Cari Blog Ini

Selasa, 02 Februari 2010

HUKUM PERDATA


I. PENGERTIAN DAN SISTEMATIKA
A. PENGERTIAN :
Hukum Perdata adalah hukum yang mengatur hubungan hukum antara perorangan didalam masyarakat ; misalnya : Hubungan jual beli, sewa menyewa, tukar-menukar, warisan dsb.
Disamping hukum perdata atau hukum sipil/ privat , adalah hukum publik yang meliputi hukum pidana dan hukum tata negara, yang mengatur kepentingan-kepentingan umum.
.
1. ARTI LUAS DAN SEMPIT :
Hukum perdata dalam arti luas termasuk hukum dagang, yang sebetulnya hukum dagang adalah merupakan perdata khusus, karena mengatur hubungan yang khusus yaitu mengenai perniagaan. Hukum perdata dapat diartikan dalam arti sempit, yaitu tanpa hukum dagang .

2. ARTI MATERIIL DAN FORMIL
Hukum perdata materiil :
Hukum perdata yang membebankan hak dan kewajiban dari perseorangan yang satu terhadap yang lain di dalam pergaulan hidup di masyarakat dan didalam hubungan kekeluargaan.
Hukum perdata formil:
Serangkaian dari aturan aturan hukum yang mengatur cara-cara bagaimana orang mempertahankan hukum perdata materiil bila terjadi pelanggaran.
Hukum perdata atau Civil Law berasal dari Belanda yaitu Burgerlijk Recht, yang asalnya dari Perancis yang terkenal dengan Code Civil atau Code Penal / Code Napoleon.


Arti
sempit = Hk. Perdata saja.


1.Hk. Perorangan
Hukum (Buku I KUH Per)
Perdata Arti 2.Hk. Kebendaan
Materiil (Buku II KUH Per)
3.Hk.Perikatan
(Buku III KUH Per)
4. Hk.Pembuktian &
Daluarsa (Buku IV-
KUH Per.)
Hk.
Per-
data

Arti
Formil = Hukum Acara Perdata

Arti
Luas

1. Hk. Dagang Umum (Buku I KUHD)
Hk Dagang 2. Hk. Pelayaran (Buku II KUHD)
3. Hk. Kepailitan (Buku III KUHD)


B. SISTEMATIKA HUKUM PERDATA

Isi Hukum Perdata dapat ditinjau berdasarkan segi ilmu pengetahuan dan segi sistematika Kitab Undang-undang Hukum Perdata atau Burgerlijk Wetboek.
a. Ilmu pengetahuan :
1) Hukum tentang diri perorangan/ pribadi ( Personenrecht) :
Memuat peraturan-peraturan manusia sebagai subyek hukum, kecakapan untuk memiliki hak-hak dan kecakapan untuk bertindak sendiri ;
2) Hukum Kekeluargaan (Famillierecht) :
Mengatur perihal hubungan kekeluargaan, yaitu perkawinan dan hukum kekayaan antara suami istri, orang tua dengan anak, perwalian san kuratele ;
3) Hukum harta kekayaan (Vermogensrecht) :
Mengatur hubungan-hubungan hukum yang dapat dinilai dengan uang.
4) Hukum waris (Erfrecht) :
Mengatur hal ikhwal tentang benda atau kekayaan seorang jikalau ia meninggal.

b. Sistematika :
1) Buku I berisi perihal orang ( Van Personen ) : memuat hukum tentang diri seseorang dan hukum keluarga ;
2) Buku II berisi perihal benda ( Van Zaken ) : memuat hukum perbendaan serta hukum waris ;
3) Buku III berisi perihal perikatan ( Van Verbintenissen) : memuat hukum kekayaan yang mengenai hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang berlaku terhadap orang-orang atau pihak-pihak tertentu ;
4) Buku IV berisi perihal pembuktian dan daluarsa (Van Beweijs en verjaring). : memuat perihal alat-alat pembuktian dan akibat-akibat lewat waktu terhadap hubungan hukum.

Selanjutnya pengaturannya dalam KUH Perdata adalah sbb. :
1) Hukum pribadi, di dalam Buku I Bab 1 - 3 dan Buku III Bab. 9 ;
2) Hukum keluarga, di dalam Buku I Bab. 4 - 18 ;
3) Hukum kekayaan, di dalam Buku II Bab. 1 - 2 , Bab. 19 - 21 dan Buku III
4) Hukum waris, di dalam Buku II Bab. 12 - 18 ;
Sedangkan isi dari buku IV, lain dari buku I, II dan III, yang berisi ketentuan-ketentuan hukum perdata materiil, sedangkan buku IV berisi hukum perdata formil.
Kemudian dalam Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD) isinya sejenis Hukum Kekayaan yang terdiri atas sebagian besar hukum perikatan (bidang perjanjian) dan sebagian kecil hukum benda). KUHD ini merupakan " Lex Specialis " terhadap KUH Perdata sebagai " Lex Generalisnya ". Sistimatika dari KUHD sbb:
1). Buku I, tentang dagang pada umumnya ;
2). Buku II, tentang hak-hak dan kewajiban - kewajiban yang terbit dalam pelayaran ;
3) Undang-undang kepailitan.


II. SEJARAH DAN PROSPEK HUKUM PERDATA DI INDONESIA

A. Sejarah terbentuknya dan berlakunya Burgerlijk Wetboek (BW)/ KUH Perdata
Pada zaman kolonial di Indonesia berlaku perundang-undangan secara konkordansi, yaitu sedapat mungkin menyesuaikan Undang-undang dengan undang-undang yang berlaku di Negeri Belanda. Untuk itu kita perlu mengetahui sejarah Kitab Undang-undang Hukum Perdata Belanda. Di Negeri Belanda yang merupakan bekas jajahan Negeri Perancis (1806-1813) diberlakukan hukum berdasarkan Code Civil atau Code Napolen. Hukum Perdata Eropah bagian terbesar berasal dari Hukum Perdata Perancis yang dikodifikasikan pada tanggal 21 Maret 1804. Sebelum kodifikasi tersebut di Negara Perancis tidak ada kesatuan hukum (eenheid van recht). Wilayah Negeri Perancis terbagi dalam dua bagian, yaitu bagian utara dan tengah yang merupakan daerah hukum lokal (pays de droit coutumier) dan bagian selatan yang merupakan daerah hukum Romawi (pays de droit ecrit).
Hukum yang berlaku di bagian utara dan tengah terutama hukum kebiasaan Peracis kuno yang tumbuh sebagai hukum lokal dan yang berasal dari hukum Germania yang berlaku di wilayah negeri-negeri Germania - Perancis sebelum resepsi Hukum Romawi di situ. Tetapi disamping hukum kebiasaan Perancis yang kuno itu, yang tumbuh sebagai hukum lokal, berlaku juga Hukum Romawi yang berpengaruh besar. Hukum yang berlaku di bagian selatan terutama Hukum Romawi yang telah mengalami kodifikasi dalam "Corpus Iuris Civilis" dari Justinianus. Tetapi hukum Romawi ini tidak berhasil melenyapkan hukum lokal.
Mengenai perkawinan, di seluruh wilayah Negeri Perancis berlaku hukum Kanonik, yaitu hukum yang ditetapkan oleh Gereja Katolik Roma dalam "Codex Iuris Canonici" Disamping bermacam-macam peraturan hukum itu, berlaku pula peraturan-peraturan yang dibuat oleh pengadilan Perancis. Pada waktu sebelum Revolusi Perancis dapat berlaku sebagai peraturan umum di seluruh wilayah negeri Perancis.

Pada abad ke 17, di negeri Perancis telah timbul aliran yang menciptakan suatu kodifikasi hukum yang akan berlaku di situ agar diperoleh kesatuan dalam hukum Perancis. Pada akhir abad ke 17 dan pada awal abad ke 18 dibuat oleh raja Perancis peraturan perundang-undangan umum yang memuat kodifikasi beberapa bagian hukum Perancis pada waktu itu. Antara pertauran-peraturan ada tiga yang terpenting sebagai sumber hukum historis untuk mempelajari sejarah hukum Perdata Eropah ( Ordonansi-ordonansi Daguessau - Kanselir raja Louis XV) yaitu :
1. Ordonnance sur les donatons (1731) yang mengatur soal-soal pemberian (schenking)
2. Ordonnance sur les testaments (1735) yang mengatur soal-soal wasiat ;
3. Ordonnance sur les substitutions fideicomissaires (1747)
Hukum Perancis dari waktu sebelum kodifikasi dapat juga diketahui dari buku-buku dan karangan-karangan beberapa ahli hukumPerancis yang namanya menjadi sangat termasyhur, yaitu Charles Dunoulin (1500-1566), d' Argentre (1519-1590), Jean Domat (1625-1696) dan Robert Joseph Porthier (1699-1772). Pembuat kodifikasi hukum perdata memakai buku Portier sebagai pedoman dalam mengkodifikasi hukum perutangan. Juga buku-buku pengarang yang lain menjadi pedoman pembuatan kodifikasi itu.
Kodifikasi hukum Perdata Perancis baru dijadikan pada waktu sesudah Revolusi Perancis. Pada tgl. 12 Agustus 1800 oleh Napoleon dibentuk suatu Panitia yang diserahi tugas membuat rencana kodifikasi. Panitia itu terdiri atas empat anggota yaitu Portalia, Tronchet, Bigode Preameneu dan Malleville. Yang menjadi sumber kodifiklasi hukum itu, Hukum Romawi menurut peradilan Perancis dan menurut tafsiran yang dibuat oleh Portheir dan Domat, hukum kebiasaan di daerah Paris (Coutum de Paris) . Hukum yang dibuat pada waktu Revolusi Perancis disebut hukum intermediair atau hukum sementara waktu. Kodifikasi hukum dibuat tgl 21- Maret 1804, yang kemudian diberi nama "Code Civil des Francais" tahun 1807 diundangkan lagi dengan nama "Code Napoleon" yang sampai saat ini masih berlaku, dan pada tahun itu juga diadakan kodifikasi Hukum Dagang dan Hukum Pidana.

Pada tahun 1811 sampai tahun 1838 Code Napoleon ini berlaku di Negeri Belanda sebagai Kitab Undang-undang hukum resmi, karena pada saat itu Belanda diduduki Perancis. Setelah berakhirnya pendudukan Perancis di Belanda pada tahun 1813, maka berdasarkan pasal kodifikasi undang-undang dasar negeri Belanda dari tahun 1814 dibentuk suatu panitia yang bertugas membuat rencana kodifikasi hukum Belanda (kodifikasi hokum Nasional). Panitya ini diketua oleh Mr. Joan Melchior Kemper (guru besar Universitas Leiden) yang menjadi sumber kodifikasi hukum perdata Belanda sebagian besar Code Napoleon dan sebagian lagi Hukum Belanda kuno.
Pada tahun 1816 Kemper menyampaikan kepada raja Belanda suatu rencana kodifikasi Hukum Perdata yang terdiri atas 4264 pasal , tetapi rencana tersebut tidak diterima oleh para ahli hukum antara lain Nicolai bangsa Belgia yang pada waktu itu negara Belgia dan Belanda menjadi satu negara, karena rencana kodifikasi didasarkan atas hukum Belanda kuno, sedangkan orang Belgia menghendaki menurut Code Napoleon. Disamping itu menurut mereka rancangannya sangat dogmatis yang menurutnya Code Civil dikerjakan menjadi suatu Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Kemudian diadakan perubahan-perubahan dan menjadi 3631 pasal , yang dikenal dengan "Ontwerp Kemper (Rencana Kemper) namun di DPR terjadi perdebatan dalam Parlemen Belanda " Ontwerp Kemper " yang dibuat oleh Kemper (Guru besar Hukum Alm di Universitas Leiden) itu mendapat tantangan keras dari anggota-anggota bangsa Belgia yang dipimpin oleh Ketua Pengadilan Tinggi di kota Luik (Belgia) P. Th. Nicolai (1768-1836).
Setelah Kemper meninggal dunia pada th. 1824, maka pembutan kodifikasi hukum perdata itu dipimpin oleh Nicolai, karena Nicolailah maka bagian terbesar kodifikasi hukum perdata Belanda didasarkan atas "Code Napoleon". Hanya beberapa bagian dari kodifikasi tersebut didasarkan atas hukum Belanda kuno. Sudah sewajarnya orang mengatakan bahwa kodifikasi hukum Perdata Belanda adalah suatu tiruan kodifikasi Hukum Perdata Perancis dengan beberapa perubahan yang kecil-kecil yang berasal dari hukum Belanda yang kuno. Karena peperangan yang mengakibatkan pemisahan antara Negara Belanda dan Belgia (1830-1839), maka kodifikasi hukum Perdata Belanda itu yang seharusnya sudah dapat mulai tahun 1831, baru dapat direalisasikan pada th. 1838. Pada tahun itu diadakan beberapa kitab undang-undang hukum Belanda yang lain yaitu Kitab Undang-undang Hukum Dagang, Peraturan susunan pengadilan Belanda (R.O), Kitab Undang-undang Hukum acara Privat Belanda, " Algemene Bevaling van Wet Geving" Belanda (A.B. Belanda).
Untuk memberlakukan BW di Hindia Belanda berdasarkan firman Raja tgl. 30 Juli 1830 telah diangkat Presiden Hoogerechtshohof Mr. G.C. Hagemen yang diberi tugas mengadakan persiapan untuk menjalankan undang-undang umum Belanda, namun tak pernah menjalankan tugas itu. Selanjutnya dalam th. 1839 dengan firman Raja tgl 15 Agustus 1839 dibentuk komisi di Negeri Belanda yang diketuai oleh Scholten van Oud Harlen. Komisi tersebut menganut azas konkordansi, maka kodifikasi hukum perdata Belanda menjadi contoh bagi kodifikasi hukum perdata Eropah di Indonesia yang diundangkan dengan Publicatie tgl. 30 April 1847 stbl. No.23 yang mulai berlaku 1 Maret 1848, namun diundur menjadi tgl. 1 Mei 1848 dengan stbl. 1847 No. 67. Hukum perdata tsb. berlaku untuk Cina dengan stbl. 1917 No. 129, 1919 no. 81 dan 1924 no. 557 serta 1925 no. 92, dan untuk Timur Asing lainnya dengan stbl. 1924 no. 556 kecuali beberapa bab dari buku I dan bab XII buku II
KUH Perdata Indonesia setelah kemerdekaan dinyatakan tetap berlaku sesuai pasal II aturan peralihan UUD 1945 yang menegaskan segala ketentuan dan peraturan yang ada dinyatakan tetap berlaku.

B. Prospek Perkembangan Hukum Perdata di Indonesia
Prospek perkembangan Hukum Perdata di Indonesia nampaknya cukup signnifikan karena dalam mengikuti perkembangan zaman, dimana hubungan manusia yang satu dengan yang lain dalam hal berbagai keperluan sehinga membutuhkan berbagai pengaturan demi mensejahterakan masyarakat. Dalam berbagai kegiatan yang berkaitan hubungan orang yang satu dengan yang lainnya atau badan hukum yang satu dengan yang lainnya atau antara badan hukum dengan perorangan perlu ada aturan guna terciptanya perlindungan hak dan kewajiban masing=masing. Dengan masih diberlakukanya KUH Perdata sesuai pasal II aturan peralihan, nampaknya dirasa perlu adanya perubahan sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia yang berkepribadian Pancasila.
Hal tersebut terbukti sudah terbentuknya berbagai peraturan perundangan yang dilahirkan antara lain :
1. UU No. 5 Th. 1960 tentang Pokok-pokok Agraria ;
2. UU No. 1 Th. 1974 tentang Perkawinan
3. UU No. 16 Th. 1985 tentang Rumah Susun
4. UU No. 7 Th. 1989 jo UU No. 3 Th. 2006 entang Peradilan Agama
5. UU No. 25 Th. 1992 tentang Perkoperasian
6. UU No. 9 Th. 1995 tentang Usaha Kecil
7. UU No. 4 Th. 1996 tentang Hak Tanggungan
8. UU No. 38 Th. 1999 tentang Pengelolaan Zakat
9. UU No. 16 Th. 2001 jo. UU No. 28 Th. 2004 tentang Yayasan
10. UU No. 13 Th. 2003 tentang Ketenagakerjaan
11. UU No. 41 h. 2004 tentang Wakaf


III. KEANEKARAGAMAN HUKUM PERDATA DI INDONESIA

Hukum Perdata atau hukum privat yang berlaku di Indonesia sampai sekarang ini masih bersifat dualisme bahkan pluralisme, sebab dalam kenyataannya masih berlaku lebih dari dua macam hukum perdata di dalam tatanan hukum Indonesia seperti hukum perdata Barat (KUH Perdata dan KUHD), hukum perdata adat dari orang-orang Indonesia asli dan hukum adat dari golongan Timur Asing ( hukum asli bagi orang Tionghoa, Arab dan sebagainya).
Pluralisme hukum perdata terjadi, bersumber dari pasal 163 dan pasal 131 Indische Staatregeling (IS) dan sampai sekarang masih tetap berlaku, sesuai dengan pasal II aturan peralihan UUD 1945 , sebagai berikut :.
Pasal 163 IS mengadakan pembedaan golongan penduduk Indonesia menjadi 3 (tiga) golongan :
a. Golongan Eropah yaitu :
(1) Semua orang Belanda dan semua orang yang berasal dari Eropah serta semua orang Jepang ;
(2) Semua orang yang berasal dari tempat lain yang hukum keluarganya berazaskan yang sama dengan hukum keluarga Belanda ;
(3) Anak-anak syah yang diakui menurut ketentuan Undang-undang, yang lahir di Indonesia.
b. Golongan Bumiputera, semua orang asli Hindia Belanda (Indonesia sekarang ini) ;
c. Golongan Timur Asing, yaitu semua orang yang bukan golongan Eropah dan bukan golongan Bumiputra. Gol. Timur Asing tersebut, dibedakan menjadi Gol. Timur Asing Tionghoa dan Timur Asing bukan Tionghoa ( orang-orang yang berasal dari India, Arab, Afrika dll).


Pasal 131 IS, yang menentukan berlakunya hukum perdata sebagai berikut:
a. Hukum Perdata dan dagang harus dikodifisir ;
b. Untuk Golongan bangsa Eropah dianut perundang-undangan yang berlaku di Negeri Belanda ;
c. Untuk golongan pribumi / bangsa Indonesia dan Timur Asing, yaitu orang-orang Arab , India dan lain-lain, jika kebutuhan kemasyarakatan mereka menghendakinya diberlakukan KUH Perdata (BW) dan KUHD (WvK), baik seutuhnya maupun sebagian
d. Orang Indonesia asli dan Timur Asing, sepanjang mereka belum ditundukan di bawah suatu peraturan bersama dengan bangsa Eropah, diperbolehkan menundukan diri (ondewerpen) pada hukum yang berlaku untuk bangsa Eropah ;
e. Bagi orang Indonesia tetap berlaku hukum hukum adat
.
Disamping itu sudah diberlakukan beberapa peraturan perundangan a.l.
a. Perjanjian kerja atau perburuhan - pasal 1601-1603 BW ;
b. Hutang dan perjudian - pasal 1788 - 1791 BW ;
c. Ordonansi Perkawinan bangsa Indonesia Kristen Stb. 1933 No. 74
d. Ordonansi tentang perkumpulan bangsa Indonesia - Stb. 1939 - No.570;
g. Peraturan Umum tentang Koperasi - Stb. 1933 No. 108 .

Untuk yang bukan golongan Eropa ada kemungkinan menundukan diri pada Hukum Eropa sesuai Stb. 1917 No. 12 sbb. :
a. Penundukan diri pada seluruh Hukum Perdata Eropah ;
b. Penundukan diri pada sebagian Hukum Perdata Eropah ;
c. Penundukan mengenai suatu perbuatan hukum tertentu ;
d. Penundukan secara "diam-diam".


Penundukan secara diam-diam seperti dimaksud dalam pasal 29, yang berbunyi : " Jika seorang bangsa Indonesia asli melakukan suatu perbuatan hukum yang tidak dikenal di dalam hukumnya, ia diangap secara diam-diam menundukan dirinya pada hukum Eropah" sebagai contoh adalah (orang Indonesia yang menandatangani surat aksep atau wesel)
Selanjutnya untuk golongan Timur Asing sesuai dengan Stb. 1855 No. 79 baginya berlaku Hukum Perdata Eropah, terkecuali hukum kekeluargaan dan hukum waris. Namun dalam tahun 1917 diadakan pembedaan antara golongan Tionghoa dan bukan Tionghoa. karena untuk golongan Tionghoa dianggapnya hukum Eropah yang saudah diperlakukan terhadap mereka itu dapat diperluas lagi.

Sesuai dengan Stb. 1917 No. 129 yang berlaku untuk seluruh wilayah Indonesia sejak 1 September 1925 : bahwa seluruh hukum privat Eropah berlaku bagi Tionghoa, terkecuali pasal-pasal yang mengenai upacara-upacara sebelum berlangsungnya pernikahan , disamping itu diadakan suatu peraturan tersendiri pula tentang pengangkan anak (adopsi).

Sedangkan bagi gol. Timur Asing lainnya diadakan oeraturan tersendiri yaitu dalam Ordonansi yang termuat dalam Stb. th. 1924 No. 556 yang berlaku sejak 1 Maret 1925, bahwa bagi mereka berlaku hukum privat Eropah terkecuali hukum kekeluargaan dan hukum waris, namun untuk bagian yang mengenai pembuatan testament berlaku untuk mereka.

Saat ini Indonesia sedang berusaha membentuk suatu kodifikasi Hukum Nasional, dan selama belum tercapai otomatis tetap memberlakukan B.W dan W.v.K, namun Hakim dapat menghilangkan salah satu pasal apabila bertentangan dengan keadaan jaman. Sehingga B.W. dan W.v.K. itu sudah tidak lagi merupakan suatu "Wetboek", tetapi suatu " Rechtboek"

IV. SUBYEK DAN OBYEK HUKUM
A. MANUSIA DAN BADAN HUKUM SEBAGAI SUBYEK HUKUM.
Manusia atau orang sebagai subyek hukum, dan yang menjadi obyek hukum adalah benda atau barang. Orang sebagai subyek hukum karena pembawa hak, tetapi ada sebagian orang yang menurut hukum sebagai barang saja, yaitu budak belian (sekarang sudah tidak ada). Namun ada seseorang sementara tidak dapat memiliki suatu hak lagi (" kematian perdata "), misalnya kekuasaan orang tua terhadap anak -anaknya, sebagai wali maupun haknya untuk bekerja pada angkatan bersenjata. Dengan peradaban yang sudah sedemikian maju, tidak lagi ada pemaksanaan terhadap seseorang untuk melakukan pekerjaan, sehingga kepadanya hanya dapat dihukum untuk membayar kerugian atau mungkin dengan cara penyitaan barang yang dimilikinya. Hal ini sesuai dengan asas bahwa semua kekayaan seseorang menjadi tanggungan untuk segala kewajibannya.
Orang (persoon) sebagai subyek hukum dapat dibedakan dalam 2 pengertian, yaitu:
1. Naturlijke person atau mens persoon, orang dalam bentuk manusia atau manusia pribadi ;
2. Rechts persoon, orang dalam bentuk badan hukum atau orang yang diciptakan hukum secara fiksi. Selanjutnya badan hukum dibedakan menjadi 2 macam :
a. Badan hukum publik (public rechts persoon) - sifatnya terlihat untuk kepentingan umum <> badan Negara.
b. Badan hukum privat (Privat rechts persoon) -sifatnya unsur-unsur kepentingan individual <> badan swasta.

1. Manusia sebagai subyek hukum
Manusia sebagai subyek hukum adalah sejak lahir dan berakhir setelah meninggal, dan menurut hukum agama adalah sejak dalam kandungan ibunya, hal ini sangat penting sekali apalagi apabila dikaitkan dengan warisan-warisan yang terbuka pada suatu waktu dimana orang itu masih berada dalam kandungan. Selanjutnya apabila terjadi pengguguran kandungan merupakan pembunuhan anak yang berarti telah melanggar hak anak sebagai subyek hukum dari anak yang akan lahir tersebut. Manusia sebagai subyek hukum mempunyai hak dan mampu menjalankan haknya dijamin oleh hukum yang berlaku. Hal ini diatur dalam Buku I KUH Per. tentang orang, Undang-undang Kewarganegaraan dan perundang-undangan lainnya.
Dalam pasal 1 B.W/KUHPer dinyatakan bahwa menikmati hak-hak kewarganegaraan tidak tergantung pada hak kewarganegaraan dan selanjutnya dalam pasal 2 ditegaskan bahwa anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan, dianggap sebagai telah dilahirkan bilamana kepentingan si anak menghendakinya, dan apabila si anak itu mati sewaktu dilahirkan, dianggap ia tidak pernah ada.
Adanya pasal 2 B.W/KUHPer. mengatur secara fiksi terhadap anak dalam kandungan dan dianggap ada apabila kepentingan anak itu menghendaki. Sebagai contoh, apabila orang tua dari anak yang dalam kandungan mewariskan harta peninggalannya kepada anak-anaknya, maka anak yang masih dalam kandungan berhak memperoleh bagian harta warisan. Namun apabila seseorang ibu yang hamil nonton bioskop atau naik pesawat, tidaklah diminta untuk membayar 2 karcis, karena kepentingan anak tidak ada terhadap tontonan atau naik pesawat.

Apabila kita kaitkan dengan waris, sebagai ahli waris harus sudah ada pada saat pembagian warisan, sebagaimana tercantum dalam pasal 836 BW/KUHPer pasal 836 , yang menyatakan " Dengan mengingat akan ketentuan dalam pasal 2 Kitab ini, supaya dapat bertindak sebagai waris, seorang harus telah lahir pada saat warisan jatuh meluang " . Seperti halnya juga dalam pelaksanaan hibah, bahwa sebagai penerima hibah harus sudah ada pada pelaksanaan hibah, sebagaimana tercantum pasal 1679 BW (KUHPer) " Agar supaya seorang cakap untuk menikmati keuntungan dari suatu hibah, bahwa penerima itu sudah lahir pada saat terjadinya penghibahan, dengan mengindahkan aturan yang tercantum dalam pasal 2 .
Orang (persoon) sebagai subyek hukum menurut HAM sebagaimana tec\rcatum dalam Universal Declaration of Human Rights yang dicetuskan PBB pada tanggal 10 Desember 1948 dinyatakan adanya perlakuan yanag sama, tetapi dalam perbuatan hukum orang sebagai subyek hukum, warga negara sendiri dengan negara asing perlu dibedakan. Dalam B.W/KUHPer juga tidak membedakan antara orang asing dengan warganegara dengan alasan agama, kelamin, umur, ras dan bangsa, namun untuk orang asing perlu dibatasi kedudukan dan haknya antara lain :
1. Tidak boleh duduk dalam pemerintahan, baik di badan legiskatif, eksekutif maupun legislatif dan badan-badan negara lainnya ;
2. Dikenakan pajak yang lebih tinggi dari penduduk yang warganegara
3. Dalam kegiatan perseroan atau perkumpulan perlu dibatasi dengan memperhatikan kepentingan nasional negara itu ;
4. Tidak boleh ikut dalam kegiatan ideologi politik.

Setiap manusia pribadi menurut hukum mempunyai hak, tetapi tidak selalu cakap untuk melakukan perbuatan hukum (handelings bekwaanheid). Bagi orang yang dinyatakan "tidak cakap" untuk melakukan perbuatan hukum diatur dalam pasal 1330 BW (KUH Per), yaitu :
1) Orang yang belum dewasa ;
2) Orang yang ditaruh di bawah pengampuan (kuratele) ;
3) Orang wanita yang dalam perkawinan, berstatus sebagai istri.

Ad.1 Orang yang belum dewasa apabila ia belum mencapai umur 21 tahun.
Ad.2. Orang yang di bawah pengampuan (curatele) tejadi karena :

a) Gangguan jiwa seperti sakit saraf dan gila, sebab perbuatannya itu akan mengakibatkan tidak normal menurut ukuran biasa.
b) Pemabok atau pemboros, sebab perbutannya akan mengakibatkan merugikan dan mentelantarkan keluarga dan anak-anak baik dalam kehidupan, pendidikan dan lainnya.

Ad.3 Bagi seorang istri dianggap tidak cakap membuat perjanjian dengan alasan perumpamaan bahwa keluarga itu sebuah kapal yang perlu pimpinan, yang memimpin cukup nachkoda sebagai kepala, sehingga istri menjadi tidak cakap untuk melakukan perbuatan hukum, harus mendapat ijin suami. Namun dengan menurut pasal 31 UU No. 1 th. 1974 (Undang-undang Perkawinan) dikemukakan bahwa hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat , dan masing-masing pihak berhak melakukan perbuatan hukum.

Mengenai ketidak cakapan melakukan perbuatan hukum ini disebabkan karena :
1) Ketidak cakapan sungguh-sungguh ( Feitelijke handelings onbekwaamheid) ialah bagi orang-orang yang ditaruh di bawah curatele atau pengampuan ;
2) Ketidak cakapan menurut hukum (juridische handelings onbewaamheid) ialah bagi mereka-mereka yang belum dewasa.
.......................................................
Kecakapan bagi seorang anak berlaku untuk keadaan tertentu sebagai berikut :
1) Untuk membuat perjanjian (overenskomst) apabila berumur 21 tahun atau sebelumnya telah menikah (pasal 330 BW/ KUH Per) ;
2) Untuk melangsungkan prkawinan :
a) Menurut pasal 29 BW/ KUH Per, bagi seorang laki-laki minimum umur 18 tahun dan bagi wanita minimum 15 tahun ;

b) Menurut pasal 7 UU No. 1 Th. 1974, laki-laki minimum umur 19 tahun dan wanita minimum 16 tahun.
3) Untuk menonton bioskop, minimum umur 17 tahun.

Badan hukum sebagai subyek hukum
Badan hukum merupakan kumpulan manusia pribadi (natuurlijke persoon) dan mungkin pula kumpulan dari badan hukum yang pengaturannya sesuai menurut hukum yang berlaku. Ump. Negara RI (UUD 1945) Pemda dan Kecamatan ( UU No. 5 th. 1975/ UU No. 22 Th. 1999, Perseroan Terbatas (PT) berdasarkan KUHD, Koperasi (UU No. 12 Th. 1967) Yayasan , Bank Koperasi (UU No. 14 th. 1967), Bank Pemerintah , Parpol dll.

Pembagian badan hukum :
1. Badan hukum publik (publiek rechtspersoon)
2. Badan hukum privat (privat rechtspersoon)

ad.1. Badan hukum publik merupakan badan-badan negara dan mempunyai kekuasaan wilayah atau merupakan lembaga yang dibentuk oleh yang berkuasa berdasarkan perundang-undangan yang dijalankan secara fungsional oleh lembaga eksekutif. Contoh badan hukum publik :
a) Negara RI, - konstitusi tertulis dalam UUD 1945, yang menjalankan kekuasaan Presiden dan Menteri-Menteri ;
b) Pemda, Tk. I, Tk. II dan Kecamatan - UU No. 5 Th. 1974 sekarang UU No. 22 Th. 1999, yang menjalankan kekuasaan Gubernur/ Kepala Dati Tk.I, Bupati atau Walikota Madya dan Camat ;
c) Bank Indonesia - UU No. 13 Th. 1968 ; BNI 1946 - UU No. 17 th. 1968 ; BDN - UU No. 18 th. 1968 ; BBD - UU no. 19 th. 1968, BTN - UU No. 20 Th. 1968 ; BRI - UU No. 21 Th. 1968 dan BAPINDO - PP No. 20 Th. 1961yang menjalankan kekuasaan dilaksanakan oleh para Direktur ;

d) Perusahaan Negara yang didirikan berdasarkan PP, dan menjalankan tugas adalah para Direksi.

Ad.2. Badan hukum privat merupakan badan swasta yang didirikan oleh pribadi orang untuk tujuan tertentu seperti mencari keuntungan, sosial, pendidikan, ilmu pengetahuan, politik, kebudayaan, kesenian, olah raga dan lain-lain.

Contoh :
a) Perseroan Terbatas (PT), didirikan oleh pesero untuk mencari keuntungan dan kekayaan dalam kegiatan pelaksanaanya dilakukan oleh Direksi, pendirian berdasarkan Bab. III Bag. ketiga KUHD ;
b) Koperasi, didirikan oleh para anggotanya untuk tujuan kesejahteraan bersama para anggota dengan sistem kekeluargaan dan usaha bersama , pelaksanaan kegiatan dilakukan oleh pengurus, pendirian berdasarkan UU no. 12 th. 1967 ;
c) Partai Politik, didirikan dan masuki oleh warganegara, sebagai sarana demokrasi yang akan mewakili kepentingan rakyat dalam badan perwakilan rakyat - pelakasanaan tugas pengurus, pendirian berdasarkan - UU No. 3 Th 1975, sekarang UU No. 2 Th. 1999
d) Yayasan, didirikan oleh oleh anggota dengan tujuan sosial, pendidikan, ilmu pengetahuan, kesenian dan kebudayaan, pelaksaaan tugas oleh pengurus, pendirian berdasarkan Akte Notaris.
e) Badan amal, wakaf dll.
Setiap subyek hukum, baik orang maupun badan hukum, harus memiliki tempat tinggal (domicili) atau kedudukan tertentu. Hal tersebut perlu untuk menetapkan misalnya dimana seseorang harus kawin, dimana seseorang harus dipanggil ke hadapan sidang pengadilan yang berkuasa terhadap seseorang untuk memanggilnya. Selanjutnya bagi orang yang tidak mempunyai tempat kediaman tertentu, domicili dianggap berada ditempat ia sungguh-sungguh berada.
Sebagian orang ada yang domicili ikut orang lain, seperti halnya istri, dimicili ikut suaminya (kecuali yang pisah ranjang), anak-anak ikut orang tua dan seorang yang berada di bawah curatele (curandus) mempunyai domicili ditempat kuratornya. Namun ada juga domicili yang dipilih berhubung dengan suatu urusan misalnya dua pihak dalam suatu kontrak memilih domicili di Kantor seorang Notaris atau di Kantor Kepaniteraan suatu Pengadilan Negeri, hal ini dimaksudkan untuk memudahkan pihak penggugat, untuk menggugat bila sampai terjadi permasalahan. Disamping itu tentang domicili terdapat istilah lain yaitu "rumah kematian" yang sering dipakai dalam undang-undang yang tidak lain dimaksudkan adalah domicili terakhir dari seorang yang meninggal . Hal ini penting untuk menentukan hukum mana yang berlaku dalam soal warisan, hakim mana yang berkuasa untuk mengadilinya , memudahkan para debitur untuk menggugat seluruh ahli waris, yaitu pada rumah kematian.

Obyek Hukum
Yang menjadi obyek hukum selain benda adalah binatang . Binatang, walaupun sebagai mahluk hidup dan bernyawa seperti manusia, tidak dapat menjadi subyek hukum, karena binatang menurut hukum tidak mempunyai hak dan kewajiban seperti orang. Juga sekiranya binatang menjadi subyek hukum , maka binatang mempunyai hak dan tentunya seperti kambing, kerbau, ayam dan sapi kalau dipotong akan menuntut hak dan keadilan serta akan memprotes.
Benda atau zaak sebagai obyek hukum karena merupakan hal yang berguna bagi manusia sebagai subyek hukum, atau segala sesuatu yang menjadi pokok permasalahan dan kepentingan bagi subyek hukum. Mengenai benda atau zaak diatur dalam Buku II B.W/ KUH Per , namun untuk pengaturan bumi, air dan kekayaan alam telah ada perubahan dengan keluarnya UU No. 5 tahun 1960.

Menurut pasal 503, 504 dan 505 BW/ KUHPer. dan seterusnya , benda atau zaak dibagai dalam sistimatika :
1. Benda yang bersifat kebendaan (zakelijke rechten), dibagi menjadi :
a) Benda bertubuh atau berujud (lichamelijke zaken), dibagi lagi
menjadi : benda bergerak dan benda tidak bergerak.
b). Benda tidak bertubuh atau tidak berwujud (onlichamelijke zaken),
2. Benda yang bersifat tidak kebendaan (immaterieele gooderen).

Selanjutnya , pengaturan mengenai kebendaan tersebut a.l. pada :
1. Buku II BW/KUHPer ,yang mengatur secara luas tentang benda atau zaak;
2. UU Pokok Agraria No. 5 th. 1960, mengatur tentang tanah, bumi, air dan kekayaan alam , sebagai pengganti peraturan tanah, bumi, dan air seperti dalam buku II BW/KUH Per, kecuali hipotik. Selanjutnya hak-hak atas tanah tersebut dikonversi menjadi hak atas atas tanah menurut hukum Agraria nasional.
3. UU No. 21 Th. 1961 tentang merk poerusahaan sebagai pengganti Reglement Industrieele Reglement (Peraturan Hak Milik Industri th. 1912, mengatur benda yang bersifat tidak kebendaan, khusus merk.
4. Ordonantie No. 100 Th. 1993 yang mengatur tentang kapal terbang sebagai benda tetap.
5. Auterswet 1912, Stb. 1912 No. 600 mengatur benda yang bersifat tidak kebendaan, khusus cipta, yang dipunyai oleh pengarang, pencipta musik/ lagu, dan karya budaya lainnya.

V. HUKUM PERKAWINAN MENURUT KUH PERDATA DAN UU NO. 1 TH. 1974
A. Hukum Perkawinan Menurut KUH Perdata
1. Arti dan syarat-syarat perkawinan
a. Arti perkawinan : pertalian yang syah antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan untuk waktu yang lama (hub. keperdataan psl. 26 BW/KUHper)
b. Azas : Monogami, sekiranya terjadi poligami selalu diancam dengan pembatalan perkawinan (pasl 27 BW/KUHper)
c. Syarat-syaratnya:
1) Kedua belah pihak harus sudah mencapai usia yang telah ditetapkan dalam undang-undang, yaitu untuk seorang laki-laki 18 tahun dan untuk seorang wanita 15 tahun ;
2) Harus ada persetujuan bebas antara kedua pihak ;
3) Untuk seorang perempuan yang sudah pernah kawin , harus liwat 300 hari dahulu, sesudahnya putusan perkawinan pertama ;
4) Tidak ada larangan dalam undang-undang bagi kedua belah pihak ;
5) Untuk pihak yang masih berada di bawah umur harus ada izin dari orang tua / walinya.
d. Larangan kawin :

1) Antara mereka masih ada hubungan keluarga dalam garis lurus keatas dan kebawah (psl. 30 BW/ KUHPer).
2) Disamping itu menurut psl. 31 BW/ KUHPer) :
(a) Tidak boleh kawin dengan saudaranya, walaupun saudara tiri;
(b) Tidak boleh kawin dengan iparnya ;
(c) Paman tidak boleh kawin dengan keponakannya.
(3) Tidak boleh kawin antara kawan berzina ( psl. 32 BW)
e. Izin kawin :
Pemberian izin dari kedua orang tua, atau dari wali bagi yang berada di bawah perwalian. Sedangkan apabila kedua orang tua sudah meninggal, izin dari kakek/nenek. Selanjutnya untuk anak luar kawin yang diakui, izin dari orang tua yang mengakui, kalau tidak sepakat, barulah izin dari Hakim. Disamping itu untuk anak yang sudah dewasa namun belum berumur 30 tahun masih juga perlu izin dari orang tua, sekiranya orang tua tidak mau memberikan izin dapat diminta melalui perantaraan hakim.
f. Pemberitahuan :
Sebelum perkawinan dilangsungkan, diharuskan :
a. Pemberitahuan (aangifte) tentang kehendak akan kawin kepada Pegawai Pencatat Sipil (Ambtenaar Burgerlijke Stand) ;
b. Pengumuman (afkondiging), oleh pegawai tersebut , tentang akan dilangsungkan perkawinan.
Selama dalam pemberitahuan ini, kepada para pihak diberikan hak untuk mencegah atau menahan (stuiten), yaitu :
a Suami atau istri serta anak-anak dari sesuatu pihak yang hendak kawin ;
b. Orang tua kedua belah pihak ;
c. Jaksa (officer van Justice).

Khusus kepada Jaksa diberikan hak untuk mencegah dilangsungkannya perkawinan, yang sekiranya akan melanggar larangan-larangan yang bersifat menjaga ketertiban umum, dengan cara mengajukan perlawanan kepada Hakim.
g. Surat-surat yang diperlukan untuk melangsungkan perkawinan :
a). Akte/ surat kelahiran masing-masing calon suami/ istri ;
b). Izin dari orang tua ;

c). Surat kematian suami/ istri atau putusan perceraian perkawinan sebelumnya ;
d). Surat keterangan dari Pegawai Pencatatan Sipil yang menyatakan telah dilangsungkan pengumuman dengan tiada perlawanan dari sesuatu pihak ;
e) Dispensasi dari Presiden (Menteri Kehakiman & HAM) dalam hal ada suatu larangan untuk kawin, bagi salah satu pihak.
Menurut ketentuan, calon pengantin harus menghadap sendiri ke Pegawai Catatan Sipil dan sekaligus membawa dua orang saksi, namun dalam keadaan luar biasa dapat diberikan izin oleh Menteri Kehakiman untuk mewakilkan orang lain untuk mernghadap dengan surat kuasa secara autentik. Selanjutnya untuk perkawinan di Luar Negeri dianggap sah, apabila dilangsungkan menurut cara-cara yang berlaku di negeri asing ybs.
h. Pembatalan perkawinan :
Apabila syarat-syarat tidak dipenuhi atau larangan-larangan dilanggar, misalnya salah satu pihak masih terikat perkawinan, atau perkawinan dilakukan oleh pegawai pencatatan sipil yang tidak berkuasa, maka perkawinan semacam itu dapat dibatalkan.
i Akibat pembatalan perkawinan :

a. Jika anak-anak dilahirkan dari perkawinan tersebut, anak-anak tetap mempunyai kedudukan sebagai anak yang syah ;
b. pihak suami atau istri yang berlaku jujur memperoleh hak-hak yang semestinya dalam perkawinan yang dibatalkan ;
c. pihak ketiga yang berlaku jujur tidak boleh dirugikan.
j. Akibat-akibat lain dari perkawinan :
a. Anak-anak yang lahir dari perkawinan adalah anak syah ;
b. Suami menjadi ahli waris istri dan sebaliknya ;
c. Antara suami istri dilarang jual beli ;
d. Tidak diperbolehkan mengadakan perjanjian perburuhan antara suami istri ;
e. Pemberian benda-benda atas nama tak diperbolehkan antara suami istri.
f. Suami tak diperbolehkan menjadi saksi di dalam suatu perkara istrinya atau sebaliknya ;
g. Suami tak dapat dituntut tentang beberapa kejahatan terhadap istrinya dan begitu sebaliknya (misalnya pencurian)

2. Hak & Kewajiban Suami Istri

a. Hak dan kewajiban suami :
1). Mengurus harta kekayaan suami istri & kekayaan istri ;
2) Menentukan tempat tinggal bersama ;
3) Melakukan kekuasaan orang tua (maritale macht) ;
4) Membantu istri dalam hal melakukan perbuatan hukum.

b. Hak dan kewajiban istri :
1) Meminta pertanggung jawaban suami dalam hal mengurus hartanya ;

2) Mengurus hartanya sendiri, dengan mengadakan perjanjian pemisahan kekayaan ( scheiding van goederen) sebelum pernikahan berlangsung ;
3) Mendapat bantuan suami dalam melakukan perbuatan hukum, baik bersama-sama ke Notaris ataupun berupa persetujuan tertulis, karena istri dianggap tidak cakap. Namun apabila si istri menjabat sebagai Direktris atau belanja sehari-hari untuk keperluan rumah tangga tidak perlu ada bantuan dari suami sepanjang belanja sehari-hari memadai kedudukan suami, juga apabila sisitri tersangkut perkara pidana.
Tentang ketidak cakapan istri, dianggap sudah tidak berlaku lagi dengan keluarnya UU Perkawinan No. 1 th. 1974 pasal 31 (1) yang menyatakan bahwa suami istri masing-masing berhak melakukan perbuatan hukum.


3. Percampuran Harta Kekayaaan
Jika dalam suatu perkawinan tidak ada " perjanjian perkawinan " (huwelijksvoorwarden), maka mulai perkawinan terjadi sesuai pasal 119 BW/ KUH Perdata, harta kekayaan suami istri bercampur secara bulat (algehele gemenschap van goederen), yang berlaku selama perkawinan berlangsung.
a Percampuran kekayaan :
Percampuran mengenai seluruh activa dan passiva yang dibawa oleh masing-masing pihak ke dalam perkawinan, maupun yang akan diperoleh dikemudian hari selama perkawinan (gemeenschap)
b Dalam perjanjian percampuran kekayaan a.l. :
1) Di dalam percampuran harta kekayaan, beberapa benda tertentu tidak termasuk percampuran harta kekayaan

2) Apabila seseorang memberikan suatu benda kepada salah satu pihak tidak akan jatuh di dalam percampuran harta kekayaan.
3) Suami tidak diperbolehkan menjual atau menggadaikan benda-benda atas nama yang jatuh kedalam gemeenschap dari pihak istri dengan tiada izin istri.
c Hak mengurus kerkayaan bersama (gemeenschap):
Ada pada suami, dengan kekuasaan yang sangat luas, hanya dilarang untuk memberikan dengan percuma benda-benda tak bergerak atau seluruh/ sebagian benda bergerak kepada lain orang. kecuali kepada anaknya. (pasal 124 B.W/ KUHPer)
d Pemisahan kekayaan :
Istri dapat mengajukan pemisahan kekayaan kepada Hakim :
1) Apabila suami melakukan pengurusan yang sangat buruk (wanbeheer),
2) Kalau suami mengobralkan kekayaannya dapat dimintakan curatele.
3) Apabila perkawinan terputus / terjadi perceraian.
e Tujuan pemisahan kekayaan :
Untuk menghindarkan diri dari penagihan hutang-hutang gemeenschap, yaitu baik hutang-hutang itu telah diperbuat oleh suami ataupun oleh istri sendiri.
f Tanggung jawab terhadap hutang-hutang :
1) Terhadap hutang prive/ pribadi, harus dituntut suami atau istri yang membuat hutang tersebut, dan yang pertama disita adalah benda pribadi, sekiranya tidak mencukupi baru harta bersama disita. Selanjutnya sekiranya suami yang membuat hutang, harta benda pribadi istri tak dapat disita, atau sebaliknya.

2) Terhadap hutang gemeenschap, harta bersma yang harus pertama-tama disita, sekiranya tidak mencukupi, baru kemudian harta benda pribadi, baik suami maupun istri ikut disita.
g Berakhirnya persatuan kekayaan ( psl. 126 B.W/ KUHPer):
1) Dengan meninggalnya salah satu pihak ;
2) Apabila terjadi perceraian ;
3) Karena berlangsungnya perkawinan atas izin hakim ;
4) Diadakan pemisahan kekayaan (scheiding van goederen) ;
5) Perpisahan meja dan tempat tidur (scheiding van tefel en bed)
h Tanggung jawab hutang-hutang gemeenschap :
1) Masing-masing tetap bertanggung jawab tentang hutang-hutang yang telah dibuatnya ;
2) Suami masih dapat dituntut pula tentang-tentang hutang-hutang yang telah dibuat oleh si istri ;
3) Istri dapat dituntut untuk separoh tentang hutang-hutang yang telah dibuat oleh suami ;
4) Sehabis diadakan pembagian, tak dapat lagi dituntut tentang hutang yang dibuat oleh yang lain sebelumnya perkawinan.
4. Perjanjian Perkawinan
Perjanjian perkawinan (huwelijksvoorwarden) diadakan sebelum perkawinan dilangsungkan yang dibuat dalam suatu Akte Notaris, yang dsalam pembuatannya tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum atau kesuliaan, dan dibolehkan ada penyimpangan, seperti halnya dapat menyingkirkan suatu benda saja (misalnya satu rumah).
a. Jenis-jenis isi perjanjian :

1) Perjanjian "percampuran laba rugi" (gemeenschap van winst en verlies), bahwa masing-masing pihak tetap akan memiliki benda bawaannya beserta benda-benda yang jatuh padanya dengan percuma selama perkawinan (berupa pemberian atau warisan) dan semua penghasilan dari tenaga atau modal selama perkawinan akan menjadi kekayaan bersama , dan semua kerugian atau biaya-biaya yang telah dikeluarkan menjadi tanggung jawab bersama. <> suami istri memikul kerugian bersama <>
2) Perjanjian "percampuran penghasilan" (gemeenschap van vruchten en inkomsten", dalam perjanjian ini dimaksudkan agar istri, jangan sampai menderita rugi, mengingat hutang-hutang itu biasanya dibuat oleh si suami <> si isteri tak usah mengganti kekurangan-kekurangan dan tak dapat dituntut untuk hutang-hutang yang dibuat oleh si suami <>
b. Pemberian perkawinan :
Pemberian yang dilakukan di luar perkawinan disebut pemberian perkawinan, yang harus dimasukkan dalam akte perjanjian perkawinan, dan pemberian tsb. kadang-kadang dapat berupa semua atau sebagian warisan <> Erfstelling<>
c Mulai berlakunya Perjanjian perkawinan :
Pada saat pernikahan ditutup di depan Pegawai Pencatatan Sipil dan mulai berlaku terhadap orang-orang pihak ketiga sejak hari pendaftarannya di Kepaniteraan Pengadian Negeri setempat dimana pernikahan telah dilangsungkan.
d. Larangan dalam pembuatan perjanjian :
1) Menghapuskan kekuasaan suami sebagai kepala di dalam pernikahan (maritale macht) atau kekuasaannya sebagai ayah (ouderlijke macht) atau menghilangkan hak-hak seorang suami/ istri yang ditinggalkan mati ;

2) Suami akan memikul suatu bagian yang lebih besar dalam activa daripada bagiannya dalam passiva (agar suami/istri menguntungkan diri sendiri dan merugikan pihak ketiga) ;
3) Hubungan suami istri akan dikuasai oleh hukum dari suatu negara asing
e. Kekayaan yang diperoleh seseorang yang telah kawin :
1) Kekayaan sendiri yang tidak begitu besar bercampur dengan kekayaan suami/istri yang lebih besar sebagai akibat kawin dengan percampuran kekayaan <> boedel maging) ;
2) Menerima pemberian-pemberian suami atau istri dalam perjanjian perkawinan ;
3) Mendapat warisan menurut undang-undang dari kekayaan suami atau istrinya ;
4) Menerima pemberian dalam suatu wasiat (testament) dari suaminya atau istrinya.

5. Perceraian

a. Perkawinan hapus karena :
1) Salah satu pihak meninggal dunia ;
2) Salah satu pihak kawin lagi setelah mendapat izin hakim, bilamana pihak yang lainnya meninggalkan tempat tinggalmya hingga sepuluh tahun lamanya dengan tidak ketentuan nasibnya ;
3) Perceraian.
b Alasan-alasan perceraian :
1) Zina (overspal) ;
2) Ditinggalkan dengan sengaja (kwaadewillige verlating) ;
3) Penghukuman yang melebihi 5 tahun karena dipersalahkan melakukan suatu kejahatan ;
4) Penganiayaan berat sampai membahayakan jiwa (pasal 209 BW/ KUHPer).

5) Salah satu pihak mendapat cacat badan sehingga tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami istri ;
6) Antara suami istri terus menerus terjadi perselisihan dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi.
c. Larangan perceraian :
Bercerai atas permufakatan, dengan cara mendakwa si suami telah berbuat zina, dan suami mengakui, dengan begitu merupakan alasan sah untuk memecahkan perkawinan.
d. Akibat perceraian :
Kekuasaan orang tua berakhir, dan berubah menjadi perwalian.
e. Alasan-alasan perpisahan meja dan tempat tidur (scheiding van tevel en bed) :
1) Alasan seperti yang terdapat dalam perceraian ;
2) Adanya perbuatan-perbuatan yang melewati batas ;
3) Penganiayaan dan penghinaan berat.
f. Akibat perpisahan meja dan tempat tidur :
1) Suami istri dibebaskan dari kewajibannya untuk tinggal bersama ;
2) Terjadi pemisahan kekayaan ;
g. Perpisahan meja dan tempat tidur, dapat terjadi atas persetujuan bersama dengan tidak usah mengajukansuatu alasan , asal saja perkawinan sudah berlangsung paling sedikit 2 tahun.
h. Pendaftaran putusan perceraian :
Putusan perceraian harus didaftarkan pada Pegawai Pencatatan Sipil di tempat perkawinan tersebut dilangsungkan, khusus untuk perkawinan di Luar Negeri, pendaftaran dilakukan pada Pegawai Pencatatan Sipil di Jakarta. Pendaftaran dilakukan dalam waktu 6 bulan setelah hari dan tanggal putusan hakim.

B. HUKUM PERKAWINAN MENURUT UU NO. 1 TH. 1974:
I. DASAR PERKAWINAN
a. Pengertian :
Perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang berbahagia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa .(Psl. 1)
b. Azas perkawinan :
1). Dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri, seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami (monogami) ;
2). Membentuk keluarga yang bahagia dan kekal ;

3). Suatu perkawinan syah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya
4). Calon suami istri harus telah masak jiwa dan raganya
5). Mempersulit terjadinya perceraian ;
6) Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami.
c. Perkawinan lebih dari seorang (psl. 4) :
1). Mengajukan permohonan ke Pengadilan di daerah tempat tinggalnya
2). Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sbg istri ;
3). Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tak dapat disembuhkan ;
4). Istri tidak dapat melahirkan keturunan.
d. Pengajuan permohonan untuk perkawinan lebih dari orang.
1) Adanya persetujuan dari suami/ istri ;
2). Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka ;
3). Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka.

2. Syarat –syarat Perkawinan (psl.6)
a. Syarat yang harus dipenuhi sebelum perkawinan:
1). Berdasarkan atas persetujuan kedua mempelai ;
2). Bagi yang usianya kurang dari 21 th. harus mendapat izin dari kedua orang tua ;
3). Dalam salah meninggal atau tidak mampu Izin cukup dari orang tua yang masih ada atau yang mampu
4). Izin dari wali apabila kedua orang tua telah meninggal atau dalam keadan tidak mampu. ;
5) Izin dari Pengadilan apabila kedua orang tua, maupun wali tidak sepakat ;
6) Usia 19 tahun untuk pria dan 16 tahun untuk wanita ;
7). Adanya dispensasi Pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pria maupun wanita bagi calon yang usianya kurang memenuhi syarat.
b. Larangan kawin (psl. 8)
1). Ada hubungan darah, baik dalam garis lurus ke bawah maupun ke atas ;
2). Ada hubungan darah menyamping ( saudara) ;
3). Hubungan semenda (mertua, anak tiri, menantu, dan ibu/ bapak tiri ;
4). Hubungan susuan (orang tua, bibi, anak, saudara susuan) ;
5). Berhubungan saudara dengan istri atau bibi/ kemenakan ;
6). Menurut agama atau peraturan lain dilarang.
7). Seseorang yang masih terikat tali perkawinan (psl. 9), terkecuali ada izin dari Pengadilan.
8). Suami istri yang telah cerai, kawin lagi, dan cerai lagi, diantara mereka tidak boleh kawin lagi (psl 10)

c. Waktu tunggu (PP. No. 9 th. 1975 psl. 39)
1). Apabila perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu ditetapkan 130 (seratur tiga puluh) hari ;
2). Apabila perkawinan putus karena perceraian , waktu tungu 3 kali suci sekurng-kurangnya 90 hari ;
3). Apabila perkawinan putus, sedang janda dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan setelah melahirkan.
4). Janda yang putus karena perceraian, namun belum pernah hubungan kelamin, tidak ada waktu tunggu.
5). Penghitungan waktu tunggu karena perceraian , adalah setelah putusan pengadilan mempunyai kekuatan tetap, sedangkan bagi yang karena kematian, dihitung sejak kematian suaminya.

3. PELAKSANAAN PERKAWINAN.
a. Pencatatan perkawinan (psl. 2 PP. 9/1975)
1). Pencatatan perkawinan bagi orang Islam dilakukan oleh PPN, sedangkan selain Islam dilakukan oleh Pegawai Pencatatan Sipil ;
2). Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan/ mendaftarkan ke pegawai pencatat paling lambat 10 hari sebelum perkawinan berlangsung, terkecuali alasan penting dengan adanya dispensasi dari Camat setempat. (psl. 3 PP 9/1975).
3). Pemberitahukan/ pendaftaran secara tertulis maupun lisan, yang memuat : nama, umur, agama/ kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman calon mempelai, apabila salah seorang pernah kawin disebutkan nama istri/ suami.
4). PPN/ Peg. Cat. Sipil (Peg. Pencatat) meneliti seluruh persyaratan yang diperlukan, yaitu :
(a) Kutipan akta kelahiran/ surat kenal lahir atau keterangan yang diberikan oleh Kades/Lurah ;
(b) Nama, agama/ kepercayaan, pekerjaan dan tempat tinggal kedua orang tua calon mempelai
(c) Izin tertulis dari Pengadilan bagi yang usianya kurang dar 21 tahun ;
(d) Izin tertulis dari Pengadilan bagi suami yang masih mempunyai istri ;
(e) Dispensasi dari Pengadilan, untuk mereka yang belum memenuhi syarat ;
(f) Surat kematian istri atau suami terdahulu atau surat cerai bagi perkawinan yang kedua kali ;
(g) Untuk ABRI perlu dilampiri izin tertulis dari MENHANKAM/PANGAB.
(h) Surat kuasa untuk calon mempelai yang berhalangan hadir yang disyahkan oleh Pegawai Pencatat.
5). Pengumuman akan dilangsungkannya perkawinan oleh Pegawai Pencatat yang memuat identitas calon pengantin dan hari, tanggal, jam dan tempat perkawinan akan dilangsungkan.

b. Tatacara perkawinan
1) Perkawinan dilangsungkan setelah hari kesepuluh sejak pengumuman oleh Pegawai Pencatat, yang tata caranya dilakukan menurut hukum agama masing-masing yang dilakukan didepan Pegawai Pencatat dengan disaksikan oleh dua orang saksi.(psl. 10 PP 9/1975)
2). Setelah selesai perkawinan, kedua mempelai, saksi dan Pegawai Pencatat, serta wali mendandatangani akta perkawinan.
c. Akta Perkawinan

1) Isi akta perkawinan :
(a) Nama, tanggal dan tempat lahir, agama/ kepercayaan, pekerjaan dan tempat kediaman suami/ istri ;
(b) Nama, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat kediaman orang tua mereka ;
(c) Izin dari Pengadilan karena kedua pihak orang tua tidak bersepakat ;
(d) Dispensasi dari Pengadilan bagi calon mempelai yang usianya belum memenuhi ;
(e) Izin, untuk suami perkawinan kedua ;
(f) Persetujuan dari kedua mempelai ;
(g) Izin dari pejabat yang ditunjuk oleh Men-HANKAM/PANGAB dalam hal mempelai anggota ABRI
(h) Perjanjian perkawinan, apabila ada ;
(i) Nama, umur, agama/ kepercayaan, pekerjaan dan tempat kediaman para saksi dan wali nikah bagi yang beragama Islam ;
(j) Nama, umur, agama/ kepercayaan, pekerjaan dan tempat kediaman bagi kuasa apabila perkawinan dilakukan melalui seorang kuasa.
2). Banyaknya akta perkawinan :
(a) Akta perkawinan dibuat dua rangkap, satu rangkap untuk Pegawai Pencatat dan satu rangkap lagi untuk Pengadilan ;
(b) Kepada suami istri masing-masing diberikan kutipan akte perkawinan.
c. Pencegahan Perkawinan :

1). Pencegahan perkawinan terjadi :
(a) Apabila ada pihak yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan (psl 13).
(b|. Salah seorang mempelai berada di bawah pengampuan (psl. 14 ayat (2)
(c). Masih terikat dalam perkawinan, bagi perkawinan yang kedua (psl. 15).
2). Yang berhak mencegah :
Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah, saudara, wali nikah, wali, pengampu dari salah seorang calon mempelai dan pihak-pihak yang berkepentingan ;
3). Pencegahan perkawinan diajukan :
(a). Pencegahan perkawinan diajukan kepada Pengadilan di daerah hukum di mana perkawinan dilangsungkan, dan diberitahukan juga kepada Pegawai Pencatat ;
(b).Pegawai pencatat memberitahukan kepada calon-calon mempelai atas permohonan tersebut.
4). Pencabutan pencegahan :
(a). Dengan keputusan Pengadilan atau dengan menarik kembali permohonan pencegahan ;
(b). Perkawinan tidak dapat dilaksanakan apabila pencabutan belum dilaksanakan.
5). Penolakan perkawinan :
(a). Pegawai pencatat tidak melangsungkan perkawinan apabila : Calon mempelai belum cukup umur, adanya larangan kawin, dan salah satu calon mempelai masih adanya ikatan perkawinan.
(b). Penolakan diberikan oleh pegawai pencatat secara tertulis dengan alasan-alasan penolakannya ;
(c). Para pihak yang perkawinannya ditolak, berhak mengajukan permohonan kepada Pengadilan untuk memberikan putusan, dengan menyerahkan surat keterangan penolakan tersebut ;
(d). Putusan Pengadilan dapat mengukuhkan penolakan, ataukah memerintahkan agar supaya perkawinan dilangsungkan.

d.Batalnya Perkwinan
1. Perkawinan dapat dibatalkan :
Apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan. (psl. 22)
2. Yang dapat mengajukan pembatalan :
a) Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau istri ;
b) Suami atau istri ;
c) Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan ;
d) Pihak-pihak yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut ;
3. Alasan pembatalan lainnya :
Karena perkawinan masih terikat dirinya dengan salah satu dari kedua belah pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan dapat mengajukan pembatalan perkawinan yang baru ;
4. Permohonan pembatalan diajukan ke :
Permohonan pembatalan diajukan kepada Pengadilan di wilayah hukum di tempat perkawinan dilangsungkan atau tempat tinggal suami istri, suami atau istri.
5. Pembatalan perkawinan diajukan oleh (pasal 26) :

a. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami, istri atau jaksa, apabila :
1) perkawinan yang dilangsungkan di muka pencatat perkawinan yang tidak berwenang ;
2) perkawinan yang wali nikah yang tidak syah ;
3) perkawinan yang tanpa dihadiri oleh 2 orang saksi.
Hak pembatalan gugur apabila mereka telah hidup bersama sebagai suami istri dan dapat menunjukan akte perkawinan.
b. Suami atau istri , apabila :
1) perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum ;
2) pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami atau istri.
Hak pengajuan pembatalah gugur apabila telah lebih dari 6 bulan .
6. Berlakunya pembatalan perkawinan (psl. 28)
a. Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah Keputusan Pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan.
b. Tidak berlaku surut terhadap :
1) Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tsb.
2) Suami istri yang bertindak dengan iktikad baik, terkecuali terhadap bersama .

e. Perjanjian Perkawinan

1. Pengertian :

Perjanjian perkawinan merupakan perjanjian yang dibuat kedua pihak secara tertulis yang disyahkan oleh Pegawai Pencatat, yang isinya berlaku bagi pihak ketiga. Perjanjian tersebut tidak termasuk taklik talak yang biasa diucapkan oleh pihak
2. Waktu pembuatan dan mulai berlaku perjanjian :
Perjanjian perkawinan dibuat sebelum melangsungkan perkawinan dan berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.
3. Perjanjian dapat diyahkan :
Perjanjian dapat disyahkan apabila tidak melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan
4. Perubahan perjanjian :
Selama perkawinan berlangsung perjanjian tidak dapat dirubah, terkecuali ada persetujuan kedua pihak dan tidak merugikan pihak ketiga.


A. Perkawinan dilihat dari segi pandangan :

1. Segi hukum :
Perkawinan merupakan perjanjian yang sangat kuat ( mitsaaqaan ghaliizhaan.
2. Segi sosial :
Orang yang berkeluarga atau pernah berkeluarga mempunyai kedudukan yang lebih dihargai dari pada mereka yang tidak kawin.
3. Segi agama :
Perkawinan itu dianggap suatu lembaga yang suci. Upacara perkawinan adalah upacara yang suci, yang kedua pihak dihubungkan menjadi pasangan suami istri atau saling minta menjadi pasangan hidupnya dengan mempergunakan nama Allah.


B. Hukum melakukan perkawinan :
1. Ibahah atau kebolehan atau halal ;
2. Sunnah : apabila dipandang dari segi pertumbuhan jasmaninya telah wajar dan cenderung untuk kawin serta biaya hidup sudah ada ;
3. Wajib : apabila dipandang dari segi biaya telah mencukupi dan dipandang dari sudut pertumbuhan jasmaniahnya sudah mendesak untuk kawin, kalau tidak kawin akan terjerumus kepada penyelewengan ;
4. Makruh : apabila dipandang dari sudut pertumbuhan jasmaniahnya telah wajar untuk kawin, walaupun belum sangat mendesak, tetapi belum ada biaya untuk hidup sehingga kalau dia kawin hanya akan membawa kesengsaraan hidup bagi istri dan anak-naknya ;
5. Haram : apabila seorang laki-laki mengawini seorang perempuan dengan maksud menganiaya dan memperolok-olok.

VI. HUKUM KELUARGA

A Hukum Keluarga Menurut Hukum Perdata .

1. Keturunan
a. Anak syah :
Anak yang lahir dari perkawinan antara ayah dan ibunya, yaitu anak yang dilahirkan paling lama 300 hari atau paling pendek 180 hari setelah perkawinan orang tuanya.
b. Penolakan/ penyangkalan terhadap sahnya anak :
1) Anak lahir sebelum lewat 180 hari setelah hari pernikahan orang tuanya, maka ayahnya berhak menolak/ menyangkal sahnya anak itu ;
2) Kelahiran anak disembunyikan, si ayah dapat menyangkal sahnya si anak dengan alasan istinya telah berzina dengan lelaki lain.
3) Tenggang waktu penyangkalan :
(a) satu bulan jika si ayah berada di tempat kelahiran anak;
(b) dua bulan sesudah ia kembali jikalau sedang bepergian waktu anak dilahirkan ;
(c) dua bulan setelah ia mengetahui kelahiran anak, jika kelahiran itu disembunyikan .
c. Pembuktian keturunan :
1) Dengan surat kelahiran yang diberikan oleh Pegawai Pencatatan Sipil ;
2) Bukti-bukti lain yang menunjukan adanya hubungan antara anak dengan orang tuanya ;
d. Anak luar kawin :

Anak yang lahir diluar perkawinan, ia dapat diakui atau tidak diakui oleh ayah atau ibunya. Selanjutnya agar terjadi hubungan kekeluargaan antara anak luar kawin dengan orang tua yang telah mengakui, perlu ada pengesahan yaitu kedua orang tua kawin secara sah. Pengakuan anak tersebut dicatat dalam akte kelahiran anak, atau dalam akte perkawinan orang tuanya atau juga dalam akte tersendiri.

2. Kekuasan Orang Tua
a. Kekuasaan orang tua (onderlijke macht):
Mendidik, memberi nafkah, pakaian dan perumahan serta mewakili dalam mengurus harta yang dimilikinya. .
b. Jangka waktu :
Mulai anak lahir atau sejak hari pengesahannya sampai mencapai usia dewasa atau kawin, dan berakhir pada waktu perkawinan dihapuskan, ataupun kekuasaan itu dicabut oleh hakim.
c. Vruchtgenot (menikmati hasil)
Suatu hak bagi orang tua untuk menikmati hasil atau bunga dari benda atau kekayaan si anak (terkecuali kekayaan yang diperoleh anak sendiri karena bekerja).
d. Pembebasan (ontheffing) :
Kekuasaan orang tua dapat dibebaskan, jika : tidak cakap (ongeschikt) atau tidak mampu (onmachtig) untuk melakukan kekuasaan orang tua (ontheffing) yang diajukan oleh Dewan Perwalian (Voogdijraad) atau Kejaksaan.
e. Pemecatan (onzetting) :
Kekuasan orang tua dapat dilakukan pemecatan, jika :
1) Melalaikan kewajibannya sebagai orang tua ;
2) Berkelakuan buruk ;
3) Dihukum karena suatu kejahatan, dengan hukuman sampai 2 tahun atau lebih.

Pemecatan ini dapat diminitakan oleh istri terhadap suaminya atau sebaliknya , oleh anggota keluarga terdekat, Dewan Perwalian atau Kejaksaan.
f.. Perbedaan antara ontheffing dengan onzetting :
1) Onthefiing, ditujukan kepada orang tua yang melakukan kekuasaan orang tua (biasanya si ayah), sedangkan onzetting, dapat ditujukan pada masing-masing orang tua ;
2) Onzetting selalu berakibat hilangnya Vruchtgenot, sedangkan ontheffing tidak selalu menghilangkan vruchtgenot

3. Perwalian .
a.. Perwalian (Voogdij) :
Pengawasan terhadap anak yang di bawah umur, yang tidak di bawah kekuasaan orang tua serta pengurusan harta benda atau kekayaan anak tersebut.
b Anak di bawah perwalian :
1) Anak sah yang kedua orang tuanya telah dicabut kekuasaannya sebagai orang tua ;
2) Anak sah yang orang tuanya telah bercerai ;
3) Anak yang lahir di luar perkawinan (natuurlijk kind).
c. Perwalian menurut undang-undang (wetelijke voogdij) :
Jika salah satu orang tua meninggal, orang tua lainnya dengan sendirinya menjadi wali dari anak-anaknya.
d. Pengangkatan seorang wali :
1) Dengan keputusan Hakim atas permintaan dari salah satu pihak yang berkepentingan ;
2) Dalam surat wasiat (testamentaire voogdij).

e. Banyaknya wali :
Pada umumnya pada setiap perwalian, hanya ada seorang wali saja, terkecuali seorang ibu yang menjadi wali (modervoogdes), kemudian kawin lagi, maka suaminya menjadi medevoogd.
f.. Sarat-sarat menjadi wali :
Mereka yang sehat akalnya, tidak berada di bawah curatele, tidak dicabut hak kekuasaannya sebagai orang tua, bukan Kepala/ anggota Balai Harta Peninggalan .
g. Kewajiban wali :
1). Mengurus kekayaan anak yang berada di bawah pengawasannya dengan sebaik-baiknya dan bertanggung jawab terhadap segala kerugian-kerugian yang ditimbulkan karena pengurusan yang buruk.
2) Memberikan suatu pertanggungan jawab, apabila si anak telah dewasa atau telah meninggal.
h. Larangan / pembatasan bagi wali :
Seorang wali menurut pasal 393 BW/ KUHPer. :
1). Dilarang memimnjam uang untuk si anak ;
2). Dilarang menjual, menggadaikan benda-benda tak bergerak, surat-surat sero dan surat-surat penagihan dengan tidak mendapat izin lebih dahulu dari hakim.
i.. Balai Harta Peninggalan (Weeskamer) :
Bagi setiap orang tua menjadi wali harus segera melaporkan tentang terjadi perwalian pada Weeskamer, karena Weeskamer menjadi wali pengawas (toziende voogd). Begitu juga apabila hakim mengangkat seorang wali, Panitera Pengadilan segera memberitahukan pada Weeskamer. Kedudukan Weeskamer ada di Jakarta, Semarang, Medan, Surabaya dan Makassar. Dan ditiap-tiap Weskamer terdapat Dewan Perwalian.

4. Pendewasaan

a.. Pendewasaan (handlichting) : suatu pernyataan tentang seseorang yang belum mencapai usia dewasa sepenuhnya atau hanya untuk beberapa hal saja, dipersamakan dengan seorang yang sudah dewasa.
b. Syarat-syarat :
1). Usia sudah mencapai 20 tahun ;
2).. Surat-surat kelahiran dan bukti lain yang menyatakan sudah mencapai usia tersebut ;
Dengan persyaratan tsb. kemudian mengajukan permohonan kepada presiden. Selanjutnya untuk pernyataan persamaan yang meliputi beberapa hal miss. yang berhubungan dengan pengurusan perniagaan dapat diberikan oleh Pengadilan Negeri kepada seorang anak yang berusia 18 th.

5. Pengampuan .
a). Syarat bagi orang untuk ditaruh di bawah pengampuan (Curatele) :
1) Orang yang menderita sakit ingatan ;
2) Bagi seorang dewasa yang telah mengobralkan kekayaannya.
b). Yang dapat mengajukan pengampuan :
(1) Tiap anggota keluarga, dalam hal seorang sakit ingatan ;
(2) Anggota yang sangat dekat, dalam hal seorang yang mengobralkan kekayaannya.
(3) Suami/istri , baik dalam hal seorang sakit ingatan maupun orang yang mengobral kekayaannya.
(4) Jaksa, bagi orang yang sakit ingatan hingga membahayakan umum.

Selanjutnya permintaan pengampuan diajukan kepada Pengadilan Negeri, dan bagi ybs. dapat mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi.
c). Akibat seseorang ditaruh di bawah pengampuan :
(1) Untuk yang mengobralkan kekayaannya masih dapat membuat testament, melakukan perkawinan, dengan bantuan kuratornya ;
b) Untuk yang sakit ingatan tidak dapat membuat testament dll.
6. Orang yang hilang
Jika seseorang meninggalkan tempat dengan tidak meninggalkan kuasa, maka Weeskamer atas permintaan orang-orang yang berkepentingan ataupun atas permintaan Jaksa, Hakim dapat memerintahkan Weeskamer untuk mengurus kepentingan-kepentingan tersebut. Selanjutnya Weeskamer setiap tahun harus memberikan pertanggungan jawab kepada Kejaksan Negeri setempat. Setelah lima tahun tidak ada kabar/ berita, maka orang tersebut dianggap telah meninggal dunia, namun sebelumnya perlu pemanggilan umum yang diulang sampai tiga kali, bahkan dapat ditunda 5 tahun lagi.
Dalam hal orang tsb. meninggalkan suatu penguasan untuk mengurus kepentingannya, harus ditunggu selama 10 tahun lewat sejak diterimanya kabar terakhir dari ybs. baru diajukan permintaan untuk mengeluarkan pernyataan bahwa ybs. dianggap telah meninggal dunia. Setelah itu para ahli waris baru dapat mengoper segala warisan yang dibagikan kepadanya, begitu juga kalau ada wasiat, dapat membuka wasiatnya. Bagi suami atau istri yang ditinggalkan dapat meminta pada hakim untuk diberikan izin guna kawin lagi, dan perkwinan yang lama dianggap telah hapus.
.................................................
B. HUKUM KELUARGA MENURUT UU NO. 1 TH. 1974

I. Hak dan kewajiban suami istri
1). Hak suami istri
a). Sesuai pasal 31 bahwa hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat (psl. 31 ayat 1), sehingga masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum. Suami adalah kepala keluarga dan istri ibu rumah tangga.

b). Suami istri sesuai pasal 32 harus mempunyai tempat kediaman yang tetap, yang ditentukan bersama oleh suami istri. ( diusahakan oleh suami)
c). Dalam kehidupan rumah tangga suami istri sesuai pasal 33 hendaknya :
1) saling cintai mencinta ;
2) saling hormat- menghormati ;
3) saling setia ;
4) saling memberi bantuan lahir bathin yang satu kepada yang lain.
2). Kewajiban suami :
Suami sebagai kepala keluarga mempunyai kewajiban melindungi istri dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya, termasauk pembiayaan anak-anak.
3). Kewajiban istri :
Mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya. Ia bertanggung jawab mengurus rumah tangga dan membelanjakan biaya rumah tangga yang diusahakan suaminya menurut cara-cara yang benar dan wajar serta dapat dipertanggung-jawabkan.

II. HARTA BENDA DALAM PERKAWINAN

1). Harta dalam perkawinan, sesuai pasal 35 berupa :
a) Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama ;
b) Harta bawaan masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah penguasaan masing-masing, sepanjang para pihak tidak menentukan lain.

2). Pemanfaatan harta (psl. 36) :
a) Untuk memanfatkan harta bersama, suami atau istri dapat bertindak atas persetujuan kedua pihak ;
b) Mengenai harta bawan masing-masing, suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.
3).Pembagian harta bersama:
Apabila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama dibagi sesuai dengan hukum yang berlaku bagi masing-masing.

III. PUTUSNYA PERKAWINAN SERTA AKIBATNYA :

1) Sebab-sebab putusnya perkawinan.
a) Kematian ;
b) Perceraian ;
c) Atas Keputusan Pengadilan.
2) Pelaksanan perceraian :
Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan setelah pengadilan yang berangkutan berusaha dan tidak dapat mendamaikan kedua belah pihak.

3) Tata cara perceraian :
1) Gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan, yang isinya bermaksud menceraikan istri disertai dengan beberapa alasan serta meminta kepada Pengadilan agar diadakan sidang untuk keperluan dimaksud.
2) Dalam waktu minimal 30 hari Pengadilan memanggil istrinya untuk meminta penjelasan yang berhubungan dengan perceraian dimaksud.

3) Pengadilan dapat menceraikan suami / istri dengan alasan bahwa antara suami istri tidak mungkin lagi didamaikan untuk hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
4) Keputusan Pengadilan atas perceraian berlaku mulai saat perceraian itu dinyatakan didepan sidang, selanjutnya putusan tersebut disampaikan kepada pegawai pencatat nikah ditempat terjadi adanya pencatatan pernikahan.

4) Alasan-alasan perceraian (psl. 19 PP 9/1975) :
a) Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi, dan lain-lain yang sukar disembuhkan ;
b) Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang syah ;
c) Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung ;
d) Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan bagi pihak lain ;
e) Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/ istri ;
f) Antara suami dan istri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.


5. Pengajuan gugatan perceraian (psl. 20-22 PP.9/1975).
a) Gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan ditempat kediaman tergugat :
(1) Oleh suami atau istri atau kuasanya ;
(2) Apabila antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
b) Gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan ditempat kediaman penggugat apabila :
(1) Tempat kediaman tergugat tidak jelas atau tidak diketahui atau tidak mempunyai tempat kediaman ;
(2) Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-turut dstnya.
c) Untuk tergugat yang tinggal di Luar Negeri gugatan perceraiakan diajukan kepada Pengadilan ditempat kediaman penggugat, dan selanjutnya pengadilan menyampaikan permohonan kepada tergugat melalui Perwakilan R.I. setempat.

6. Persyaratan dalam pengajuan gugatan perceraian :
a) Setelah liwat 2 tahun terhitung sejak tergugat meninggalkan rumah, bagi gugatan perceraian dengan alasan salah satu pihak telah meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-turut
b) Menyampaikan salinan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum yang tetap, bagi gugatan percerian karena salah seorang dari suami / istri mendapat hukuman penjara 5 tahun atau yang lebih berat ;


7. Gugatan perceraian yang dapat diterima oleh Pengadilan :
a) Apabila tergugat menyatakan atau menunjukkan sikap tidak mau lagi kembali ke rumah kediaman bersama ;
b) Telah cukup jelas bagi Pengadilan mengenai sebab-sebab perselisihan / pertengakaran itu dan setelah mendengar pihak-pihak keluarga serta orang-orang yang dekat dengan suami / istri tersebut.

8. Tindakan selama berlangsungnya gugatan perceraian :
a) Pengadilan dapat mengizinkan suami istri untuk tidak tinggal dalam satu rumah ;
b) Atas permohonan penggungat/ tergugat, Pengadilan dapat menentukan :
(1) Nafkah yang harus ditanggung oleh suami ;
(2) Hal-hal yang perlu untuk menjamin pemeliharaan dan pendidikan anak ;
(3) Hal-hal yang perlu menjamin terpeliharanya barang-barang yang menjadi hak bersama suami istri atau barang-barang yang menjadi hak istri ;

9. Gugurnya gugatan perceraian (psl 25 PP 9/1975) :
Apabila suami atau istri meninggal sebelum adanya putusan Pengadilan mengenai gugatan perceraian tersebut.

10. Pelaksanaan pemanggilan (psl 26 - 29 PP 9/1975)

a) Setiap persidangan, penggugat/ tergugat atau kuasa akan dipanggil untuk menghadiri sidang ;
b) Panggilan dilakukan oleh juru sita ;
c) Panggilan disampaikan kepada pribadi ybs. apabila tidak dijumpai disampaikan melalui Lurah atau yang dipersamakan ;
d) Panggilan dilakukan secara patut, dan paling lambat 3 hari sebelum sidang dibuka ;
e) Panggilan kepada tergugat, dilampiri surat gugatan ;
g). Pemanggilan melalui pengumuman, dalam hal alamat tergugat tidak diketahui ;
h) Pengumuman melalui surat kabar sebanyak 2 kali dengan tenggang waktu satu bulan.
i) Tenggang waktu persidangan, 3 bulan setelah panggilan terakhir ;
j) Apabila dipanggil secara patut, tergugat/ kuasanya tidak hadir, gugatan diterima tanpa hadirnya tergugat.
k) Apabila tergugat berada di Luar Negeri, gugatan dilakukan memalui Perwakilan RI setempat.

11) Pemeriksaan sidang (psl. 29-33 PP 9/1975) :
a) Pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan oleh Hakim selambat-lambatnya 30 hari setelah diterimanya surat gugatan perceraian ;
b) Apabila tergugat berada di Luar Negeri, sidang pemeriksaan gugatan perceraian ditetapkan sekurang-kurangnya 6 bulan terhitung sejak dimasukannya gugatan perceraian.

b) Suami dan istri datang sendiri atau mewakilkan kepada kuasanya ;
c) Hakim selalu berusaha mendamaikan kedua pihak pada setiap sidang ;
d) Apabila telah terjadi perdamaian tidak boleh diajukan gugatan perceraian yang baru.
e) Apabila tidak dapat dicapai perdamaian , pemeriksaan gugatan dilakukan dalam sidang tertutup.

12. Putusan Pengadilan :
a) Putusan diucapkan dalam sidang terbuka ;
b) Suatu perceraian dianggap terjadi beserta akibatnya terhitung sejak saat pendaftaran pada catatan sipil, sedangkan bagi yang beragama Islam terhitung sejak jatuhnya putusan Pengadilan Agama yang telah mempunyai kekuatan tetap.

13. Akibat putusnya perkawinan karena perceraian.
a) Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak ;
b) Bapak bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak.
c) Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan/ atau menentukan sesuatu kewajiban bekas istri.

IV. KEDUDUKAN ANAK.

1. Anak yang lahir dari perkawinan yang syah adalah anak syah;
2. Anak yang lahir diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya ;
3. Seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh istrinya bilamana ia dapat membuktikan istrinya berzina dan anak itu hasil hubungan zina.


V. HAK DAN KEWAJIBAN ANTARA ORANG TUA DAN ANAK

1. Kewajiban orang tua :
a) Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya ;
b) Berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri dan masih berlaku terus walaupun perkawinan antara kedua orang tua terputus ;

2. Kewajiban anak :
a) Menghormati orang tua dan mentaati kehendak mereka yang baik ;
b) Setelah dewasa, memelihara orang tua dan keluarga dalam garis lurus ke atas, apabila diminta bantuannya yang sesuai dengan kemampuannya.

3. Kekuasaan orang tua :
a) Anak yang belum berusia 18 tahun atau belum menikah ada dibawah kekuasaan orang tua, selama kekuasan orang tua belum dicabut ;

b) Orang tua mewakili anak untuk melakukan perbuatan hukum, baik di dalam ataupun di luar Pengadilan ;
c) Orang tua dilarang memindahkan atau menggadaikan barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18 tahun, terkecuali anak menghendakinya.

4. Kekuasan orang tua dicabut (psl 49) :
a) Ia sangat melalaikan kewajiban terhadap anaknya ;
b) Ia berkelakuan buruk sekali.


VI. PERWALIAN.

1. Anak di bawah perwalian apabila :
a). Bagi anak yang belum mencapai umur 18 th atau belum pernah menikah ;
b) Tidak berada di bawah kekuasaan orang tua.



2. Lingkup perwalian :
Perwalian mengenai pribadi anak ybs maupun harta bendanya

3. Penunjukan wali :
a) Dalam surat wasiat ;
b) Secara lisan.

4. Yang dapat menjadi wali dan persyaratannya :
a) Keluarga anak tersebut atau orang lain ;

b) Dewasa, sehat akalnya, adil, jujur dan berkelakuan baik.

5. Kewajiban wali :
a) Mengurus anak yang berada dibawah penguasaannya dan mengurus harta bendanya sebaik-baiknya dengan menghormati agama dan kepercaannya ;
b) Membuat daftar harta benda anak yang berada di bawah kekuasaannya dan mencatat juga semua perubahan-poerubahan ;
c) Bertanggung jawab tentang harta benda anak yang berada di bawah perwaliannya, serta kerugian yang ditimbulkan atas kesalahan ataupun kelalainnya.

6. Pencabutan perwalian apabila :
a) Sangat melalaikan kewajibannya ;
b) Berkelakuan buruk sekali.


VII. HUKUM BENDA DAN HARTA KEKAYAAH

I. BENDA PADA UMUMNYA.

A. Pengertian :
Benda (zaak) adalah segala sesuatu yang dapat dihaki oleh orang. ( psl 499 BW)

Hukum benda ialah : ketentuan-ketentuan yang mengatur mengenai hal yang diartikan dengan benda dan hak-hak yang melekat di atasnya.
Termasuk kategori benda, adalah hak-hak, kekayaan dan penghasilan (uruchten) mis. kuda yang beranak, pohon yang berbuah, dan hak untuk memungut penghasilan ( burgerlijke uruchten) yaitu memungut uang sewa atau bunga dari suatu modal termasuk benda.

B. Pembedaan tentang benda :
1. Benda yang bersifat kebendaan (zakelijke rechten), dibagi menjadi :
a Benda bertubuh atau berujud (lichamelijke zaken), dibagi lagi menjadi :
1) Benda bergerak (reorendezaken) , terdiri dari :
(a) Benda yang dapat dihabiskan : beras, minyak, minuman, uang dsb.nya ;
(b) Benda yang tak dapat dihabiskan : mobil, perhiasan, pulpen, arloji dan semacamnya
2) Benda tetap / benda tidak bergerak (onreorendezaken) : tanah, rumah, pabrik, kapal terbang, kapal ukuran 20 m3 ke atas, gedung, toko, gudang, sawah, pohon kayu dsb.
b. Benda tidak bertubuh atau tidak berwujud (onlichamelijke zaken), benda ini dapat dirasakan tetapi tidak dapat dilihat dan diraba, kemudian benda itu dapat direalisisasikan menjadi suatu kenyataan: surat-surat berharga berupa wesel, cek, saham, obligasi, sertifikat, deposito, promes dsb.

2. Benda yang bersifat tidak kebendaan (immaterieele gooderen), benda ini dapat dirasakan tetapi tidak dapat dilihat, dirasakan dan kemudian benda itu dapat direalisasikan menjadi suatu kenyataan : merek perusahaan, patent, hak cipta dan musik atau lagu, mode pakaian dsb.

II.HAK-HAK KEBENDAAN

A. Pegertian
Hak kebendaan (zakelijk recht) adalah suatu hak yang memberikan kekuasaan langsung atas suatu benda, yang dapat dipertahankan oleh setiap orang.

B. Macam-macam hak :
1. Bezit :
suatu keadaan lahir, dimana seorang menguasai suatu benda seolah-olah kepunyaan sendiri, yang oleh hukum dilindungi.
2. Eigendom :
hak yang paling sempurna atas suatu benda. Seorang yang mempunyai hak eigendom (milik) atas suatu benda dapat berbuat apa saja dengan benda itu, asal saja ia tidak melanggar undang-undang.


3. Hak-hak kebendaan di atas benda orang lain :

Servituut (erfdienstbaarheid) ialah suatu beban yang diletakan di atas suatu pekarangan untuk keperluan suatu pekarangan lain yang berbatasan.

a. Hak opstal :

Suatu hak untuk memiliki bangunan-bangunan atau tanaman-tanaman di atas tanahnya orang lain (psl. 711 BW) Hak tsb. dapat dipindahkan kepada orang lain dan dapat dipakai sebagai jaminan hutang (hypotheek).

b. Hak Erfpacht
Suatu hak kebendaan untuk menarik penghasilan seluas-luasnya untuk waktu yang lama dari sebidang tanah milik orang lain, dengan kewajiban membayar sejumlah uang atau penghasilan tiap-tiap tahun, yang dinamakan "pacht" atau "canon" (psl. 720 BW). Hak ini diberikan kepada perusahaan besar untuk jangka waktu lama biasanya sampai 75 tahun.

c. Vruchtgebruik
Suatu hak kebendaan untuk menarik penghasilan dari suatu benda orang lain, seolah-olah benda itu kepunyaan sendiri, dengan kewajiban menjaga supaya benda tsb. tetap dalam keadaannya semula (psl. 756 BW.)



4. Pand dan Hypotheek

a. Pandrecht :

Pandrecht adalah suatu hak kebendaan atas suatu benda yang bergerak kepunyaan orang lain, yang sema-mata diperjanjikan dengan menyerahkan bezit atas benda tersebut, dengan tujuan untuk mengambil pelunasan suatu hutang dari pendapatan penjualan benda itu lebih dahulu dari penagih-penagih lainnya ;

b. Hypotheek
Menurut psl. 1162 BW, hypotheek adalah suatu hak kebendaan atas suatu benda yang tak bergerak, yang bertujuan untuk mengambil pelunasan suatu hutang dari (pendapatan penjualan) benda itu.

c. Perbedaan antara Pand dan hypotheek :
1) Pandrecht harus disertai dengan penyerahan kekuasaan atas barang yang dijadikan tanggungan, hypotheek tidak ;
2) Pandrecht hapus, jika barang yang dijadikan tanggungan berpindah ke tangan orang lain, tetapi hypotheek tetap terletak sebagai beban di atas benda yang dijadikan tanggungan meskipun benda ini dipindahkan pada orang lain ;
3) Lebih dari itu satu pandrecht atas satu barang , di dalam praktek hampir tak pernah terjadi, tetapi beberapa hypotheek yang bersama-sama dibebankan di atas satu rumah adalah suatu keadaan yang biasa.

III. PRIVILEGE :
Sesuai ketentuan psl. 1134 BW, adalah suatu kedudukan istimewa dari seorang penagih yang diberikan oleh undang-undang melulu berdasarkan sifat utang. Piutang-piutang semacam ini dinamakan "bevoor rechte schulden".

Privilege ada dua macam :
1 Yang diberikan terhadap suatu benda tertentu ;
1) Biaya-biaya perkara untuk penyitaan dan penjualan benda (biaya eksekusi) ;
2) Uang-uang sewa rumah atau persil beserta ongkos perbaikannya yang telah dikeluarkan pemilik rumah, yang seharusnya dipikul oleh si penyewa ;
3) Harga barang bergerak yang belum dibayar oleh si pembeli jikalau ini disita ;
4) Biaya yang dikeluarkan untuk menyelamatkan suatu benda ;
5) Biaya-biaya pembikinan suatu benda yang belum dibayar.
2. Yang diberikan terhadap semua kekayaan orang yang berhutang :
1) Biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan kekayaan yang telah disita ;
2) Ongkos penguburan dan pengobatan selama sakit ;
3) Penagihan-penagihan karena pembelian bahan makanan untuk keperluan orang yang berhutang beserta keluarganya selama 6 bulan terakhir ;
4) Penagihan-penagihan untuk tahun terakhir.

IV. HAK REKLAME.
Hak reklame adalah sesuatu kekuasaan yang diberikan kepada penjual untuk barang untuk meminta kembali barangnya, selama barang itu masih berada di tangan pembeli, yang dilakukan dalam waktu 30 hari (1145 BW).

V. UNDANG-UNDANG NO. 5 TH. 1960 (UUPA No.5 Th. 1960)

A. Tujuan dikeluarkannya UUPA No. 5 Th. 1960

1. Memabawakan kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi Negara dan Rakyat, trutama rakyat tani dalam rangka masyarakat adil dan makmur ;
2. Mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan
3. Tercapainya kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi seluruh rakyat Indonesia .

B. Sebab-sebab dikeluarkannya UUPA No. 5 Th. 1960
1. Hukum Agraria yang lama bersendi dari pemerintahan jajahan ;
2. Hukum Agraria yang lama bersifat dualisme ;
3. Hukum Agraria yang lama tidak menjamin kepastian hukum ;

C. Azas-azas Hk. Agraria Nasional (UUPA No. 5 Th. 1960)
1. Kenasionalan, seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air dari seluruh rakyat Indonesia yang bersatu sebagai bangsa Indonesia
2. Menghilangkan azas domein, karena bertentangan dengan kesadaran hukum rakyat Indonesia yang merdeka dan modern .
3. Mendudukan hak ulayat pada tempat yang sewajarnya ;
4. Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial ;
5. Hanya WNI saja yang memperoleh hak milik ;
6. Tiap-tiap WNI, baik laki-laki ataupun perempuan mempunyai kesempatan yang sama untuk mempunyai suatu hak ;
7. Tanah pertanian harus dikerjakan sendiri.




D. Macam-macam hak atas tanah :

1. Hak milik :

Hak turun temurun terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai oleh orang atas tanah dengan mengingat semua hak tanah itu mempunyai fungsi sosial. Hak milik ini dapat berpindah atau dipindahkan pihak lain dari setiap warga negra Indonesia ;
2. Hak guna usaha :
Hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara, dalam jangka waktu paling lama 25 tahun atau 35 tahun . dan masih dapat diperpanjang paling lama 25 tahun. Yang dapat mempunyai hak guna usaha selain warga negara Indonesia, badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia;
3. Hak guna bangunan ;
Hak untuk mendirikan bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri dengan jangka waktu 30 tahun, dan dapat diperpanjang paling lama 20 tahun . Yang dapat mempunyai hak guna bangunan selain warga negara Indonesia juga badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia ;
4. Hak pakai :
Hak untuk menggunakan dan atau memungut hasil dari tanah yang langsung dikuasai oleh negara atau tanah milik orang lain dengan memberikan wewenang dan kewajiban tertentu, yang diberikan dalam jangka waktu selama digunakan baik dengan sewa maupun tanpa sewa . Yang dapat mempunyai hak pakai ialah warga negara Indonesia, orang asing di Indonesia , badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia serta badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia

5. Hak sewa untuk bangunan :

Penyewaan tanah dari orang lain untuk keperluan bangunan melalui perjanjian sewa menyewa tanah. Hak sewa ini dapat dilakukan oleh orang yang berada di Indonesia termasuk badan hukum Indonesia dan badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia;
6. Hak membuka tanah dan memungut hasil hutan :
Hak tersebut dapat dilakukan oleh setiap warga negara Indonesia yang ditentukan Peraturan Pemerintah tanpa dapat memiliki tanahnya ;
7. Hak guna air, pemeliharaan dan penangkapan ikan :
Hak untuk memperoleh air guna keperluan tertentu dan atau mengalirkan air itu di atas tanah orang lain, yang ketentuannya diatur menurut Peraturan Pemerintah ;
8. Hak guna ruang angkasa :
Memberikan wewenang untuk menggunakan tenaga dan unsur-unsur lainnya dalam usaha memelihara kepentingan tanah, air dan kekayaan alam Indonesia ;
9. Hak-hak tanah untuk keperluan suci dn sosial.
Hak milik tanah dari lembaga keagamaan dan sosial sepanjang digunkan untuk usaha dalam bidangnya, diakui dan dilindungi.

E. Pendaftaran Tanah. (Psl. 19 UUPA)
Pendaftaran tanah meliputi :
1. Pengukuran, perpetaan dan pembukuan hak atas tanah ;
2. Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak atas tanah ;
3. Pemberian surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat
Untuk pendaftaran tanah tersebut dikenakan biaya, namun untuk rakyat yang tidak mampu dibebaskan dari pembayaran biaya-biaya tersebut.

F. Cara memperoleh suatu hak :
1. Penetapan pemerintah ;
2. Pewarisan ;

3. Pembelian ;
4. Hibah,

G. Hapusnya suatu hak :
1. Hak milik hapus (psl. 27) ;
a) Karena pencabutan hak ;
b) Karena penyerahan hak secara sukarela ;
c) Karena diterlantarkan
d) Karena ketentuan pasal 21 ayat (3)
2. Hak guna usaha hapus (psl 34) :
a) Jangka waktunya berakhir ;
b) dihentikan sebelum jangka waktu berakhir, karena sesuatu syarat tidak dipenuhi ;
c) dilepas oleh pemegang hak ;
d) dicabut untuk kepentingan umum ;
e) diterlantarkan ;
f) tanahnya musnah ;
g) ketentuan dalam pasal 30 ayat (2)
3. Hapusnya hak guna usaha (psl. 40):
a) Jangka waktu berakhir ;
b) dihentikan sebelum jangka waktu berakhir, karena sesuatu syarat tidak dipenuhi ;
c) dilepas oleh pemegang hak ;
d) dicabut untuk kepentingan umum ;
e) diterlantarkan ;
f) tanahnya musnah ;
g) ketentuan dalam pasal 36 ayat (2)

E. Sanksi (Psl 52)

Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan dalam pasal 15 dipidana hukuman kurungan selama-lamanya 3 bulan dan/ denda setinggi-tingginya Rp. 10.000,00

F. Konversi (pasal 1 ketentuan konversi).
1) Hak eigndom dikonversi menjadi hak milik ;
2) Hak eigendom kepunyaan Pemerintah Negara Asing, dikonversi menjadi hak pakai
3) Hak eigendom kepunyaan orang asing/ WNI yang memp. kewargaan negara asing, atau badan hukum yang tidak ditunjuk oleh Pemerintah, dikonversi menjadi hak guna bangunan ;
4) Hak erfpach untuk perusahaan kebun besar, dikonversi menjadi hak guna usaha . ;
5) Hak Opstal dan Hak Erfpach untuk perumahan dikonversi menjadi hak guna bangunan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar