Cari Blog Ini

Selasa, 02 Februari 2010



TIRKAH
A. Definisi
Tirkah menurut bahasa adalah masdar berma’na maf’ul yang berarti matrukah (sesuatu yang ditinggalkan).
Tirkah menurut istilah, ada beberapa pendapat:
1. Seluruh yang ditinggalkan mayyit, berupa harta dan hak-hak yang tetap secara mutlak.
2. Pengarang kitab al-‘adzab al-fa’idh, sesuatu yang ditinggalkan oleh mayyit, berupa harta, diyat yang diambil dari pembunuhnya, karena masuk dalam kategori harta miliknya menurut perkiraan atau berupa hak.
3. Segala apa yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal yang dibenarkan oleh syariat untuk diwarisi oleh ahli warisnya.
4. Menurut Rifa’I Arif
التركة هى ما خلفه الميت من مال او حق
“ Tirkah adalah apa-apa ang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia berupa harta maupun hak”.
5. Pendapat yang termasyhur dari fuqaha Hanafiyah, tirkah ialah: harta benda yang ditinggalkan simayit yang tidak mempunyai hubungan hak dengan orang lain, tirkah ini harus dikeluarkan untuk memenuhi hak biaya perawatan, hak perlunasan hutang, hak wasiat dan hak ahli waris.
Jadi, bisa kita simpulkan bahwa tirkah adalah segala sesuatu yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal yang masuk kategori harta miliknya serta dibenarkan oleh syariat untuk diwarisi oleh ahli warisnya, baik berupa harta maupun hak.
Menurut Jumhur, hak dan materi termasuk tirkah من ترك حاقا او مالا فهو لورثه Hanafiah hak bukan tirkah من ترك مالا فهو لورثه .
Apa-apa yang ditinggalkan dari pewaris harus diartikan secara luas, mencakup di dalamnya:
1. kebendaan dan sifat-sifat yang mempunyai nilai kebendaan
2. hak-hak kebendaan
3. hak-hak yang bukan kebendaan
4. benda-benda yang bersangkutan dengan orang lain

HUTANG
Dalam pandangan islam, hutang simayit tidak menjadi warisan atau tidak dibebankan kepada ahli waris, akan tetapi ahli waris hanya membantu membayarkan hutangnya simayit dengan hartanya simayyit.
Terdapat hadits Nabi SAW dari Abu Hurairah menurut riwayat bukhari muslim yang mengatakan bahwa Beliau akan membayarkan, maka dapat dipahami bahwa kekurangan harta pembayaran hutang itu dibebankan kepada baitul mal.
Pembayaran hutang itu didahulukan dari pada membagikan harta warisan kepada ahli waris, sebab terdapat hak orang lain didalam harta peninggalan simayit.
Ada dua macam hutang:
Hutang keepada Allah, seperti haji (niat pergi waktu masih hidup), nadzar, membayar kifarat
Hutang kepada manusia, seperti hutang uang.
Tetapi hutang mana yang harus didahulukan membayarnya? Ulama berbeda pendapat Ibn Hazm, bahwa hutang kepada Allah yang harus didahulukan, sesuai firman Allah
من بعد وصية يوصى بها اودين...
“sesudah diambil wasiat yang diwasiatkan atau sesudah dibayar hutang”. Ayat tersebut masih umum, didalamnya termasuk hutang pada Allah dan manusia. Ayat tersebut ditakhsis dengan hadist nabi
فدين الله احق ان يقضى
“maka hutang kepada Allah itu lebih baik untuk dibayar”.

Fuqaha Hanafiah, hutang pada Allah telah gugur akibat kematian seseorang, karena seseorang kehilangan kemampuan dan pembebanan sebab kematian.

Fuqaha Malikiyah, hutang pada manusia harus didahulukan, sebab manusia lebih butuh sedangkan Allah adalah dzat yang kaya dan tidak butuh harta.
Ulama Syafi’iyah, hutang pada Allah harus didahulukan, sesuai sabda Nabi: “hutang pada Allah lebih utama dilunasi.”
Ulama Hanbilah, hutang kedapa Allah dan manusia itu sama
Apakah masa membayar hutang jatuh tempo karena matinya yang berhutang. Dalam hal ini terdapat 3 pendapat:
1. Jumhur, hutang tidak jatuh tempo dengan matinya yang berhutang
2. Golongan Hanabilah dan Tabi’in, hutang tidak jatuh tempo dengan matinya salah satu pihak, tetapi ditentukan dengan perjanjian yang telah ditetapkan di surat perjanjian
3. Gholongan Dhohiriyah, hutang harus dibayarkan apabila salah satu pihak meninggal

WASIAT
Wasiat adalah memberikan sesuatu kepada seseorang (yang bukan ahli warits) yang dipilih oleh orang yang meninggal, tanpa mengharapkan imbalan apa-apa, baik berupa benda maupun ma’rifat
Sebenarnya ketentuan wasiat harus diberikan kepada siapa saja sudah dijelaskan dalam surat Al-Baqaroh ayat 180:
كتب عليكم اذا حضر احدكم الموت ان ترك خيرا الوصية للوالدين والاقربين بالمعروف حقا على المتقين
“diwajibkan atas kamu, apabila ada seseorang kamu keddatangan kematian, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk orang tua dan kerabat, ini adalah kewajiban atas orang-orang yang bertaqwa” (Al-Baqorah 180)
Akan tetapi, pelaksanaan surat Al-Baqoroh ayat 180 dibatasi dengan hadits Nabi dari Umamah, riwayat Al-Khomsah yang berbunyi:
لا وصية لوارث
“tidak ada wasiat untuk ahli warits”
Ulama sepakat mengamalkan hadits tersebut, akan tetapi jika permasalahannya jika semua ahli waris sepakat wasiat kepada ahli waris, maka wasiat itu bisa dilaksanakan. Sesuai dengan hadits Nabi “wasiat tidak boleh ditujukan kepada ahl waris, melainkan bila semua ahli waris menghendaki” (H.R. Daruqutni)
Adapun wasiat dilaksanakan dengan jumlah maksimal 1/3 dari harta warisan, sebagaimana Hadits Nabi “jika manusia mengganti sepertiga menjadi seperempat bagian, sesungguhnya Nabi SAW bersabda “sepertiga, karena sepertiga itu banyak”” (H.R. Mutafaq Alaih)
Para ulama berselisih pendapat tentang kapan pelaksanaan wasiat;
1. Pendapat masyhur dikalangan Hanabilah, wasiat hendaklah dilaksanakan setelah kematian
2. Pendapat yang paling kuat, wasiat dapat dilaksanakan pada saat yang memberi wasiat sakit keras.

Ali Geno Brt Putra Kuta Tengah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar