Kasus minuman Khamar merupakan bagian dari penegakan Syariah Islam di Aceh. Asumsi munculnya larangan ini lebih kepada bahwa minuman keras akan merusak jiwa dan raga individu bahkan merusak kehidupan publik. Dalam ketiksadaranya, pelaku ini akan merugikan dan bisa berbahaya, namun kasus minuman keras jarang terlihat. Polisi Syariat lebih banyak menemukannya bergandengan dengan perjudian dan perbuatan mesum disuatu tempat dalam acara pesta tertentu.Sehingga kasus ini menjadi satu kesatuan.
Penerapan Qanun Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Minuman Khamar dan Sejenisnya di Kota Subulussalam telah berjalan selama lebih kurang delapan tahun,dimulai sejak Subulussalam masih dalam bagian dari Kabupaten Aceh singkil sampai dengan di bentuknya pemerintahan Kota Subulussalam pada tanggal 2 januari tahun 2007.
Namun dalam prakteknya dilapangan, Qanun Nomor 12 ini belum mampu menjawab dan menyelesaikan semua permasalahan yang ada di tengah-tengah masyarakat kota Subulussalam. Sehingga masyarakatpun banyak mempertanyakan fungsi dari keberadaan Wilayatul Hisbah dan Dinas Syariat Islam Kota Subulussalam sebagai instansi yang mengawasi penegakan qanun di kota ini.
Bedasarkan observasi dilapangan yang peneliti lakukan, bahwa salah satu faktor yang menyebabkan tidak efektifnya pemberlakuan Qanun Nomor 12 tahun 2003 di Kota Subulussalam adalah ketidak siapan Dinas Syariat Islam dan WH kota Subulussalam dalam mengemban fungsinya sebagai pengawas dan penegak Qanun di kota ini. Hal ini dapat dibuktikan dengan tidak ada satupun kasus yang berhasil ditangani pada tahun 2010, padahal tingkat pelanggaran terhadap Qanun Nomor 12 tahun 2003 di kota Subulussalam cukup tinggi.
Menurut Tgk,Wilada Sastra S.Sos.I, ketua Rabitah Thaliban Aceh (RTA) cabang Subulussalam dan pemerhati Syariat Islam Kota Subulussalam, menyatakan bahwa WH kurang menjalin kordinasi yang baik dengan pihak Kepolisian, sehingga mereka saling lempar tanggung jawab dan saling menyalahkan dilapangan, seharusnya, WH maupun Kepolisian bekerja sama dalam mengawal penerapan Qanun Nomor 12 dan saling merasa bertanggung jawab.
Selama ini, WH hanya bekerja sendiri dalam memberantas minuman keras walaupun dalam prakteknya setiap WH melakukan razia dilapangan selalu di damping dari pihak kepolisian, namun itu tidak lebih hanya sekedar formalitas saja, karena pada kenyataanya apabila ada pelanggaran terhadap Qanun Nomor 12 ini pihak kepolisian tidak menanggapinya dan berdalih bahwa kami tidak punya wewenang untuk menindaknya. Ditambah lagi WH terkesan tebang pilih dalam menindak pelaku pelanggaran terhadap qanun syaraiah di Kota Subulussalam.
Melihat kondisi seperti itu, maka masyarakatpun memiliki keinginan untuk membuat suatu organisasi masyarakat yang tidak ubahanya seperti FPI yang ada dipulau Jawa saat ini, hal ini merupakan bentuk kekecewaan masyarakat terhadap WH Kota Subulussalam yang tidak bisa diharapkan untuk mengendalikan pelanggaran-pelanggaran qanun syariah di Subulussalam.
Wilayatul Hisbah adalah penegak hukum yang di bentuk untuk mengawasi penerapan qanun di Aceh, di Subulussalam sendiri WH berada satu naungan dengan Satuan Polisi Pamong Praja (SATPOL PP). Memang dalam penempatanya tidak harus satu naungan dengan Dinas Syariat Islam, karena hal itu tergantung kepada kebijakan dari pemerintah kabupaten/ kota di Aceh, yang menjadi masalah sekarang ini adalah mengenai perekrutan anggota WH itu sendiri, dimana dalam perekrutanya belum ada standar yang menjadi acuan mengenai kriteria calon anggota WH. Sehingga sering sekali timbul masalah dimana penegak syariat malah melanggar syariat itu sendiri, hal inilah yang menjadi salah satu kendala dalam penegakan Qanun Nomor 12 di Kota Subulussalam.
Minimnya pembekalan dan ditambah dangkalnya pemahaman terhadap Syariat Islam telah membuat anggota WH Subulussalam kurang optimal dalam melaksanakan tugasnya dan bahkan tidak menutup kemungkinan mencoret nama baik WH itu sendiri yang berakibat hilangnya kepercayaan masyarakat.
Sebenarnya sudah tidak rahasia umum lagi kalau anggota WH juga malah melanggar apa yang seharusnya mereka tegakkan, hal ini dikatakan oleh salah seorang anggota WH kepada peneliti yang tidak mau disebutkan namanya bahwa:
“bagaimana mungkin WH menangkap orang yang minum-minuman keras, sedangkan WH sendiri juga melakukanya.”
Hal ini menunjukan bahwa minimnya pengetahuan anggota WH terhadap Syariat itu sendiri, seaharusnya standarisasi perekrutan WH di Subulussalam harus dilakukan, sehingga kedepanya para anggota WH memang benar-benar berkompten dibidangnya sebagai penegak Qanun syariah diHamzah Fansuri Kota Subulussalam.
Daftar Pustaka
Problematika Penerapan Qanun Nomor 12 Tahun 2003 tentang minuman khamar dan sejenisnya di wilayah hukum kota Subulussalam. Skripsi UIN Jakarta 2011
Ali Geno Brt Putra Kuta Tengah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar