penerapan Syariat Islam itu sendiri.
Penempatan orang yang tidak berkompeten di bidangnya di Dinas Syariat Islam Kota Subulussalam merupakan salah satu penyebab tidak efektifnya penerapan Qanun-qanun Syariah khususnya Qanun Nomor 12 taahun 2003 di Subulussalam. Hal ini tentu saja menghambat program kerja Dinas Syariat Islam itu sendiri, seperti penempatan kepala bidang pembinaan pendidikan dayah, yang dimana orang menangani bidang ini bukanlah orang yang memilki latar belakang pendidikan sama sekali, sehingga wajar kalau kebanyakan dayah/pesatren di Kota subulussalam banayak yang kalah bersaing dengan sekolah-sekolah umum dan bahkan ada yang tutup seperti halnya Pondok Pesanten Al-Ikhlas yang berada di Desa Penanggalan, Kecamatan Penanggalan Kota Subulussalam, sebenarnya jauh sebelumnya Rasulullah SAW juga telah mengingatkan akan bahaya hal itu melalui sabdanya :
Tunggu saat kehancuran, apabila amanat itu disia-siakan. Para sahabat serentak bertanya “ Ya Rasulullah, apa yang dimaksud menyia-nyiakan amanah itu?” Nabi SAW menjawab: “ Apabila suatu urusan diserahkan kepada bukan ahlinya, maka tunggu saat kehancuran” (HR. Bukhari)

Penempatan orang yang bukan ahlinya di Dinas Syariat Islam ini juga diakui oleh salah seorang staf di Dinas Syariat Islam Kota Subulussalam yang menyatakan bahwa keberadaan orang-orang yang seharusnya tidak pantas berada di Dinas Syariat Islam, tapi kenyataannya mereka berada di Dinas Syariat Islam yang menyebabkan Dinas Syariat Islam Kota Subulussalam cenderung jalan di tempat dan belum bisa memberikan kontribusi yang berarti bagi masyarakat saat ini.
Hal diatas sangat disayangkan mengingat harapan masyarakat yang begitu besar terhadap keberadaan Dinas Syariat Islam Kota Subulussalam untuk dapat memberikan perubahan yang fositif di masyarakat.

Daftar Pustaka
Penarapan Qanun Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Minuman Khamar dan Sejenisnya di Wilayah Hukum Kota Subulussalam "Skripsi" FSH UIN Jakarta

Ali Geno Brt Putra Kuta Tengah

Kenapa Minuman Pola (Tuak) Masih Mudah ditemukan di Subulussalam ..???

Minuman tradisional Pola (Tuak) juga banyak dijumpai di warung-warung kopi dan kolam pancing di Subulussalam, minuman tuak ini adalah hasil dari produksi lokal dan ada juga yang di datangkan dari daerah tetangga yakni Sidikalang Sumatra Utara, sangat disayangkan lagi bahwa minuman tuak ini juga banyak di gemari remaja dan bahkan anak sekolah sekalipun, seperti yang dikatakan oleh Zendri , pemuda kota Subulussalam yang baru saja menyelesaikan studi SMA sebagai berikut:
“Disini banyak kok bang anak-anak sekolah setingkat SMA pada minum pola, bahkan saya juga dulu begitu kalau sehabis pulang sekolah kita sering beli pola lalu minum bersama di pinggir kali”

Dari pernyataan di atas menunjukkan bahwa banyaknya pelanggarang terhadap Qanun Nomor 12, tapi yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah, kenapa para penjual itu masih tetap ada, Apa yang membuat mereka tetap bisa menjual minuman Khamar.
Dari hasil wawancara peniliti dengan WH Kota Subulussalam, peneliti mendapatkan jawaban bahawa sebab kenapa para penjual Minuman Khamar dan Sejenisnya tetap ada di Subulusssalam dikarenakan para penjual memiliki deking, dimana para WH sendiripun kesulitan untuk memberantasnya, WH tidak bersedia untuk menyebutkan siapa yang menjadi deking bagi para penjual minuman tersebut.
“Setiap kali kami razia pasti yang penjual minuman itu tidak ada, tapi nanti setelah selesai rajia pedagang itupun pasti ada lagi, gak tau siapa yang bocorin setiap kali kami rajia kepada pedagang itu (Bahrudin padang, anggota WH Kota Subulussalam.”

Disinilah kelemahan para anggota WH, mereka kurang begitu ditakuti oleh para pelanggar-pelanggar qanun, beda halnya seperti anggota dari kepolisian,yang memiliki senjata, terlebih-lebih kalau anggota WH tersebut adalah temanya atau mungkin saudaranya, hal inilah yang membuat susahnya menegakkan Qanun syariah khususnya Qanun Nomor 12 tahun 2003 di Kota Subulussalam.

Daftar Pustaka

Penegakan Qanun Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Minuman Khamar dan Sejenisnya di wilayah Hukum Kota Subulussalam "Skripsi" FSH UIN Jakarta 2011
Ali Geno Brt Putra Kuta Tengah

Peran Wilayatul Hisbah Dan Dinas Syariat Islam Kota Subulussalam Dalam Menegakkan Qanun Nomor 12 Tahun 2003

Kasus minuman Khamar merupakan bagian dari penegakan Syariah Islam di Aceh. Asumsi munculnya larangan ini lebih kepada bahwa minuman keras akan merusak jiwa dan raga individu bahkan merusak kehidupan publik. Dalam ketiksadaranya, pelaku ini akan merugikan dan bisa berbahaya, namun kasus minuman keras jarang terlihat. Polisi Syariat lebih banyak menemukannya bergandengan dengan perjudian dan perbuatan mesum disuatu tempat dalam acara pesta tertentu.Sehingga kasus ini menjadi satu kesatuan.
Penerapan Qanun Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Minuman Khamar dan Sejenisnya di Kota Subulussalam telah berjalan selama lebih kurang delapan tahun,dimulai sejak Subulussalam masih dalam bagian dari Kabupaten Aceh singkil sampai dengan di bentuknya pemerintahan Kota Subulussalam pada tanggal 2 januari tahun 2007.
Namun dalam prakteknya dilapangan, Qanun Nomor 12 ini belum mampu menjawab dan menyelesaikan semua permasalahan yang ada di tengah-tengah masyarakat kota Subulussalam. Sehingga masyarakatpun banyak mempertanyakan fungsi dari keberadaan Wilayatul Hisbah dan Dinas Syariat Islam Kota Subulussalam sebagai instansi yang mengawasi penegakan qanun di kota ini.
Bedasarkan observasi dilapangan yang peneliti lakukan, bahwa salah satu faktor yang menyebabkan tidak efektifnya pemberlakuan Qanun Nomor 12 tahun 2003 di Kota Subulussalam adalah ketidak siapan Dinas Syariat Islam dan WH kota Subulussalam dalam mengemban fungsinya sebagai pengawas dan penegak Qanun di kota ini. Hal ini dapat dibuktikan dengan tidak ada satupun kasus yang berhasil ditangani pada tahun 2010, padahal tingkat pelanggaran terhadap Qanun Nomor 12 tahun 2003 di kota Subulussalam cukup tinggi.
Menurut Tgk,Wilada Sastra S.Sos.I, ketua Rabitah Thaliban Aceh (RTA) cabang Subulussalam dan pemerhati Syariat Islam Kota Subulussalam, menyatakan bahwa WH kurang menjalin kordinasi yang baik dengan pihak Kepolisian, sehingga mereka saling lempar tanggung jawab dan saling menyalahkan dilapangan, seharusnya, WH maupun Kepolisian bekerja sama dalam mengawal penerapan Qanun Nomor 12 dan saling merasa bertanggung jawab.
Selama ini, WH hanya bekerja sendiri dalam memberantas minuman keras walaupun dalam prakteknya setiap WH melakukan razia dilapangan selalu di damping dari pihak kepolisian, namun itu tidak lebih hanya sekedar formalitas saja, karena pada kenyataanya apabila ada pelanggaran terhadap Qanun Nomor 12 ini pihak kepolisian tidak menanggapinya dan berdalih bahwa kami tidak punya wewenang untuk menindaknya. Ditambah lagi WH terkesan tebang pilih dalam menindak pelaku pelanggaran terhadap qanun syaraiah di Kota Subulussalam.
Melihat kondisi seperti itu, maka masyarakatpun memiliki keinginan untuk membuat suatu organisasi masyarakat yang tidak ubahanya seperti FPI yang ada dipulau Jawa saat ini, hal ini merupakan bentuk kekecewaan masyarakat terhadap WH Kota Subulussalam yang tidak bisa diharapkan untuk mengendalikan pelanggaran-pelanggaran qanun syariah di Subulussalam.
Wilayatul Hisbah adalah penegak hukum yang di bentuk untuk mengawasi penerapan qanun di Aceh, di Subulussalam sendiri WH berada satu naungan dengan Satuan Polisi Pamong Praja (SATPOL PP). Memang dalam penempatanya tidak harus satu naungan dengan Dinas Syariat Islam, karena hal itu tergantung kepada kebijakan dari pemerintah kabupaten/ kota di Aceh, yang menjadi masalah sekarang ini adalah mengenai perekrutan anggota WH itu sendiri, dimana dalam perekrutanya belum ada standar yang menjadi acuan mengenai kriteria calon anggota WH. Sehingga sering sekali timbul masalah dimana penegak syariat malah melanggar syariat itu sendiri, hal inilah yang menjadi salah satu kendala dalam penegakan Qanun Nomor 12 di Kota Subulussalam.
Minimnya pembekalan dan ditambah dangkalnya pemahaman terhadap Syariat Islam telah membuat anggota WH Subulussalam kurang optimal dalam melaksanakan tugasnya dan bahkan tidak menutup kemungkinan mencoret nama baik WH itu sendiri yang berakibat hilangnya kepercayaan masyarakat.
Sebenarnya sudah tidak rahasia umum lagi kalau anggota WH juga malah melanggar apa yang seharusnya mereka tegakkan, hal ini dikatakan oleh salah seorang anggota WH kepada peneliti yang tidak mau disebutkan namanya bahwa:
“bagaimana mungkin WH menangkap orang yang minum-minuman keras, sedangkan WH sendiri juga melakukanya.”

Hal ini menunjukan bahwa minimnya pengetahuan anggota WH terhadap Syariat itu sendiri, seaharusnya standarisasi perekrutan WH di Subulussalam harus dilakukan, sehingga kedepanya para anggota WH memang benar-benar berkompten dibidangnya sebagai penegak Qanun syariah diHamzah Fansuri Kota Subulussalam.

Daftar Pustaka
Problematika Penerapan Qanun Nomor 12 Tahun 2003 tentang minuman khamar dan sejenisnya di wilayah hukum kota Subulussalam. Skripsi UIN Jakarta 2011


Ali Geno Brt Putra Kuta Tengah

Penegak Hukum atas Qanun Syariah di Aceh

Aparatur penegak hukum merupakan faktor kunci, karena dipundak merekalah terutama penegakan hukum diletakkan dalam praktik. Oleh karena itu, keberhasilan dan kegagalan penegakan hukum sangat dipengaruhi oleh kualitas penegak hukum, apakah penegak hukum itu propesional atau tidak.
Penegak hukum atau orang yang bertugas menerapkan hukum mencakup ruang lingkup yang sangat luas, sebab menyangkut petugas pada strata atas, menengah dan bawah. Artinya, di dalam melaksanakan tugas-tugas penerapan hukum, petugas seyogiyanya harus memiliki suatu pedoman, diantaranya peraturan tertulis tertentu yang mencakup ruang lingkup tugas-tugasnya.
Penegakan hukum atas qanun-qanun di NAD sudah dimulai sejak Juli 2004. Kepolisian Nasional diberi wewenang untuk menegakkan semua hukum di Aceh, termasuk peraturan-peraturan di tingkat provinsi dan kabupaten, tetapi penegak utama hukum pidana bernuansa Syariah di Aceh adalah Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP), khususnya Wilayatul Hisbah. Akan tetapi, warga sipil juga berperan langsung dalam menegakkan Perda-perda bernuansa Syariah, peranan yang secara jelas ditetapkan dalam Perda-perda tersebut.

Daftar Pustaka

Penjelasan Umum UU No. 44 Tahun 1999.
Penjelasan Umum Peraturan Daerah No. 5 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan Syari’at Islam


Ali Geno Brt Putra Kuta Tengah

Qanun Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Minuman Khamar dan Sejenisnya secara sosiologis.

Nangroe Aceh Darussalam saat ini merupakan satu-satunya provinsi di Indonesia yang memperoleh kesempatan melaksanakan Syariat Islam. Masyarakat Aceh telah melaksanakan Syari’at Islam dalam hidup keseharian, hidup kemasyarakatan, dan hidup ketatanegaraan sejak masa kesultanan dahulu, sebelum dijajah oleh Pemerintah Belanda (yang mulai menyerang Aceh pada tahun 1873), yaitu Sultan Sri Ratu Safiatuddin (memerintah tahun 1641 – 1675) dan Sultan Alaiddin Johansyah (memerintah tahun 1735 – 1760). Di era reformasi, semangat dan keinginan rakyat Aceh untuk melaksanakan Syari’at Islam bergema kembali, di samping tuntutan referendum yang juga disuarakan oleh sebagian generasi muda pada waktu itu. Para ulama dan cendekiawan muslim semakin intensif menuntut Pemerintah Pusat, agar dalam mengisi keistimewaan Aceh dapat diizinkan untuk melaksanakan Syari’at Islam dalam segala aspek kehidupan.
Masyarakat Aceh mempunyai latar belakang sejarah yang cukup panjang dalam menjadikan Islam sebagai pedoman hidupnya. Masyarakat Aceh amat tunduk kepada ajaran Islam dan mereka taat serta memperhatikan fatwa ulama, karena ulamalah yang menjadi ahli waris Nabi. Penghayatan terhadap ajaran agama Islam dalam jangka yang panjang itu melahirkan budaya Aceh yang tercermin dalam kehidupan adat. Adat itu lahir dari renungan para ulama, kemudian dipraktekkan, dikembangkan, dan dilestarikan, lalu disimpulkan menjadi “Adat bak Poteumeureuhom, Hukom bak Syiah Kuala, Qanun bak Putroe Phang, Reusam bak Laksamana” yang artinya “Hukum adat di tengah pemerintah dan hukum syari’at ada di tangan ulama”. Ungkapan ini merupakan pencerminan dari perwujudan Syari’at Islam dalam praktek hidup sehari-hari bagi masyarakat Aceh. Aceh kemudian dikenal sebagai Serambi Mekkah, karena dari wilayah inilah kaum muslimin dari wilayah lain berangkat ke tanah suci Mekkah untuk menunaikan rukum Islam yang kelima.

Daftar Pustaka

Al Yasa’ Abubakar, Sekilas Syari’at Islam di Aceh, Dinas Syari’at Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam,

Ali Geno Brt Putra Kuta Tengah

Qanun Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Minuman Khamar dan Sejenisnya secara filosofis.

Kehidupan religius rakyat Aceh dan semangat nasionalisme dalam mempertahankan kemerdekaan merupakan kontribusi yang besar dalam menegakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Masyarakat Aceh juga menjunjung tinggi adat dan menempatkan ulama pada peran yang terhormat dalam kehidupan masyarakat. Sehubungan dengan hal itu, penyelenggaraan pemerintahan daerah memerlukan adanya jaminan kepastian hukum dalam melaksanakan segala urusan daerah. Oleh karena itu, dibentuklah UU No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh, yang menjadi landasan hukum yang kuat bagi keistimewaan Aceh.
Perkembangan yang terjadi di tahun 2001 semakin memperkuat keberadaan UU No. 44 Tahun 1999, yaitu dengan diundangkannya UU No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Hal mendasar dari UU No. 18 Tahun 2001 adalah pemberian kesempatan yang lebih luas untuk mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri termasuk sumber-sumber ekonomi, menggali dan memberdayakan sumber daya alam dan sumber daya manusia, menumbuhkembangkan prakarsa, kreativitas dan demokrasi, meningkatkan peran serta masyarakat, menggali dan mengimplementasikan tata bermasyarakat yang sesuai dengan nilai luhur kehidupan masyarakat Aceh, memfungsikan secara optimal Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi NAD dalam memajukan penyelenggaraan pemerintahan di Provinsi NAD dan mengaplikasikan Syariat
Islam dalam kehidupan bermasyarakat. Selanjutnya, UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dibentuk sebagai pengganti UU No. 18 Tahun 2001 dan hasil kesepakatan damai antara Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka, yang dikenal dengan Memorandum of Understanding (MOU) Helsinki. Salah satu aspek yang menjadi bagian dari kerangka otonomi khusus di Aceh adalah pemberlakuan Syariat Islam sesuai dengan tradisi dan norma yang hidup dalam masyarakat Aceh. Pasal 126 UU No. 11 Tahun 2006 menegaskan kewajiban setiap pemeluk agama Islam yang berada di Aceh untuk menaati dan mengamalkan Syari’at Islam, sedangkan bagi orang non Islam yang bertempat tinggal atau berada di Aceh wajib menghormati pelaksanaan Syari’at Islam.
Syari’at Islam yang dilaksanakan di Aceh meliputi ibadah, ahwal alsyakhshiyah (hukum keluarga), muamalah (hukum perdata), jinayah (hukum pidana), qadha’ (peradilan), tarbiyah (pendidikan), dakwah, syi’ar, dan pembelaan Islam (Pasal 125 UU No. 11 Tahun 2006).

Daftar Pustaka

Kertas Kebijakan Materi Dialog Kebijakan Komnas Perempuan tentang Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh, Draft III/10 Oktober 2005
Konsiderans dalam Dasar “Menimbang” UU No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan
Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh.
Penjelasan Umum UU No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Propinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.


Ali Geno Brt Putra Kuta Tengah

Qanun Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Minuman Khamar dan Sejenisnya secara yuridis.

Setelah lahirnya Undang-undang Otonomi Khusus bagi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam ( Undang-undang No. 18 tahun 2001 ), dalam rangka mengimplementasikan pelaksanaan Syariat Islam di Nanggroe Aceh Darussalam yang telah menjadi kewajibannya, Pemerintah Daerah telah menetapkan pula beberapa Qanun yang berkait dengan pelaksanaan Syariat Islam, yang diantaranya adalah Qanun Nomor 12 Tahun2003 tentang Minuman Khamar dan Sejenisnya.
Qanun No. 12 Tahun 2003 tentang Khamar (minuman keras dan sejenisnya), secara substantif tidak memiliki kontradiksi dengan produk perundang-undangan lainnya. Penyebutan produk perundang-undangan lain dalam konsideran qanun ini menunjukkan bahwa qanun tersebut secara materil melandaskan diri pada produk undang-undang tersebut. Keputusan Presiden No. 3 Tahun 1997 tentang Pengawasan dan Pengendalian Minuman Beralkohol dan Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 4 Tahun 1997 tentang Larangan, Pengawasan, Penertiban, Peredaran, dan Penjualan Minuman Beralkohol di Daerah, dilihat dari sudut
Pendelegasian kewenangan penyusunan perundang-undangan, telah mengkonfirmasi bahwa Qanun Khamar tidak mengalami kontradiksi dengan undang-undang lainnya. Secara umum, materi muatan Qanun Khamar sama persis dengan isi Keppres di atas.
Perbedaan yang paling prinsip terletak pada lingkup larangannya. Keppres No. 3 Tahun1997 menyebutkan bahwa memproduksi dan mengedarkan dan mengkonsumsi masih diperbolehkan dengan syarat-syarat tertentu. Larangan mengkonsumsi juga tidak berlaku di tempat-tempat khusus, seperti hotel, bar, dan lain sebagainya. Keppres hanya tegas melarang memperjualbelikan minuman beralkohol kepada siapa saja yang masih berusia di bawah dua puluh lima tahun.
Hal itu berarti, sebenarnya tidak ada larangan meminum alkohol, sejauh mengikuti rambu-rambu yang telah ditetapkan. Sementara Qanun Khamar, secara tegas melarang kepada siapa saja (subyek hukum qanun, umat Islam yang berdomisili di Provinsi NAD) untuk meminum minuman beralkohol. Tidak hanya mengkonsumsi, badan hukum atau badan usaha juga dilarang memproduksi , menyediakan, memasukkan, mengedarkan, mengangkut, menyimpan, menimbun, memperdagangkan, menghadiahkan dan mempromosikan minuman Khamar dan Sejenisnya.
Larangan secara total yang diatur oleh Qanun Khamar juga dibenarkan oleh Keppres No. 3 Tahun 1997 itu. Di dalam Keppres disebutkan bahwa secara implisit penggunaan minuman beralkohol sepenuhnya diserahkan kepada pengaturan dan izin yang diberikan oleh Gubernur atau Bupati. Dengan demikian, sekali lagi, larangan minuman beralkohol di NAD, sebagai produk politik di tingkat lokal, memiliki justifikasi yuridis dan tidak bertentangan dengan produk perundang-undangan diatasnya.

Daftar Pustaka

Pasal 5 Keppres No. 3 Tahun 1997 “Dilarang mengedarkan dan atau menjual minuman beralkohol sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) kepada yang belum berusia 25 (dua puluh lima) tahun”.
Pasal 4-6 Qanun Khamar No. 12 Tahun 2003.



Ali Geno Brt Putra Kuta Tengah

Penegakan Hukum

Penegakan hukum (law enforcement) yang dapat dilakukan dengan baik dan efektif merupakan salah satu tolak ukur keberhasilan suatu negara dalam upaya mengangkat harkat dan martabat bangsanya dibidang hukum terutama dalam memberikan perlindungan hukum terhadap warganya. Hal ini berarti pula adanya jaminan kepastian hukum bagi rakyat, sehingga rakyat merasa aman dan terlindungi hak-haknya dalam menjalani kehidupannya. Sebaliknya, penegakan hukum yang tidak berjalan sebagaimana mestinya merupakan indikator bahwa negara yang bersangkutan belum sepenuhnya mampu memberikan perlindungan hukum kepada warganya.
Mengingat begitu pentingnya penegakan hukum tersebut, dalam sekripsi ini akan diuraikan tentang beberapa pilar yang menopang agar hukum dapat ditegakkan secara efektif, problematika dan faktor-faktor yang mempengaruhinya khususnya dalam penegakan Qanun Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Minuman Khamar dan Sejenisnya di Kota Subulussalam.
Bila membicarakan efektivitas hukum dalam masyarakat berarti membicarakan daya kerja hukum itu dalam mengatur dan/atau memaksa masyarakat untuk taat terhadap hukum. Efektivitas hukum dimaksud, berarti mengkaji kaidah hukum yang harus memenuhi syarat, yaitu berlakunya secara yuridis, berlaku secara sosiologis, dan berlaku secara filosofis. Oleh karena itu, faktor-faktor yang dapat mempengaruhi hukum itu berfungsi dalam masyarakat, yaitu (1) kaidah hukum/peraturan itu sendiri; (2) petugas/penegak hukum; (3) sarana atau fasilitas yang digunakan oleh penegak hukum; (4) kesadaran masyarakat. Hal inilah yang penulis uraikan secara berurut sebagai berikut:
A. Kaidah Hukum
Didalam teori-teori ilmu hukum, dapat dibedakan tiga macam hal, mengenai berlakunya hukum sebagai kaidah. Hal ini akan diungkapkan sebagai berikut:
1. Kaidah hukum berlaku secara yuridis, apabila penentuanya didasarkan pada kaidah yang lebih tinggi tingkatanya atau terbentuk atas dasar yang telah ditetapkan.
2. Kaidah hukum berlaku secara filosofis, yaitu sesuai dengan cita hukum sebagai nilai positif yang tertinggi
3. Kaidah hukum berlaku secara sosiologis, apabila kaidah tersebut efektif . Artinya, kaidah tersebut dapat dipaksakan berlakunya oleh penguasa walaupun tidak diterima oleh warga masyarakatnya (teori kekuasaan) atau kaidah itu berlaku karena adanya pengakuan dari masyarakat.

Daftar Pustaka

Bambang Sutiyiso, Aktualisasi Hukum Dalam Era Reformasi. Rajawali Pers, Jakarta, 2004
Jainuddin Ali, Sosiologi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2007



Ali Geno Brt Putra Kuta Tengah

Wilayatul Hisbah Sebagai Penegak Utama Hukum yang Bernuans Syariah di Aceh

Wilayatul Hisbah (yang selanjutnya disebut WH) merupakan perangkat yang memiliki tugas dan kewajiban untuk mengawal dan mengontrol pelaksanaan syariat Islam di Aceh. Keberadaannya diatur dengan qanun serta keputusan gubernur yang telah memberikan wewenang penuh kepada aparatur penegak syariat ini untuk melaksanakan seluruh proses pengawalan secara penuh dan tanpa ragu ragu.
Gubernur, Bupati/Walikota dan Camat di Aceh, sebagaimana entitas administratif lainnya di Indonesia, dapat membentuk Satpol PP untuk menegakkan peraturan terkait dengan“ketertiban publik dan ketentraman masyarakat.” UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UU PA) secara khusus memberi wewenang kepada Pemerintah Daerah Aceh untuk membentuk unit WH yang bertanggung jawab menerapkan hukum Syariah sebagai bagian dari Satpol PP. Petugas-petugas Satpol PP lainnya sesekali mengadakan patroli dan operasi bersama dengan rekan-rekannya di WH.
Semua petugas WH memiliki wewenang untuk “menegur dan menasihati, memperingatkan, dan memberikan bimbingan moral” kepada orang-orang yang mereka curigai melanggar hukum Syariah di Aceh, memberitahu pihak berwenang yang sesuai tentang kemungkinan adanya pelanggaran hukum Syariah, dan memfasilitasi penyelesaian pelanggaran Syariah melalui tata cara atau hukum adat. Petugas WH yang telah diangkat sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) memiliki wewenang tambahan, yaitu menangkap dan menahan orang-orang yang dituduh melakukan pelanggaran Syariah tertentu, hingga 24 jam dan mengadakan penyelidikan seperti layaknya polisi atas dugaan pelanggaran Syariah, termasuk mendapatkan testimoni dari saksi mata dan memerintahkan pemeriksaan medis.
Keputusan Gubernur No. 1 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Wilayatul Hisbah, yang secara resmi membentuk WH, mengatur peran WH sebagai sumber panduan dan nasihat spiritual bagi masyarakat Aceh. Qanun Nomor 12 Tahun 2003 yang mengatur tentang Minuman Khamar dan Sejenisnya, memberikan wewenang kepada WH untuk memberi peringatan dan pembinaan terlebih dahulu kepada pelaku sebelum menyerahkan laporannya kepada penyidik. Perda ini tidak memberikan wewenang kepada petugas WH untuk menangkap tersangka, melainkan menyerahkan mereka kepada Kepolisian Daerah (Polda) atau Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) jika perilaku mereka tidak berubah.

Daftar Pustaka

http://arsipkorankita.blogspot.com/2010/04/mahasiswa-nilai-pengawasan-syariat.html (diakses pada tanggal 10 Mei 2011) .
Undang-undang No. 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh, Pasal 244(1). Sejumlah pemerintah kabupaten dan kota di Indonesia telah membentuk Satpol PP. Mereka terpisah dari Kepolisian dan diberdayakan untuk menegakkan peraturan-peraturan administratif terkait ketertiban dan keamanan publik dan biasanya diberdayakan untuk mengumpulkan pajak daerah dan untuk menegakkan ketertiban publik setempat.
Undang-undang No. 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh, Pasal 244(2). Walaupun pasukan WH Aceh awalnya dibentuk di bawah otoritas Dinas Syariat Islam, WH kemudian disatukan dengan Satpol PP.
Human Rights Watch, Menegakkan Moralitas, Pelanggaran dalam Penerapan Syariah di Aceh, Indonesia. http://www.hrw.org/fr/node/94464/section/6
Pasal 17 ayat 2 Qanun Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Minuman Khamar dan Sejenisnya

Ali Geno Brt Putra Kuta Tengah

Tugas dan FungsiMhkamah Syari’ah dalam Menjalankan Peradilan di Aceh

Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2003 tentang Mahkamah Syar’iyah dan Mahkamah Syar’iyah di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam menetapkan bahwa peradilan syariat di NAD akan dijalankan oleh sebuah lembaga dalam hal ini Mahkamah Syar’iyah.
Dalam melaksanakan kewenangannya Mahkamah Syar’iyah akan melaksanakan kewenangan yang tadinya dilaksanakan oleh Pengadilan Agama, dengan demikian perkara yang tadinya diselesaikan oleh Pengadilan Agama, sekarang menjadi kewenangan Mahkamah Syar’iyah. Pengakuan pemberian kewenangan kepada Mahkamah Syar’iyah untuk menjalankan syariat juga diatur dalam Pasal 128 ayat (2) Undang-Undang No 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh yang menyebutkan: “Mahkamah Syar’iyah merupakan pengadilan bagi setiap orang yang beragama Islam dan berada di Aceh.” Adapun tugas dan fungsi dari Mahkamah Syar’iyah meliputi tugas dan fugsi di bidang justisial dan bidang non justisial.
Di bidang justisial Mahkamah Syar’iyah mempunyai tugas untuk menerima, memeriksa, dan menyelesaikan perkara antar orang Islam di bidang al-ahwal al-syakhshiyah (hukum keluarga), muamalah (perdata) dan jinayah (pidana) Pasal 49 Qanun No 10 Tahun 2002 tentang Peradilan Syariat Islam. Perkara bidang al-ahwal al-syakhshiyah meliputi masalah perkawinan, kewarisan dan wasiat . Bidang muamalah antaranya meliputi masalah jual beli, utang-piutang, qiradh (permodalan), bagi hasil, pinjam meminjam, perkongsian, wakilah, penyitaan, gadai, sewa menyewa, perburuhan. Untuk perkara jinayah termasuk perbuatan yang dapat diancam dengan jenis hukuman hudud, qishas, dan ta’zir. Di bidang jinayah kita telah mempunyai tiga qanun jinayah yaitu:
1. Qanun No 12 Tahun 2003 tentang Minuman Khamar dan sejenisnya.
2. Qanun No 13 Tahun 2003 tentang Maisir (perjudian).
3. Qanun No 14 Tahun 2003 tentang Khalwat (mesum).
Pelaksanaan tugas dan fungsi di bidang non yustisial meliputi pengawasan terhadap jalannya Mahkamah Syar’iyah (Pasal 52 Qanun No 10 Tahun 2002). Mahkamah Syar’iyah juga mempunyai tugas memberikan istbat kesaksian rukyat hilal dalam penentuan awal bulan pada bulan tahun Hijriah (Pasal 52 A, UU No 3 Tahun 2006). Selain itu, menyaksikan pengangkatan gubernur/wakil gubernur, dan bupati/wakil bupati serta memberi nasehat dan pertimbangan hukum bagi lembaga pemerintahan yang memerlukan (bila diminta).
Tugas pokok pengadilan dalam menjalankan kekuasaan kehakiman adalah menerima, memeriksa, serta mengadili setiap perkara yang diajukan kepadanya. Pengadilan mana yang berwenang untuk mengadili ditentukan oleh kewenangan mengadili dari setiap pengadilan tersebut, baik itu menyangkut dengan kewenangan mengadili secara absolute maupun relatif.
Setiap badan peradilan yang ada di Indonesia mempunyai batas kewenagan masing-masing dalam mengadili, begitu halnya untuk Mahkamah Syar’iyah di Nanggroe Aceh Darusssalam. Dalam Pasal 128 ayat (2) UU Pemerintahan Aceh disebutkan Mahkamah Syar’iyah merupakan pengadilan bagi setiap orang yang beragama Islam dan berada di Aceh. Pasal ini mengandung dua asas yaitu asas personalitas keislaman dan asas teritorial yang akhirnya melahirkan empat pedoman dalam memperlakukan Hukum Syar’iyah yaitu :
1. Untuk masyarakat muslim NAD yang melakukan tindak pidana di NAD secara otomatis Hukum Islam (qanun) diperlakukan bagi mereka.
2. Untuk masyarakat muslim lainnya (masyarakat muslim bukan Aceh) yang melakukan tindak pidana di NAD tetap diberlakukan Hukum Islam.
3. Untuk masyarakat NAD non muslim yang melakukan tindak pidana di NAD ataupun di luar NAD tidak diperlakukan Hukum Islam sama sekali.
4. Untuk masyarakat muslim NAD yang melakukan tindak pidana di NAD juga tidak diberlakukan Hukum Islam.
Lebih lanjut untuk melihat Kewenangan mengadili MS harus dilihat Pasal 3 ayat (1) UU No 11 Tahun 2003 menyebutkan:
“Kekuasaan dan kewenangan Mahkamah Syar’iyah dan Mahkamah Syar’iyah Propinsi adalah kekuasaan dan kewenangan Pengadilan Agama dan pengadilan Tinggi Agama, ditambah dengan kekuasaan dan kewenangan lain yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dalam ibadah dan syiar Islam yang ditetapkan dalam qanun”.
Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia tentang Pelimpahan sebagian Kewenangan dari Peradilan Umum kepada Mahkamah Syar’iyah di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor : KMA/070/SK/X/2004 mengatur melimpahkan sebagian kewenangan Peradilan Umum kepada Mahkamah Syar’iyah dalam perkara-perkara muamalat dan jinayah yang ditetapkan dalam qanun Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Hanya saja untuk perkara muamalat belum ada qanun yang mengatur, sehingga perkara muamalat yang diselesaikan di Mahkamah Syar’iyah sampai hari ini lebih kepada perkara-perkara yang tadinya merupakan kewenangan peradilan Agama.

Daftar Pustaka

Ainal Hadi, Hukum dan Fenomena Sosial, Aceh Justice Resource Centre

Ali Geno Brt Putra Kuta Tengah

Pelaksanaan Uqubat Qanun Nomor 12 Tahun 2003

Uqubat cambuk dilakukan oleh seorang petugas yang ditunjuk oleh Jaksa Penuntut Umum. Dalam melaksanakan tugasnya, Jaksa Penuntut Umum harus berpedoman pada ketentuan yang diatur dalam Qanun ini dan/atau ketentuan yang akan diatur dalam Qanun tentang hukum formil.
Pelaksanaan ‘uqubat dilakukan segera setelah putusan hakim mempunyai kekuatan hukum tetap. Penundaan pelaksanaan ‘uqubat hanya dapat dilakukan berdasarkan penetapan dari Kepala Kejaksaan apabila terdapat hal-hal yang membahayakan terhukum setelah mendapat keterangan dokter yang berwenang.
Uqubat cambuk dilakukan di tempat yang dapat disaksikan orang banyak dengan dihadiri Jaksa Penuntut Umum dan dokter yang ditunjuk; Pencambukan dilakukan dengan rotan yang berdiameter 0,75 s/d 1(satu) senti meter, panjang 1 (satu) meter dan tidak mempunyai ujung ganda/belah.Pencambukan dilakukan pada bagian tubuh kecuali kepala, muka, leher, dada dan kemaluan. Kadar pukulan atau cambukan tidak sampai melukai. Terhukum laki-laki dicambuk dalam posisi berdiri tanpa penyangga, tanpa diikat, dan memakai baju tipis yang menutup aurat. Sedangkan perempuan dalam posisi duduk dan ditutup kain di atasnya. Pencambukan terhadap perempuan hamil dilakukan setelah 60 (enam puluh) hari yang bersangkutan melahirkan.
Apabila selama pencambukan timbul hal-hal yang membahayakan terhukum berdasarkan pendapat dokter yang ditunjuk, maka sisa cambukan ditunda sampai dengan waktu yang memungkinkan. Pelaksanaan ‘uqubat kurungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) Pasal 26 dilakukan sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku.

Daftar Pustaka

Al Yasa’ Abu Bakar, Syariat Islam di Nangroe Aceh Darussalam, Paradigma,Kebijakan dan Kegiatan,h. 260.
Pasal 31 ayat 1 dan 2 Qanun Nomor 12 Tahun 2003.
Pasal 32 ayat 1 dan 2 Qanun Nomor 12 Tahun 2003

Ali Geno Brt Putra Kuta Tengah

Sanksi Terhadap Pelanggar Qanun Nomor 12 Tahun 2003

Dalam Pasal 26 Qanun Provinsi Nangroe Aceh Darussalam No 12 tahun 2003 dijelaskan bahwa:
1. Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 5, diancam dengan `uqubat hudud 40 (empat puluh) kali cambuk.
Yang dimaksud dengan setiap orang adalah Pemeluk agama Islam yang mukallaf di Nanggroe Aceh Darussalam.
2. Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 sampai Pasal 8 diancam dengan `uqubat ta`zir berupa kurungan paling lama 1 (satu) tahun, paling singkat 3 (tiga) bulan dan/atau denda paling banyak Rp. 75.000.000,- (tujuh puluh lima juta rupiah), paling sedikit Rp. 25.000.000,- (dua puluh lima juta rupiah).
Yang dimaksud dengan setiap orang adalah orang yang ada di Nanggroe Aceh Darussalam.
3. Pelanggaran terhadap larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 adalah jarimah hudud. Jarimah hudud adalah tindak pidana yang kadar dan jenis‘uqubatnya terikat pada ketentuan Al-Quran dan Al-Hadits.
4. Pelanggaran terhadap larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 sampai Pasal 8 adalah jarimah ta`zir. Jarimah ta’zir adalah tindak pidana yang tidak termasuk qishash-diat dan hudud yang kadar dan jenis ‘uqubatnya diserahkan kepada pertimbangan hakim.
Setiap orang yang terbukti melakukan kesalahan ( perbuatan pidana ) tersebut semuanya dijatuhi hukuman yang sama, yang dalam kasus mengkonsumsi minuman khamar adalah dicambuk 40 kali. Hakim tidak diberi izin untuk memilih ( besar kecil atau tinggi rendah ) hukuman atau menjatuhkan hukuman lain. Sedangkan bagi mereka yang memproduksi dan mengedarkannya, baik dengan cara menyimpan, menjual dan sebagainya dijatuhi hukuman ta’zir, yaitu kurungan paling lama satu tahun dan paling sedikit tiga bulan, dan atau denda paling banyak Rp 75.000.000,- ( tujuh puluh lima juta rupiah ) dan paling sedikit Rp 25.000.000,- ( dua puluh lima juta rupiah ). Karena merupakan hukuman ta’zir, maka peraturan boleh menentukan limit tertinggi dan terendahnya dan dapat menentukan alternatif antara kurungan dan denda, tetapi dapat juga berupa hukuman kumulatif, gabungan antara kurungan dan denda.
Hakim diberikan hak untuk memilih diantara berbagai kemungkinan yang disediakan oleh qanun tersebut. Sekiranya perbuatan pidana yang berkaitan dengan khamar ini dilakukan oleh badan hukum, maka hukuman akan dijatuhkan kepada penanggungjawabnya. Begitu juga badan usaha yang terbukti melakukan pelanggaran ini dapat dijatuhkan hukuman administratif berupa pencabutan atau pembatalan izin usaha.
Hal lain yang perlu diperhatikan, dalampasal 29 diatur ketentuan mengenai penambahan hukuman maksimal, bagi mereka yang mengulangi pelanggaran. Sesuai dengan ketentuan mengenai perbedaan perbuatan pidana hudud dengan perbuatan pidana ta’zir, maka penambahan hukuman ini hanya berlaku untuk ta’zir dan tidak untuk hudud. Kesimpulan ini antara lain dikukuhkan oleh pernyataan dalam qanun sendiri, bahwa penambahan sampai batas sepertiga tersebut dilakukan atas hukuman maksimal. Penggunaan istilah maksimal disini secara tidak langsung menunjukkan bahwa penambahan itu hanya untuk pidana ta’zir, karena hukuman maksimal dan minimal hanaya ada pada ta’zir, sedangkan pada hudud hanya satu hukuman, tidak ada maksimal dan minimal.

Daftar Pustaka

Qanun Propinsi Nangroe Aceh Darussalam,No 12 Tahun 2003 Tentang Minuman Khamar dan Sejenisnya.
Penjelasan atas Qanun Propinsi Nangroe Aceh Darussalam,No 12 Tahun 2003 Tentang Minuman Khamar dan Sejenisnya. Tambahan Lembaran Daerah Propinsi Nangroe Aceh Darussalam, No. 28.
Al Yasa’ Abu Bakar, Syariat Islam di Nangroe Aceh Darussalam, Paradigma,Kebijakan dan Kegiatan, Banda Aceh, Dinas Syariat Islam Provinsi NAD, 2005
Al Yasa’ Abu Bakar, Syariat Islam di Nangroe Aceh Darussalam, Paradigma,Kebijakan dan Kegiatan.

Ali Geno Brt Putra Kuta Tengah

Tujuan Pelarangan Minuman Khamar dan Sejenisnya

Qanun Nomor 12 Tahun 2003 di undangkan guna untuk melindungi masyarakat dari segala bentuk penyelewengan terhadap ketentuan-ketentuan syariat, adapun tujuan pelarangan minuman Khamar dan sejenisnya dijelaskan dalampasal 3 sebagai berikut :
a. Melindungi masyarakat dari berbagai bentuk tindakan dan/atau perbuatan yang dapat merusak akal.
b. Mencegah terjadinya perbuatan atau kegiatan yang timbul akibat minuman khamar dalam masyarakat.
c. Meningkatkan peran serta masyarakat dalam mencegah dan memberantas terjadinya perbuatan minuman khamar dan sejenisnya.

Daftar Pustaka

Qanun Nomor 12 Tahun 2003

Ali Geno Brt Putra Kuta Tengah

Ruang Lingkup Pelarangan Minuman Khamar dan Sejenisnya menurut Qanun Aceh No 12 Tahun 2003

Ruang lingkup larangan minuman khamar dan sejenisnya dijelaskan dalam Bab II Pasal 2 yaitu, segala bentuk kegiatan dan/atau perbuatan yang berhubungan dengan segala minuman yang memabukkan. Hal ini diperjelas lagi dalam ketentuan umum pada Bab I Qanun Nomor 12 Tahun 2003 yaitu:



a. Memproduksi
Yaitu serangkaian kegiatan atau proses menghasilkan, menyiapkan, mengolah, membuat, mengawetkan, mengemas, dan/atau mengubah bentuk menjadi minuman Khamar dan Sejenisnya.

b. Mengedarkan
Yaitu setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan dalam rangka penyaluran minuman Khamar dan Sejenisnya kepada perorangan dan/atau masyarakat.
c. Mengangkut
Yaitu setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan membawa minuman Khamar dan Sejenisnya dari suatu tempat ke tempat lain dengan kendaraan atau tanpa menggunakan kendaraan.
d. Memasukkan
Yaitu, setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan membawa minuman Khamar dan Sejenisnya dari daerah atau negara lain ke dalam wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
e. Memperdagangkan
Yaitu, setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan dalam rangka penawaran, penjualan atau memasarkan minuman Khamar dan Sejenisnya.


f. Menyimpan
Yaitu, menempatkan Khamar dan Sejenisnya di gudang, hotel, penginapan, losmen, wisma, bar, restoran, warung kopi, rumah makan, kedai, kios dan tempat-tempat lain. Menimbun adalah mengumpulkan minuman khamar dan sejenisnya di gudang, hotel, penginapan, losmen, wisma, bar, restoran, warung kopi, rumah makan, kedai, kios dan tempat-tempat lain.

g. Mengkonsumsi
Yaitu, memakan atau meminum minuman Khamar dan Sejenisnya baik dilakukan sendiri maupun dengan bantuan orang lain.
2. Tujuan Pelarangan Minuman Khamar dan Sejenisnya
Qanun Nomor 12 Tahun 2003 di undangkan guna untuk melindungi masyarakat dari segala bentuk penyelewengan terhadap ketentuan-ketentuan syariat, adapun tujuan pelarangan minuman Khamar dan sejenisnya dijelaskan dalampasal 3 sebagai berikut :
a. Melindungi masyarakat dari berbagai bentuk tindakan dan/atau perbuatan yang dapat merusak akal.
b. Mencegah terjadinya perbuatan atau kegiatan yang timbul akibat minuman khamar dalam masyarakat.
c. Meningkatkan peran serta masyarakat dalam mencegah dan memberantas terjadinya perbuatan minuman khamar dan sejenisnya.

Daftar Pustaka

Qanun Nomor 12 Tahun 2003 Tentang minuman Khamar dan Sejenisnya.

Ali Geno Brt Putra Kuta Tengah

Pengertian Khamar Menurut Qanun Nomor 12 Tahun 2003

Dalam BAb I Ketententuan umum angka 20 disebutkan bahwa Khamar dan Sejenisnya adalah minuman yang memabukkan apabila dikonsumsi dapat menyebabkan gangguan kesehatan, kesadaran dan daya pikir.
Di dalam penjelasan Qanun Nomor 12 Tahun 2003 disebutkan bahwa, yang dimaksud dengan sejenisnya adalah minuman yang mempunyai sifat atau kebiasaan memabukkan atas dasar kesamaan illat (sebab) yaitu memabukkan seperti bir, brendi, wiski, tuak dan sebagainya.

Ali Geno Brt Putra Kuta Tengah

Kewajiban Menegakkan Syariat Islam

Semanagat masyarakat untuk menerapkan Syariat Islam di Indonesia berkolerasi dengan prosese perjalanan sejarah, tradisi cultural,semangat untuk kaffah dalam Islam dan juga di dorong keinginan untuk memperbaiki keterpurukan hukum selama ini. Hukum Indonesia yang saat ini berlaku sudah tidak dapat dipungkiri adalah sebuah proses imperialisme sekuleristik.
Hukum yang hidup melalui tranpalantasi dari pemikiran-pemikiran barat telah diterima begitu saja oleh bangsa ini tanpa penyaringan terlebih dahulu. Ini sangat memperihatinkan, ketidak berdayaan masyarakat Indonesia diperlihatkan melalui begitu banyaknya fasilitas Barat dalam berbagai bentuk dan menyangkut kebutuhan dasar dari masyarakat Indonesia. Kita memang berdiam dalam wilayah negara dengan nama Indonesia, namun kita bukan tuan rumah di dalam rumah sendiri.
Syariah Islam bagi ummat Islam diumpamakan seperti manusia dan nyawanya, Muhammad Syaltut menjelaskan bahwa Islam merupakan ajaran yang sempurna yang meliputi keyakinan sekaligus sistem hukum, oleh karena itu mengamalkan ajaran merupakan hal yang tidak dapat di tawar lagi, artinya seorang muslim tidak memiliki pilihan lain untuk melaksanakan Syariat Islam dalam kehidupanya sebagai mana dijelaskan dalam Al-Qur’an Surat al-Baqarah ayat 208.
                
Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.

Lebih jauh dan secara tegas Sayyid Qutub dalam Tafsir Fi Zilal Al-Qur’an, “Mengikuti atau melaksanakan hukum Jahiliyah yang di buat manusia , konsekuensinya bila tidak melaksanakan hukum Allah (Hukum Islam) adalah termasuk orang yang zalim, fasik dan kafir”.
Terdapat perselisihan pandangan tidak hanya dengan orang non Muslim tapi juga antara Muslim dengan Muslim yang akibatnya gagasan penerapan Syariat Islam dalam tataran tertentu mengalami kemandulan. Paling tidak ada tiga kecenderungan/pandangan atau sikap ummat Islam terhadap penerapan Syariat Islam yaitu:
1. Kelompok skriptualis yang menginginkan hukum Islam diformalkan sebagaimana tertulis dalam teks Al-Qur’an dan Sunnah (bagi pandangan ini hukum Qishas, Potong Tangan, Rajam dan Trem lainnya seperti muamalah dan al-ahwal-syakhsiyah )
2. Kelompok Subtantilatis yang berpandangan penerapan hukum Islam tidak meski persis dengan apa yang disebutkan dalam teks Al-Qur’an dan Sunnah, Qishas, Rajam dan Potong Tangan hanyalah alternatif bagi terciptanya keadilan dan kepastian hukum di masa awal kemunculan Islam. Alasan Maqasid al-Syariah (tujuan diterapkannya hukum Islam) bisa terlaksana, maka sah-sah saja hukum yang lain diterapkan, misalnya hukuman penjara bisa menjadi pengganti hukuman potong tangan.
3. Kelompok Sekuleris yang menginginkan Islam hanyalah sebagai keyakinan saja, maka urusan selain itu (dalam hal ini hukum Islam teidak relevan dimunculkan sebagai hukum alternatif).
Menyikapi persoalan di atas dengan memandang pendapat para ulama Jumhur, “Al-Qur’an memberikan kemudahan kepada manusia untuk menjalankan perintah Allah, karena sesungguhnya Allah tidak akan memberi beban dimana manusia tidak sanggup memikulnya, namun tidak di perkenankan mencari-cari kemudahan dalam beribadah kepada Allah”. Sejauh ini pandangan Subtansialis memiliki alasan mengapa mereka berpandangan demikian, paling tidak dasar bahwa Qur’an harus dibaca secara kritis adalah alasan utama mereka, bahwa ada kecenderungan dengan apa yang di istilahkan “Islam Amerika” lahir dari kalangan ini, karena kebanyakan dari mereka adalah kaum moderen dalam Islam yang cenderung terbaratkan dan menjadi/sedikit sekuleris.
Tidak di pungkiri bahwa penegakan Syariat Islam harus disertai perubahan mendasar di berbagai aspek kehidupan masyarakat, artinya penegakan Syariat Islam secara otomatis harus di sertai perubahan lain sebagai pendukung terciptanya tujuan tersebut. Paling tidak ada dua cara dalam mewujudkan tujuan di atas tersebut yaitu, pertama, melalui perombakan yang revolusioner yaitu melaui/dimulai perombakan moral kepemimpinan melalui gerakan dan mobilisasi massa/pengerahan massa secara besar-besaran untuk merombak sistem dengan sasaran utama menetapkan seorang pemimpin yang memiliki kualitas moral dan tingkat kesalehan yang teruji sehingga dapat memimpin bangsa ini kejalan yang lebih baik. Kedua, menegakkan Syariat Islam melalui kegiatan sistematis dan bertahap yaitu mencoba mengembangkan bidang-bidang tertentu di masyarakat, untuk selanjutnya dilakukan proses Islamisasi di berbagai lapangan hukum, proses ini termasuk usaha untuk menciptakan sistem pendidikan yang Islami.

Daftar Pustaka

QanunNo. 14/2003 tentang “perbuatan bersunyi-sunyian” mengizinkan pemberlakuan hukuman cambuk antara 3-9 kali, dan/atau denda antara Rp 2,5-10 juta. Pasal 22(1). Cambuk juga diizinkan sebagai hukuman bagi kejahatan-kejahatan seperti perzinahan dan perjudian di Kabupaten Bulukumba, Provinsi Sulawesi Selatan, walaupun sepertinya hukuman ini belum sering diterapkan. Andi Hajramurni, “Makassar’s ‘sharia’ bylaws see a decline in enforcement effort [Penurunan Upaya Penegakan Perda Syariah Makassar],” The Jakarta Post, 31 Agustus 2010.
H.R Otje Salman Soemandiningrat, Anton F Susanto, Menyikapi dan Memaknai syariat Islam Secara Global dan Nasional,Bandung: Refika Aditama, 2004
Busman Edyar, dalam tulisan di Media Indonesia, tanggal 27 Juli 2001 berjudul “Sosialisasi dan tranformasi Syariat Islam”.
Lihat QS. 5: 44, 45, 47.
H.R Otje Salman Soemandiningrat, Menyikapi dan Memaknai syariat Islam Secara Global dan Nasional,

Ali Geno Brt Putra Kuta Tengah

Syariah dan Pendekatan Qanun Aceh

Dalam Islam, Syariah ( cara atau jalan ) sering diartikan sebagai seperangkat standar yang mengatur semua aspek kehidupan, dari kepatuhan agama, perbankan, hingga tingkah laku sosial yang selayaknya, yang pada intinya bersumber dari Quran, kitab utama agama Islam, dan hadits, kumpulan peribahasa dan penjelasan tentang sunah, atau teladan dan aturan normatif, dari Nabi Muhammad. Tetapi, tidak ada penafsiran tunggal atas Syariah di antara umat Muslim di seluruh dunia: terdapat berbagai perbedaan dalam penafsiran para ahli Islam tentang teladan kenabian yang mana yang asli dan keabsahan atau kelayakan menerapkan ayat-ayat tertentu secara harafiah di era modern ini. Pada awal tahun 1999, Pemerintah Indonesia dan Aceh mengadopsi pendekatan penerapan Syariah yang menekankan pada tanggung jawab negara untuk menjamin bahwa semua orang memenuhi kewajiban agamanya yang berasal dari Islam.
Paska dikeluarkannya UU No. 44 Tahun 1999, Gubernur Aceh mulai mengeluarkan peraturan-peraturan berbasis Syariah tentang berbagai isu, termasuk busana Muslim, alkohol, dan judi. Peraturan-peraturan ini tidak dijalankan oleh Pemerintah Provinsi, tetapi sejak bulan April 1999, muncul berbagai laporan yang mengatakan bahwa beberapa kelompok laki-laki di Aceh menegakkan peraturan ini secara main hakim sendiri melalui “razia jilbab,” yang menyasar pada perempuan-perempuan yang tidak mengenakan jilbab, melakukan pelecehan verbal, menggunting rambut atau pakaian mereka, dan melakukan aksi kekerasan lain terhadap mereka. Frekuensi terjadinya kejadian-kejadian semacam ini maupun penyerangan-penyerangan lainnya terhadap individu-individu yang dianggap melanggar prinsip-prinsip Syariah tampaknya meningkat paska dikeluarkannya UU No. 44/1999 dan peraturan-peraturah Gubernur terkait Syariah.
Paska pengesahan UU Otonomi Khusus pada tahun 2001, Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) mengesahkan serangkaian qanun (“peraturan daerah,” terminologi Arab yang digunakan untuk memberi ciri khas bagi semua peraturan daerah yang disahkan di Aceh, tidak hanya terbatas pada peraturan yang terkait dengan Syariah) yang mengatur tentang pelaksanaan Syariah. Lima (5) qanun disahkan antara tahun 2002-2004 yang berisi hukuman pidana atas pelanggaran Syariah: Qanun No. 11 Tahun 2002 tentang penerapan Syariah dalam aspek “kepercayaan (aqidah), ritual (ibadah), dan penyebaran (syiar) Islam,” yang meliputi persyaratan busana Islami; Qanun No. 12 Tahun 2003 melarang konsumsi dan penjualan alkohol; Qanun No. 13 Tahun 2003 melarang perjudian; Qanun No. 14 Tahun 2003 melarang “perbuatan bersunyi-sunyian”; dan Qanun No. 7 Tahun 2004 tentang pembayaran zakat.
Aturan-aturan tersebut mencakup sejumlah ketentuan yang membedakannya dari hukum pidana yang diterapkan di tempat lain di Indonesia. Kecuali perjudian, tidak ada tindak pidana semacam ini yang dilarang di luar Aceh. Tanggung jawab penegakan qanun terletak pada Kepolisian Nasional dan pasukan polisi khusus Syariah yang hanya terdapat di Aceh, atau yang dikenal sebagai Wilayatul Hisbah (WH, “Pihak Berwenang Syariah”). Semua qanun mengatur penalti, meliputi denda, hukuman penjara, dan cambuk, sebuah bentuk penghukuman yang tidak dikenal di sebagian besar daerah di Indonesia.

Daftar Pustaka

Islam di Aceh didominasi oleh aliran Sunni (Sunnah wal Jamaah), dan khususnya mengikuti mahzabShafi’i (salah satu dari empat (4) mahzab/aliran fiqh utama; lainnya adalah Hanafi, Hanbali dan Maliki).
Keputusan Gubernur No.451.1/21249 (disahkan pada tanggal 6 September 1999, mulai berlaku sejak 23 September 1999) (memerintahkan semua perempuanpegawai pemerintahan mengenakan busana Islami).
International Crisis Group, Aceh: Can Autonomy Stem the Conflict? [Aceh: Dapatkan Otonomi Membendung Konflik?], ICG Asia Report No. 18, 27 Juni 2001, h. 10. Lihat juga Perda No. 5/2000 tentang Pelaksanaan Syariah Islam. Tampaknya Perda ini tidak diberlakukan karena kurangnya dana.Ibid.
Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Peta Kekerasan: Pengalaman Perempuan Indonesia (Jakarta: 2002), hlm. 239 (mengutip laporan pada tahun 2000 tentang perempuan yang menjadi korban kekerasan “razia jilbab” yang dilakukan oleh sekelompok pemuda yang menggunting rambut mereka, menyirami mereka dengan cat, dan melakukan pelecehan seksual kepada mereka).


Ali Geno Brt Putra Kuta Tengah

BENTUK NEGARA DAN SISTEM PEMERINTAHAN DALAM ISLAM

BENTUK NEGARA DAN SISTEM PEMERINTAHAN DALAM ISLAM
Islam sebagai agama yang tidak hanya mengurusi urusan ibadah,telah dipraktekan oleh pengikutnya dalam bentuk institusi politik Negara.Semenjak wafatnya Rasulullah SAW,islam tampil dalam bentuk yang nyata sebagai institusi Negara.Dalam banyak hal,bias ditemukan kenyataan-kenyataan sejarah yang menunjuk pada eksitensi Negara,terutama semenjak berdirinya Bani Umayah hingga hancurnya Khilafah Turki Ustmani.
Dari kenyataan yang panjang sejak abad ke-7 hingga abad ke-21 M,ummat islam telah mempraktekan kehidupan politik yang begitu kaya dan beragam yang meliputi bentuk Negara dan system pemerintahan,lebih-lebih sejak terbebasnya dunia islam dari Kolonialisme Barat,dunia islam telah mempraktekan system polotik yang berbeda dengan masa lalunya.Jika dilihat dari kenyataan sejarah,ummat islam telah mempraktekan Negara kesatuan dan federal.Kedua bentuk Negara tersebut hidup dalam konteks sejarah yang berbeda sesuai dengan komdisi yang dihadapinya.
1. NEGARA KESATUAN
Negara kesatuan adalah bentuk Negara dimana wewenang kekuasaan tertinggi dipusatkan dipusat.Kekeuasaan terletak pada pemerintahan pusat dan tidak pada pemerintahan daerah.Pemerintahan pusat mempunyai wewenang untuk menyerahkan sebagaian kekuasaanya kepada daerah berdasarkan hak otonomi (Negara kesatuan dengan system desentralisasi), tetapi pada tahap terakhir kekuasaan tertinggi tetap berda pada pemerintahan pusat.
Dalam praktik sejarah politik ummat islam,sejak zaman Rasullah SAW hingga al-khulafa al-Rasyidun jelas tampak bahwa islam dipraktekkan didalam ketatanegaraan sebagai Negara kesatuan,dimana kekuasaan terletak pada pemerintahan pusat ,gubernur-gubernur dan panglima-panglima diangkat serta diberhentikan oleh khalifah. Hal ini berlangsung sampai jatuhnya Daulah Umaiyah di Damaskus.Kemudian timbul tiga kerajaan Islam yang tampaknya terpisah satu sama lain yaitu Daulah Abbasiyah di Baghdad, Daulah Umaiyah di Mesir dan Daulah Umaiyah di Andalusia. Meskipun ketiga pemerintahan itu terpisah, tetapi kaum muslimin sebagai ummat dimana saja ia berada, bahasa apa saja yang ia pakai dan kedalam kebangsaan apapun dia termasuk,dia tetap mempunyai hak-hak yang sama sebagai kaum muslimin yang lain.Oleh karena itu walaupun dunia islam pada waktu itu terpercah menjadi tiga pemerintahan akan tetapi kaum muslimin menganggap atau seharusnya menganggap ketiga-tiganya ada diwililayah darul Islam.
Zainal Abidin Ahmad menegasklan bahwa sejak berpuluh-puluh abad yang lalu, islam telah menentukan pendirianya bahwa bentuk Negara islam adalah republic.Khilafah adalah seorang presiden yang dipilih oeh rakyat. Dengan mengutip pendapat Ibnu Rusyd, pemerintah Arab klasik dizaman Islam yang pertama adalah seperti system republic dari Plato, tetapi Muawiyah meruntuhkan susunan yang baik itu, menghapuuskan segala keindahan dengan mencabut seluruh urat akarnya. Kemudian didirikan suatu emerintahan Otokrasi. Akibatnya adalah runtuhnya seluruh sendi asas pemerintahan islam dan berjangkitlah anarki dan kekacauan diseluruh negeri Andalusia.
Negara kessatuan Islam yang berbentuk republik dalam sejarah Islam awal kemudian dirubah oleh Muawiyyah menjadi Negara kesatuan islam yang berbentuk Monarki (kerajaan) dimana kepala Negara tidak lagi dipilih oleh rakyat melainkan berdasarkan keturunan.
Dalam kehidupan kenegaraan sekarang, dua model ketatanegaraan ini oleh ummat Islam dipraktekkan dibeberapa negara. Bentuk Negara kesatuan Ilam yang berbentuk republik telah dipraktekkan oleh Republik Islam Iran yang beraliran Syah dan Republik Islam Pakiistan yang beraliran Sunni.Kedua Negara ini telah menjadi contoh dari Negara kesatuan islam yang berbentuk republik .Sedangkan bentuk Negara Ikesatuan slam yang berbentuk Monarki dipraktekan oleh Arab Saudi, Jordania, Uni Emirat Arab, dan lain-lain diman pergantian kekuasaan tidak ditentukan oleh suara rakyat melainkan oleh keturunan penguasa.
2. NEGARA FEDERAL
Dalam praktek sejarah politik ummat Islam, sejak mulai lahir dizaman nabi sampai dizaman al-Khulafa al-Rasiydun, Dinasti Umaiyyah dan permulaan Abbasiyah, Negara Islam masih berbentu Negara kesatuan. Baik dimasa pemerintahan daerah masih Imarah Khasanah dizaman Nabi dan Khhalifah Abu bakar, maupun sesudah menjadi Iamarah ‘Ammah yang dimulai oleh Khalifah Umar , Negara Islam masih tetap merupakan Negara kesatuan. Tetapi, setelah pemerintahan daerah menjadi Imarah istila; barulah berubah bentuk menjadi Negara Pederasi. Muhammad Kurdi Ali mengatakan bahwa pemerintahan daerah dizaman Khalifah Mansur (Abbasiyah), masih tetap desentralisasi atau daerah otonom-otonom.
Kebetulan dizaman ini muncul suatu daerah yang ingin menjadi suatu Negara , yaitu Negara Andalusia, yang didirikan oleh Abdurrahman bin Mu’awiyah dari bani Umaiyah pada 139H/756M. Namun dinasti Umaiyah masih belum berani melepaskan diri dari wilayah Abbasiyah, yang terbukti dari ppanggilan penguasa negarranya adalah Amir yang berarti kepala Negara bagian .
Baru dizaman Khalifah Harun al-Rasyid (170-193H/789-809M), dimulai rencana pementukan Negara federasi.Dia menghadapi persoalan yang serupa dengan kakeknya, Mnsur, yakni berdirinya Negara Idrisiyah (adarisah) dimaroko pada tahun 177 H.Pada awalnya perestiwa itu disambut dengan kemarahan.Tetapi, kemudian pemerintah sendiri mengadakan rencana pembentukkan Negara-negara bagian, dengan menyetujui berdirina Negara Aglabiyah (Agalibah) di Tunis pada tahun 184 H, yang didirikan oleh Ibrahim bin Aglab.Negara ini berdiri selam satu abad, dari 184 H/ 800 M- 296 H/908M.
Rencana ini dilanjutkan kembali oleh khalifa Ma’mun (128-218H/813-833M). Diperintahkan kepada Wazir yang tercakap, Tahir bin Husen,untuk mendirikan suatu Negara bagian sebagai percobaan (model) di Khurasan dengan nama Thahiriyah dari 205H/820M-259H/872M.
Dalam sejarah muncul dua jenis Negara bagaian, yaitu Imarah Amamah tingkat Istila,yakni Negara-negara bagian yang memiliki status Negara terbatas.Kepala Negara bagian ini dinamakan amir. Dan Imarah Amamah tingkat istimewa, yang memiliki hak-hak Negara yang sangat luas, keluar dan kedalam.Kepala Negara dinamakan sultan.
B. SISTEM PEMERINTAHAN DALAM ISLAM
Adapun system pemerintahan yang pernah diperaktekan dalam islam,sangat terkait dengan kondisi kontekstual yang dialami oleh masing-masing ummat.Dalam rentang waktu yang sangat panjang sejak abad ke-7 Masehi hingga sekarang, ummat islam pernah mempraktekkan beberapa system pemerintahan yang meliputi system pemerintahan khilafah (Khalifah berdasarkan syurra dan khalifah berdasarkan Monarrki), imamah, monarki dan demokrasi.
1. SISTEM PEMERINTAHAN KHILAFAH
Khilafah adalah pemerintahan islam yang tidak dibatasi oleh wilayah teritorial,sehingga kekhalifahan islam meliputi berbagai suku dan bangsa.Ikatan yang mmempersatukan kekhalifahan adalah islam sebagai agama. Pada intinya, kekhalifahan adalah kepeminpinan umum yang mengurusi agama dan kenegaraan sebagai wakil dari Nabi SAW.Dalam bahasa Ibn Khaldun, kekhalifahan adalah kepeminpinan umum bagai kaum muslimin diseluruh penjuru dunia untuk menegakkan hokum-hukum syari’at silam dan memikul da’wah islam keseluruh dunia.Menegakkan khalifah adalah kewajiban bagi seluruh kaum muslimin diseluruh penjuru dunia.Dan menjalankan kewajiban yang demikian itu,sama dengan menjalankan kewajiban yang diwajibkan Allah bagi setiap kaum muslimin.
Berdasarkan Ijma’ Sahabat, wajib hukumnya mendirikan kekhalifahan.Setelah Rasulullah SAW wafat,mereka sepakat untuk mendirikan kekhalifahan untuk Abu Bakar, kemudian Umar, Ustman dan Ali, sesudah masing-masung dari ketiganya wafat. Para sahabat telah bersepakat sepanjang hidup mereka atas kewajiban untuk mendirikan kekhalifahan, meski mereka berbeda pendapat tentang orang yang akan dipilih sebagai khalifah, tetapi mereka tidak berbeda pendapat secara mutlak mengenai berdirinya kekhalifahan. Oleh karena itu, kekhalifahan (khilafah) adalah penegak agama dan sebagai pengatur soal-soal duniawi dipandang dari segi agama.
Jabatan ini merupakan penggati nabi Muhhammad SAW, dengan tugas yang sama, yakni memppertahankan agama dan menjalankan kepemimpinan dunia. Lembaga ini disebut khilafah (kekhalifahan). Orang yang menjalankan tugas itu disebut Khalifah.
2. KHILAFAH BERDASARKAN SYURA
Sistem pemerintahan islam berdasarka syura pernah dipraktekkan pada masa al-Khulafa al-Rasyidun ketika mereka memerintah islam dibeberapa kawasan yang didasarkan pada system musyawarah sebagai paradigm dasar kekuasaan.Abu Bakar Al-Shiddiq, umar bin al-Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib telah menjalankan system pemerintahan yang dilandasi oleh semnagat musyawarah.
Ciri yang menonjol dari system pemerintahan yang mereka jalankan terletak pada mekanisme musyawarah, bukan dengan system keturunan.Tidak ada satupun dari empat khalifah tersebut yang menurunkan kekuasaanya kepada sanak kerabatnya. Musyawarah menjadi jalan yang ditempuh dalam menjalankan kekuasaan sesuai dengan apa yang dijalankan Rasulullah SAW.
3. KHILAFAH MONARKI
Pasca berakhirnya al-Khulafa al-Rasyidun, kekhalifahan dilanjutkan oleh khalifah bani Umaiyah dengan Muawiyah bin Abu Sofyan sebagai khalifah pertama.Sejak saat itulah khilafah Islamiyah yang sudah berdasarkan syura digantikan dengan system keturunan, menjadi Negara kerajaan (monarki) mengikuti system yang diperlakukan di Persia dan Romawi.
Sisrem khilafah monarki disebut oleh Antony Black dengan Khilafah Patrimonial.Patrimonialiisme yang dimaksud disini adalah system pemerintahan yang member hak kepada pemimpin untuk menganggap Negara sebagai miliknya dan bias diwariskan kepada keluarganya (turun temurun) sementara rakyat dipandang sebagai bawahan yang berada dibawah perlindungan dan dukunganya.
Sistem monarki adalah system waris (putra mahkota) dimana singsana kerajaan akan diwarisi oleh seorang putra mahkota dari orang tuanya. Sistem monarki juga merupakan system pemerintahan yang menjadikan raja sebagai sentral kekuasan, seorang raja berhak menetapkan aturan bagi rakyatnya .Perkataan raja adalah undang-undang tertinggi yang harus ditaati.Raja memiliki hak khusus yang tidak dimiliki oleh rakyyat,raja memiliki kekebalan terhadap hokum, dan kekuasaan kenegaraanya tak terbatas.
Berubahnya khilafah berdasarkan syura menjadi monarki ini terjadi ketika Muawiyah melantik putranya Yazid sebagai khalifah atas dasar Mughirah bin Syu’bah.Sistem khilafah monarki terus berlanjut hingga kerajaan islam dipegang oleh Turki Ustmani yang timbul di Istambul pada 699 H/ 1299 M yang dipimpin oleh Ustman l yang kemudian dikenal sebagai dinasti Utsmaniyah. Dinasti ini memerintah hingga 1342H/1924M dengan khalifah terakhir Abdul Hamid ll. Tak pelak lagi sejak Dinasji Umaiyyah hingga Dinasti Utsmani, system pemerintahan Islam sudah sangat jauh dari kekhalifahan yang berbasisi syura menjadi khilafah monarki.
4. IMAMAH
Kunci utama Imamah dalam politik syi’ah adalah terletak pada posisi imam. Karena status politik dari para imam adalah bagian yang esensial dalam mazhab Syi’ah Imamiyah.Mereka dianggap penerus yang dari nabi Muhammad SAW dan mereka percaya bahwa setiap penerus harus ditunjuk oleh Allah SWT melalui nabinya.Para Imam dianggap sebagai penerus nabi dan pewaris yang sah dari otoritasnya.Hal ini bukan dikarenakan mereka dari keluarganya ,tetapi karena mereka merupakan orang-orang yang shaleh taat kepada Allah dan mempunyai karakteristik yang menjadi prasyarat untuk mengemban tingkat kepemimpinan politik agama. Demikian juga mereka tidak ditunjuk mmelalui consensus rakyat.
Imamah adalah Institusi yang dilantik secara ilahiyah,hanya Allah yang paling tau kualitas-kualitas yang diperlukan untuk memenuhi tugas ini,oleh karena itu hanya Dia-lah yang mampu menunjuk mereka. Syi’ah menganggap bahwa Imamah seperti kenabian, menjadi keperccayaan yang pundamental, dan ketaatan kepada otoritas imam adalah sebuah kewajiban agama. Meski para Imam tidak menerima wahyu ilahi, namun para imam mempunyai kulitas,tugas, dan otoritas dari nabi. Bimbingan politi dan agama dari mereka dan mereka adalah wali bagi pengikut mereka.
Konsep politik Syi’ah yang berpusat pada Imam (yang kemudian diterjemahkan menjadi wilayat al- afqih) diterjemahkan dalam periode modern dalam bentuk negarra Irean. Iran menjadi penjelmaan politik Syi’ah setelah revolusi Islam Iran tahun 1979 yang dipimpin oleh Imam Khomeini.
5. DEMOKARASI
Kata Demokrasi memiliki berbagai makna. Tetapi pada dunia modern ini penggunaanya mengandung arti kekuasaan tertinggi dalam urusan politik adalah hak rakyat. Demokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan dimana keputusan-keputusan penting pemerintah, atau garis kebijakanaan dibelakang keputusan-keputusan tersebut secara langsung atau tidak langsung, hanya dapat berlangsung jika disetujui secara bebas oleh mayoritas masyarakat dewasa yang berada dalam posisi pemerintahan.
Paling tidak ada tiga mavam bentuk demokrasi yaitu , demokarasi formal, permukaan, dan substantive.
a. Demokrasi Formal
Demokrasi formal ditaandai dengan pemilihan umum yang teratur, bebas, adil, dan kompetitif.Biasanya ditandai dengan tidak digunakanya paksaan secara berlebihan oleh Negara terhadap terhadap masyarakat, ada kebebasan sipil dan politik yang cukup untuk menjamin kompetisi dalam pemilihan umum.
b. Demokrasi Permukaan
Demokarasi Permukaan merupakan demokrasi yang umum ditetapkan di dunia ketiga. Tampak luarnya memang demokrasi tapi sama sekali tidak memiliki substansi demokrasi. Dahulu demokrasi ini lazim terdapat di Amerika latin, Timur tengah, misalnya Presiden Saddam Hussein (Iraq), Hafez al-Assad (Syria), dan Husni Mubarak (Mesir) dimana rezim penguasa tidak menginginkan demokrasi yang sebenarnya.
c. Demokrasi Substantif
Demokarasi macam ini memperluas ide demokarasi diluar mekanisme formal, ia mengintensifkan konsef dengan memasukan penekanan pada kebebasan dan diwakilinya kepentingan melalui forum public yang dipilih dan dengan partisipasi kelompok.

6. MONARKI DAN MONARKI KONSTITUSIONAL
Monarki adalah system pemerintahan yang berbentuk kerajaan, dimana yang berhak menggantikan raja adalah keturunanya. Rakyat tidak memiliki hak untuk mengggatikan kekuasaan. Titah raja harus diikuti oleh rakyatnya , sehingga ada ketundukan peneuh dari rakyat yang diperintahnya.
Tetapi ada bentuk lain dari monarki, yaitu monarki Konstitusional yang secara jelas dalam konstitusinya disebutkan sebagai Negara kerajaan. Maroko dan Jordania adalah contoh nyata dari monarki konsttitusiaonal.



DAFTAR PUSTAKA
Ibnu Syarif Mujar dan Zada Khamami.Fiqih syasah: Doktrin dan Pemikiran Politik Islam. Jakarta: Penerbit Erlangga. 2008
Taqiyuddin An Nabhani, Sistem Pemerintahan Islam – Doktrin, Sejarah dan Realitas Empirik (terjemahan), Al Izzah, Bangil, 1997

Syariat Islam Suatu keharusan Untuk Aceh

Sejarah panjang keberadaan masyarakat Aceh di bumi Nusantara, memperlihatkan mampu menata masyarakat yang unik dan egaliter dan berkeseimbangan dalam menyiapkan kehidupan duniawi dan ukhrawi. Sebuah semboyan kehidupan bermasyarakat telah menjadi pegangan umum yakni "Adat bak Po Teumeureuhom; hukom bak Syiah Kuala; Qanun bak Putro Phang; Reusam bak Laksamana" (adat dari Sultan, hukum dari Ulama, Qanun dari Putri Pahang, reusam dari Laksamana).
Semboyan ini masih dapat diartikulasikan dalam persfektif modern dalam bernegara dan mengatur pemerintahan yang demokratis dan bertanggung jawab. Tatanan kehidupan yang demikian itu, sangat memungkinkan untuk dilestarikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, di Negara Kesatuan Republik Indonesia yang menganut semboyan Bhinneka Tunggal Ika.
Dengan berlandaskan kepada dasar hukum dan nilai sejarah di atas, maka untuk Provinsi Daerah Istimewa Aceh dipandang perlu untuk mendapatkan kesempatan menyelenggarakan pemerintahan daerah dalam bentuk otonomi khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Undang-undang ini disebut "Undang-undang tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam". Undang-undang ini pada prinsipnya mengatur kewenangan pemerintahan di Provinsi Daerah Istimewa Aceh yang merupakan kekhususan dari kewenangan pemerintahan daerah, selain sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
Kewenangan yang berkaitan dengan bidang pertahanan negara merupakan kewenangan Pemerintah. Dalam hal pelaksanaan kebijakan tata ruang pertahanan untuk kepentingan pertahanan Negara Kesatuan Republik Indonesia di wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang tidak bersifat rahasia, Pemerintah berkoordinasi dengan Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Hal mendasar dari undang-undang ini adalah pemberian kesempatan yang lebih luas untuk mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri termasuk sumber-sumber ekonomi, menggali dan memberdayakan sumber daya alam dan sumber daya manusia, menumbuhkembangkan prakarsa, kreativitas dan demokrasi, meningkatkan peran serta masyarakat, menggali dan mengimplementasikan tata bermasyarakat yang sesuai dengan nilai luhur kehidupan masyarakat Aceh, memfungsikan secara optimal Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dalam memajukan penyelenggaraan pemerintahan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan mengaplikasikan syariat Islam dalam kehidupan bermasyarakat.
Untuk melaksanakan berbagai kewenangan dalam rangka kekhususan, Pemerintah membuka peluang untuk meningkatkan penerimaan Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam termasuk kemungkinan tambahan penerimaan selain yang telah diatur dalam undang-undang ini.
Undang-undang ini menempatkan titik berat otonomi khusus pada Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang pelaksanaannya diletakkan pada daerah kabupaten dan kota atau nama lain secara proporsional. Kekhususan ini merupakan peluang yang berharga untuk melakukan penyesuaian struktur, susunan, pembentukan dan penamaan pemerintahan di tingkat lebih bawah yang sesuai dengan jiwa dan semangat berbangsa dan bernegara yang hidup dalam nilai-nilai luhur masyarakat Aceh, diatur dalam Peraturan Daerah yang disebut dengan Qanun.
Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam adalah Peraturan Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, yang dapat mengenyampingkan peraturan perundang- undangan yang lain dengan mengikuti asas lex specialis derogaat lex generalis dan Mahkamah Agung berwenang melakukan uji materiil terhadap Qanun. Dalam hal pemberian otonomi khusus sebagaimana dimaksud undang-undang ini, Pemerintah berkewajiban memfasilitasi dan mengoptimalkan perannya dalam rangka percepatan pelaksanaan otonomi khusus yang diberikan kepada Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

Daftar Pustaka
Rusjdi Ali Muhammad, Revitalisasi Syari'at Islam, h. xxiv-xxv.
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4134, Bagaian Umum Penjelasan AtasUndang-Undang Nomor 18 Tahun 2001.