Cari Blog Ini

Selasa, 02 Februari 2010

SEJARAH PERTUMBUHAN, PERKEMBANGAN, DAN PENGKODIFIKASIKAN QAWA’ID FIQHIYYAH

Sejarah perkemabangan hokum islam (tarikh al-tasyri’ al-islami) tidak menguraikan qawa’id fiqhiyyah secara komperhensif (menyeluruh). Kitab-kitab sejarah perkembangan hokum islam tidak mengkaji qawaid fiqhiyyah, apalagisampai menjelaskan kegunanaan (urgensi) dan kedudukannya dalam hokum islam. Dengan demikian, penelusuran terhadap sejarah pertumbuhan, perkembangan, dan pengkodifikasian qawaid fiqhiyyah sangat pentin dilakukan. Penelusuran tersebut, sedikit banyak akan dapat memberikan kejelasan tentang kegunaan (urgensi) dan kedudukan qawa’id fiqhiyyah dalam hokum islam. Begitu juga, tenteng latar belakang sejarah perkembangan hokum islam tidak mengkaji qawa’id fiqhiyyah secara menyeluruh.
Menurut Ali Ahmad al-Nadawi, perkemabngan qawa’id fiqhiyya dapat dibagi kedalam tiga fase berikut:
1. Fase pertumbuhan dan pembentukan;
2. Fase perkembangan dan pengkodifikasikan;
3. Fase pemantapan dan pesistematisan.

A. Fase Pertumbuhan dan Pembentukan Qawa’id Fiqhiyyah

Pada periode Nabi Muhammad, otoritas tertinggi dalam pengambilan hokum dipegang oleh Nabi. Semua persoalan yang ada di tengah masyarakat bisa dijawab dengan sempurna oleh teks primer (al-Qur’an) dan hadist Nabi. Term “fiqh” pada masa itu dugunakan untuk menunjukan segala sesuatu yang dipahami dari teks al-Qur’an dan as-Sunnah, baik persoalan akidah maupun hokum dan adab.
Masa kerasulan dan masa tasyri’ (pembentukan hokum islam) merupakan embrio kelahiran qawa’id fiqhiyyah. Nabi Muhammad SAW menyampaikan hadits-hadits yang singkat dan padat. Hadist –hadits itu dapat menampung masalah-masalah fiqh yang sangat banyak jumlahnya. Dengan demikian, hadits Nabi Muhammad SAW di samping sebagai sumber hokum, juga sebagai qawa’aid fiqhiyyah. Beberapa hadits Nabi yang singkat dan padat mendukung stetment ini, diantaranya adalah sebagai berikut:
1. الخرج بالضمان (hak menerima hasil karena harus menanggung kerugian)
2. العجماء جرحها جبار ( kerusakan yang dibuat oleh kehendak binatang sendiri tidak dikenakan ganti rugi), dll
Ibnu Taimiyah (w. 728 H), setelah menyampaikan hadits riwayat Ahli Sunan menyatakan , dengan hadits jawami’ al-kalim (singkat padat) Nabi Muhammad SAW menjelaskan bahwa segala sesuatu yang dapat menghilangkan dan mengacaukan akal (adalah) haram. Nabi tidak membeda-bedakan jenisnya, apakah benda tersebut berjenis makanan atau minuman. Ini adala ketetapan Nabi Muhammad SAW, yaitu hokum meminum minuman yang memabukkan adalah haram.
Atsar (pernyataan) sahabat yang dapat dikatagorikan jawami’ al-kalim dan qawa;id fiqhiyyah diantaranya adalah sebagai berikut:
1. pernyataan Umar bin Khatab ra (w.23 H) yang diriwayatkan oleh al-Bukhari (w. 256 H) dalam kitabnya Shahih al-Bukhari: مقاطع الحقوق عند الشروط (penerimaan hak bdasarkan kepada syarat-syarat)
2. pernyataan Ali bin Abi Thalib ra (w. 40 H) yang diriwayatkan oleh Abd al-Razaq (w.211 H) :من قاسم الزبح فلا ضمان عليه (orang yang membagi keuntungan tidak harus menanggung kerugian).
Atsar Umar bin Khatab ra di atas menjadi kaidah dalam masalah syarat. Atsar Ali bin Abi Thalib menjadi kaidah yang subur dalam bidang persoalan harta benda, seperti mudharabah dan syirkah.
Di bawah ini beberapa kaidah yang timbul pada masa tabi’in dan para imam mujtahid:
1. Pernyataan Qadhi Syuriah bin Haris al-kindi (w. 76 H), seperti; الناتج اولى من العارف (orang yang membantu kelahiran binatang (natij) lebih utama dari pada orang yang mengaku pemiliknya)
2. Pernyataan Muhammad bin al-Hasan al-Syaibani (w.189 H) yaitu; apabila seseorang mempunyai wudhu, kemudian timbul keraguan dalam hatinya, apakah ia sudah hadats (batal) atau belum, dan keraguan ini lebih besar dalam pikirannya; lebih baik ia mengulangi waudhunya. Apabila ia tidak mengulangi wudhu dan sholat beserta keraguaannya itu, menurut kami boleh, karena ia masih mempunyai wudhu sehingga ia yakin bahwa ia telah hadats (batal). Apabila seorang muslim terpercaya atau muslimah yang terpercaya, merdeka maupun tidak, memberi tahu bahwa ia telah hadats (batal), tidur terlentang, atau pingsang;ia tidak boleh melaksanakan shalat (sebelum mangulangi wudhu). Pernyataan al-Syaibani tersebut di atas seperti kaidah: اليقين لا يزول بالشك (keyakinan tidak dapat menghilangkan keraguan) .
3. Pernyataan Imam Syafi’I dalam kitabnya al-Umm, diantaranya الأعظم اذا سقط عن الناس سقط ما هو أصغر منه (apabila yang besar gugur, yang kecilpun gugur)
4. Pernyataan Ahmad bin Hambal (w.241 H) yang dikemukakan abu Daud dalam kitabnya al-Masail diantranya كل ما جاز فيه البيع تجوز فيه الهبة والصدقة والرهن (setiap perkara yang boleh diperjualbelikan boleh pula dihibahkan, disodaqohkan, digadaikan)
Dari uraian di atas dapat ditarik beberapa pernyataan berikut ini:
1. Kaidah fiqh telah ada semenjak masa Ulama Mutaqaddimin (abad 1, 2, 3 H) meskipun belum dikenal sebagai kaidah dan belum menjadi satu disiplin ilm tersendiri.
2. Perkembangan qawa’id fiqhiyyah dapat ditelusuri lewat pernyatan-pernyatan para ulama di atas, karena mereka adalah rujukan pertama ilmu ini.
3. Beberapa kaidah yang dibentuk para ulama mutaqaddimin, terutama apa yang disampaikan oleh Imam Ahmad bin Hambal dan Imam Syafi’I , merupakan beberap kaidah ulama mutakhirin.
4. atsar dan pernyataan para ulama mutaqaddimin menjadi rujukan ulama mutakhirin dalam membentuk, mangumpulkan, dan mengkodifikasikan qawa’id fiqhiyyah .
Dengan demikian, peletakan batu pertama pembentukan qawa’id fiqhiyyah telah dimulai sejak tiga kurun pertama (ke-1. 2. dan 3 H), meskipun dalam bentuk yang sederhana. Ini karena pada saat itu qawaid fiqhiyyah belum begitu perlu dibentuk menjadi sebuah disiplin ilmu tersendiri.

B. Fase Perkembangan dan Pembukuan Qawa’id Fiqhiyyah

Awal mula qawaid fiqhiyyah menjadi disiplin ilmu tersendiri dan dibukukan terjadi pada abad ke 4 H dan terus berlanjut pada masa setelahnya. Hal ini terjadi ketika kecenderungan taqlid mulai tampak dan semangat ijtihad telah melemah karena saat itu fiqh mengalami kemajuan yang sangat pesat. Hal ini berimbas terhadap terkotak-kotaknya fiqh dalam madzhab.dan ulama pada saat itu merasa puas dengan perkembangan yang telah dicapai oleh fiqh pada saat itu. Pembukuan fiqh dengan mencantumkan dalil beserta perbedaan-perbedaan pendapat yang terjadi diantara madzhab sepertinya telah memuaskan mereka, sehingga tidak ada pilihan lain bagi generasi setelahnya kecuali merujuk pada pendapat-pendapat madzhab itu dalam memutuskan dan menjawab persoalan-persoalan baru. Berkaitan dengan ini, Ibnu Khaldun berkata dalam muqaddimahnya:
“ketika madzhab-madzhab telah dijadikan ilmu yang tersendiri oleh para pengikutnya, dan tidak ada kesampatan untuk melakukan ijtihad dan mengaplikasikan
metode qiyas, maka mereka hanya menyamakan persoalan-persoalan baru yang pernah dibahas oleh pendiri dan pemuka madzhab, baru mereka membahas masalah-masalah itu bedasarkan ketentuan yang telah ditetapkan oleh madzhab”
Menjawab beberapa persoalan fiqh dengan menggunakan metode seperti ini rupanya menyebabkan fiqh menjadi semakin berkembang pada saat itu, cakupan wilayahnya menjadi luas dan mampu menjawab seluruh persoalanya. Pada saat itulah para ahli fiqh membuat metode baru mula-mula metode ini diberi nama dengan;
1. al-Qawa’id atau ad-Dlawabid
2. al-Faruq
3. al-Alghaz
4. muthorohat
5. Ma’rifat al-Afrod
6. al-Hiyal
dan nama-nama lain yang termasuk menjadi istilah dalam ilmu fiqh. Setelah itu, para ahli fiqh menjelaskan maksud dari istilah-istilah di atas.
Ketika hokum furu’ dan fatwa para ulama semakin berkembang seiring dengan semakin banyaknya persoalan, para ulama mempunyai inisiatif untuk membuat kaidah dan dhabit yang dapat memelihara hokum furu’ dan fatwa para ulama tersebut dari kesemerawutan. Hal inilah yang dilakukan oleh Abu Hasan al-Karkhi (w.340 H) dalam risalahnya (ushul al-Karkhi). Dan Abu Zaid al-Dabbusi (w.430 H) dalam kitabnya Ta’sis al-Nadhar dengan memakai istilah ushul. Apabila ushul tersebut mencakup berbagai masalah fiqh, maka disebut kaidah, sedangkan kalau hanya mencakup satu masalah fiqh , disebut dhabit.
Pada abad ke-7 H qawa’id fiqhiyyah mengalami perkembangan yang sangat signifikan walaupun terlau dini untuk dikatakan matang. Diantara ulama yang menulis kitab qawa’id pada abad ini adalah al-‘Allamah Muhammad bin Ibrahin al-Jurjani al Sahlaki (w.613 H) ia menulis kitab dengan judul “al-Qawa’id fi Furu’I al- Syafi’iyah” , kemudian al-Imam Izzudin Abd al-Salam (w. 660 H) menulis kitab “Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam” yang sempat menjadi kitab terkenal. Dari kalangan madzhab Maliki Muhammad bin Abdullah bi Rasyid al-bakri al-Qafshi (685 H) menulis “al-Mudzhb fi Qawa’id al-Madzhab” dan masih banyak lagi.
Karya-karya ini menunjukan bahwa qawa’id fiqhiyyah menglami perkembangan yang pesat pada abad ke-7 H. Qawa’id fiqhiyyah pada abad ini nampak tertutup namun sedikit demi sedikt mulai meluas.
Pada abad ke-8 H, ilmu qawaid fiqhiyyah mengalami masa keemasan, ditandai dengan banyaknya bermunculannya kitab-kitab Qawa’if fiqhiyyah. Dalm hal ini, ulama Syafi’iyyah termasuk yang paling kreatif. Diantara karya-karya besar yang muncul dalam abad ini adalah:
1. al-Asyabah wa an-Nadhair karya Ibnu al-Wakil al-Syafi’I (w.716 H)
2. kitab al-Qawa’id karya al-Maqqari al-Maliki (w. 758 H)
3. al-Majmu’ al-Mudzhab fi Dhabt al-Madzhab karya al-‘Alai al-Syafi’I (w.761 H)
4. dll
Karya-karya besar yang mengkaji qawa’id fiqhiyyah yang disusun pada abad IX H banyak mengikuti metode karya-karya abad sebelumnya. Diatara karya-karya tersebut adalah:
1. Kitab al-Qawa’id karya Ibnu al-Mulaqqin (w. 840 H)
2. Asnal Maqashid fi Tahrir al-Qawa’id karya Muhammad bin Muhammad al-Zubairi (w. 808 H)
3. kitab al-Qawa’id karya Taqiyuddin al-Hishni (w. 829 H)
4. dll
Dengan demikian, ilmu qawa’id fiqhiyyah berkembang secara berangsur-angsur. Pada abad VIII H, perkembangan ini qawa’id fiqhiyyah terbatas hanya pada penyempurnaan hasil karya para ulama sebelumnya, khususnya di kalangan ulama Syafi’iyah. Hal ini dapat dilihat misalnya pada kitab Ibnu al-Mulaqqin dan Taqiyuddin al-Hishni.
Pada abad X H, pengkodifikasian qawa’id fiqhiyyah semakin berkembang. Imam al-Suyuti (w. 911 H) telah berusaha mengumpulkan qaidah fiqhiyyah yang paling penting dari karya al-‘Alai, al-subaki, dan al-zarkasyi. Ia mengumpulkan kaidah-kaidah tersebut dalam kitabnya al-Asybah wa al-Nadhai. Kitab-kitab karya ketiga tokoh ulama tersebut masih mencakup qawa’id ushuliyah dan qawa’id fiqhiyyah, kecuali kitab karya al-Zarkasyi.
Pada abad XI dan XII H, ilmu qawa’id fiqhiyyah terus berkembang. Dengan demikian, fase kedua dari ilmu qawa’id fiqhiyyah adalah fase perkembangan dan pembukuan. Fase ini ditandai dengan munculnya al-Karkhi dan al-Dabbusi. Para ulama yang hidup dalam rentang waktu ini (abad IV-XII) hamper dapat menyempurnakan ilmu Qawa’id fiqhiyyah.

C. Fase Pemantapan dan Penyepuranaan

Pengkodifikasian qawa’id fiqhiyyah mencapai puncaknya ketikan disusun Majallat al-Ahkam al-‘Adliyyah oleh komite (lajnah) Fuqaha pada masa Sultan al-Ghazi Abdul Azis Khan al-Utsmani (1861-1876 M) pada akhir abad XIII H. Majallat al-Ahkam al-‘Adliyyah ini menjadi rujukan lembaga-lembaga peradilan pada masa itu.
Kitab Majallat al-Ahkam al-‘Adliyyah, yang ditulis dan dibukukan setelah diadakan pengumpulan dan penyeleksian terhadap kitab-kitab fiqh, adalah suatu prestasi yang gemilnag dan merupakan indikasi pada kebangkitan fiqh pada waktu itu. Para tim penyusun kitab itu sebelumnya telah mengadakan penyeleksian terhadap kitab-kitab fiqh, lalu mengkonstruknya dalam bahasa undang-undang yang lebih bagus dari sebelumya. Kitab Majalllat al-Ahkam al-‘Adliyyah inilah yang menyebabkan qaidah fiqh semakin tersebar luas dan menduduki posisi yang sangat penting dalam proses penalaran hokum fiqh. Setelah mengamati sejarah dari perjalanan qawa’id fiqhiyyah mulai dari masa kemunculannya sampai kematangannya, dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Qa’idah-qa’idah yang terdapat dalam lembaran-lembara kitab fiqh yang ditulis oleh para pendiri dan pemuka madzhab seluruhnya bukan berupa qa’idah umum, namun masih dalam bentuk qa’idah madzhab. Dalam artian, qa’idah itu hanya sesuai pada suatu maszhab tertentu tidak pada madzhab lain.
2. sebagian besar kaidah yang dibukukan pada abad-abad belakang atau sekarang, ternyata telah dikemukakan oleh para ulama sebelumnya dengan redaksi yang berbeda. Misalnya dalam Majallat al-Ahkam al-‘Adliyyah ada kaidahالاقرار حجة قاصرة (pengakuan adalah hujjah yang terbatas). Dengan redaksi yang berbeda, kaidah ini telah dkemukakan al-Karkhi dalam kitabnya Risalah al-Karkhi (ushul al-karkhi) sebagai berikut: ان المرء يعامل فى حق نفسه كما اقربه ولا يصدق على ابطال حق الغير ولا بالزام الغير حقا(orang menggunkan hak pribadi sesuai dengan pengakuannya. Ia tidak dapat membatalkan hak orang lain atau menetapkan hak kepadanya).
3. babarapa kaidah perlu diformat ulang redaksinya dengan yang lebih sempurna. Ini karena boleh jadi kaidah tersebut masih kurang mencakup atau masih bersifat umum, sehingga perlu disempurnakan atau dibatasi. Misalnya, kaidah لا ينكر تغير الاحكام بتغير الزمان (tidak ditolak perubahan hokum karena perubahan zaman). Para Fuqaha dan ahli ushul sepakat bahwa hokum yang dapat berubah karena perubahan zaman dan adapt adalah hokum ijtihadi yang dibiarkan seperti itu, akan menjadi kesalah pahaman. Dengan demikian, redaksi tersebut lebih baik ditambah atau diganti dengan yang labih jelas, seperti لا ينكر تغير الاكامالمبينة على المصلحة والعرق بتغير الزمان (tidak ditolak perubahan hokum yang dibangun oleh kemaslahatan dan ‘urf kerena perubahan zaman).
4. Qawa’id fiqhiyyah terbentuk menjadi sebuah disipli ilmu tersendiri secara berangsur-angsur. Di samping itu dalam pembuatannya pun para fuqaha membentuknya secara bertahap. Pada awalnya, hanya berupa pemikiran tentang suatu persoalan, keudian setelah pemikiran tersebut mantap, baru mereka bentuk menjadi sebuah Qaidah.

Ali Geno Brt Putra Kuta Tengah

1 komentar:

  1. menarik, boleh bagi rujukan tentang article di atas.. nk buat tesis..

    BalasHapus